Tanpa komitmen terlebih dahulu, saya tiba ke kantor Ester di Queen Road, Central Hong Kong. Hanya sepuluh menit menanti di ruang tunggu, Ester sudah menemuiku. Ester mengenakan pakaian blaser standar direktur dengan rok diatas lutut. Rambutnya di ikat ringkas. Terkesan sederhana dan dia memang perempuan yang sederhana namun cerdas.
“Mari kita keluar,” katanya.
”Sekalian makan siang ya?” tanyaku. Dia mengangguk.
Kami berjalan kaki menuju Alexander building yang jaraknya tidak terlalu jauh dari kantor Ester untuk makan siang. Ketika itu, waktu masih menunjukkan masih pukul duabelas sehingga di restoran masih banyak meja kosong. Kami memesan kopi terlebih dulu sebelum makan siang.
“Ada apa, Ja?” Ester menatapku, “pancaran wajahmu keliatan ada beban berat?”
“Kemarin saya bertemu dengan pimpinan Holding AMC dari New York. Mereka memberi dua opsi kepadaku. Keduanya sulit dipenuhi. Kemarin malam, clientsku mengabarkan bahwa ia mustahil sanggup memenuhi kondisi yang ditetapkan oleh AMC.” Kataku menahan getir, “entahlah! Aku bingung, tidak tahu harus gimana.”
Ester menggenggam jemariku. “Eh, lihat aku. Aku disini! Masalah kau juga masalahku. Ingat itu, Ja.” Ester tersenyum, mencoba menentramkan hatiku. Dari sorot matanya seolah ia berkata, semuanyaakan baik-baik saja, Ja! Jangan takut!
“Kamu yang merekomendasikan saya untuk deal dengan AMC tapi sehabis hampir setahun saya bekerja keras memenuhi syarat atas denah pembiayaan yang saya ajukan, kesudahannya malah begini. Mengapa mereka begitu gampang berubah?” kataku dengan bunyi lirih, nyaris tak terdengar. Aku tak ingin kelihatan jika saya menyesalinya. Bagaimanapun ia telah berbuat banyak membantu dengan tulus. Aku harus ingat itu dan selalu berterimakasih.
“Jaka, kau harus maklum. Mereka forum keuangan kelas dunia. Mereka punya standar sendiri sebelum menetapkan mendukung denah pembiayaan.Tidak usah dipikirkan terlalu jauh. Lupakan soal AMC itu. Sekarang mari sama-sama kita pikirkan jalan keluarnya.”
“Ada usul?”
Ester melamun lama. Kemudian ia berkata padaku dengan nada hati-hati. “Bagaimana jika sehabis makan siang ini kita bertemu dengan temanku. Dia direktur dari perusahaan Private Equity. Mungkin kita sanggup diskusikan duduk kasus kamu.” Aku menangkap ada harapan. Jaringan financial yang dimiliki Ester tidak perlu diragukan. Semua networknya ialah first class. Aku bersyukur punya sahabat ibarat Ester. Dia selalu membantu dan ingin biar saya keluar dari masalah. Dan tentu saja ia berharap saya sukses.
Kantor kolega Ester berada di Gedung IFC lantai 82 di kawasan Central, Hong Kong. Gedung ini menempel dengan Hong kong Express Station dan Mall super mewah. Kedatangan kami disambut oleh laki-laki berwajah Asia-Amerika dengan ramah. Usianya mungkin tidak lebih dari limapuluh tahun. Sekilas kuperhatikan, laki-laki itu mengenakan sehabis jas berharga ribuan dollar. Memang sesuai dengan reputasinya sebagai pemain Private Equity berkelas dunia.
Ester melirik kearahku sebelum berbicara. ”Ini sahabat saya. Namanya, Jaka Samora. Dia seorang konsultan pembiayaan dari Indonesia.” Kata Ester memperkenalkan diriku.
Aku menyerahkan business card-ku kepadanya dengan kedua tanganku dan laki-laki itu memberikku kartu namanya. Ester kembali melanjutkan, “dia punya duduk kasus karena denah pembiayaannya ditolak oleh AMC yang bertindak sebagai penjamin emisi untuk deal dengan sophisticated investor. Mungkin anda sanggup membantunya?”
Pria yang kuketahui berjulukan David dari business card yang diserahkannya, menatapku dan tersenyum. “Apakah saya sanggup pelajari rencana bisnis Anda dan sekalian saya juga butuh klarifikasi rinci mengenai skema pembiayaan yang Anda buat?” Pinta laki-laki itu dengan nada terkesan hati-hati. Menegaskan bahwa ia tidak mau terlalu cepat mengambil keputusan. Dia sangat hati-hati bersikap. Aku mulai percaya dengan orang ini. Mengapa? Karena semakin hati-hati seseorang mengambil sikap, semakin serius ia untuk menjaga komitmennya.
Kepadanya saya berjanji akan menyerahkan dokumen rencana bisnis dan denah pembiayaan yang saya buat. Dia menyanggupi untuk menanda tangani perjanjian dan tidak akan membocorkan kepada siapapun semua gosip yang ia sanggup kecuali menerima persetujuan dariku secara tertulis. Pertemuan itu cepat selesai. Sebelum kami keluar dari ruangannya, ia mengundang makan malam sehari sehabis ia mendapatkan dokumen dariku. Aku menangkap kesan bahwa ia mengajak kami makan malam untuk memberikan keputusannya. Dan kami menyanggupi.
Ester kembali ke kantornya dan berjanji akan menemuiku sehabis menuntaskan pekerjaanya di kantor. Aku kembali ke Hotel untuk istirahat. Benarlah, pukul delapan malam ia sudah di loby Hotel Mandarin Excelsior menantiku untuk pergi makan malam. Dengan menumpang taksi, kami menuju Tshim Sha Shui East di Kowloon. Disitu ada banyak café berjejer menghadap laut. Ini café kegemaran kami untuk menikmati sajian Prancis sambil bicara santai. “David nampak bonafid sekali penampilannya. Apakah sesuai dengan isinya?” tanyaku sambil menanti masakan terhidang.
“Yang kutahu ia memang bonafide. Dia sukses mendanai bebagai proyek international berskala diatas USD 100 juta. Semoga ia bukan orang yang salah untuk membantumu.”
“Darimana ia dapatkan uang sebanyak itu?”
“Dari korelasi yang percaya kepada reputasinya. Umumnya sumber dananya bukanlah dana institusi tapi dana privat. Sehingga proses financial closing sanggup lebih cepat. Namun cost of fund-nya cukup besar. Tapi tidak usah kawatir, denah pembiyaan kau meng cover semua itu.”
“Oh, dana privat? Artinya ia punya koneksi dengan orang kaya yang tak gampang diakses oleh sembarangan orang.”
“Benar sekali. “
Malam itu kami mendiskusikan banyak hal. Ester membuka mataku bagaimana bekerjanya business private equity. Kelihatan sekali ia menguasai detail operasi business itu. Aku berharap suatu ketika sanggup masuk dalam bisnis jenis ini. Ester mengenggam jemariku sambil berkata, “itulah salah satu yang saya suka darimu. Selalu punya mimpi besar. Tentu besar pula kemauan termasuk besar pula nyalimu. Ya, kan?” Aku tersenyum. Menjelang tengah malam kami menutup bill dan pulang. Aku kembali ke hotel dan Ester ke apartemennya.
Sumber https://bukuerizelibandaro.blogspot.com/