Negara Tanpa Idiologi...

Apakah kau kecewa dengan sebuah pentas , demikian sobat saya berkata dikala usai menonton sebuah teater. Kisah wacana kebenaran yang selalu menang. Saya bahagia ceritanya walau ini hanya sebuah teater. Ilusi belaka. Karena apa ? Sesuatu yang tak mungkin saya dapatkan didunia kalkulasi , ada di teater. Kalau orang butuh keadilan , niscaya akan kecewa dengan demokrasi yang membuat Dinasty kekuasaan di Partai dan Kepala Daerah. Kalau orang butuh kebenaran dan kebaikan , niscaya akan kecewa dengan ketua MK yang korup dan KPK yang takut dengan “Bunda Putri”. Itulah realitas yang setiap hari kita tonton, sebuah teater yang menyesakkan dada.  Akan ini berubah ? Lebih dari ribuan tahun kekuasaan dibangun diatas kepatuhan mutlak. Kemudian tumbang dikala kepala Claude Lefort jatuh kebumi sebagai tanda dimulainya sebuah revolusi di Francis. Sejak itu, tak ada kepala yang menggiring orang kepada satu kiblat. Tokoh dibangun dari creativitas media massa untuk dijual dengan cara cara kapitalis. Dari situlah kekuasaan tak lagi punya dasar sakral. Dari situlah konstitusi di create sesuai kehendak pasar. Dari situlah kreatifitas propaganda berkembang pesat untuk melahirkan rakyat yang malas berpikir wacana kebenaran sedang diselewengkan.

Kreatifitas ini diagungkan semenjak terjadinya revolusi di Francis , kemudian Revolusi Industri di Inggeris. Ada keinginan wacana keadilan akan dibangun diatas kehendak orang banyak. Diatas keyakinan demi lahirnya Freedom, Peace, Equality. Tak gila kalau beberapa decade demokrasi telah melahirkan creativitas nilai ; Demokrasi demi sosialime, Demokrasi demi kapitalisme. Ini sanggup terjadi begitu mudahnya dan tak ada yang perlu diperdebatkan untuk dipahami orang banyak. Kemana nilai demokrasi itu ? Tergantung kapitalisme atau sosialisme. Mengapa ini hingga terjadi. Karena demokrasi yakni sebuah system yang didasarkan atas tak adanya sebuah “dasar”. Setelah idiologi, agama, terpenggal dari badan politik maka kepala sanggup dalam bentuk apa saja. Tak ada lagi yang mutlak kecuali kehendak pasar. Itulah mungkin yang membuat para pendiri negara bingung dikala harus mendirikan republic ini. Resah alasannya yakni tak mungkin sebuah negara dibangun tanpa landasan filosofi yang kuat. Apakah agama sebagai landasan ? Budaya ? Ada keraguan untuk berkiblat pada satu titik. Pemikiran kemerdekaan berangkat dari sejarah kekecewaan dengan sistem otokrat keagamaan. Kecewa dengan sosialisme dan komunisme yang feodalis. Kecewa dengan demokrasi barat yang arogan. Tapi itu niscaya bukan negara agama , tapi juga bukan negara sekterian. Radjiman Widiodiningrat, yang terpengaruh filsafat Kent dan Hegel, mendesak supaya konstitusi di create dari sebuah nilai nilai universal dan semangat gotong royong. Maka Pancasila dirumuskan tapi dasar negara yakni Ketuhanan Yang Maha Esa.

Pancasila sebuah ilham multi dimensi. Pancasila penghapus keresahan dikala dipersimpangan jalan mencari perekat kesatuan visi. Mungkin juga sebuah kompromi final yang tak selesai. Karena didalamnya mengakomodasi nilai nilai spiritual, dan keagungan sosialisme. sebuah mimpi wacana keadilan social bagi siapa saja. Mimpi spiritual socialisme memang tak kondusif dari serangan kaum bermodal yang rakus--sebagai kelanjutan dari sisten colonialisme berupa Neo colonialisme--. Apa arti kekuasaan tanpa tiran, demikian kata mereka pro demokrasi untuk jatuhnya Soeharto. Reformasi di dengungkan dan Soeharto di ganyang untuk Lahirnya  demokrasi liberal , demokrasi kaum bermodal. Rich Dad’s , Conspiracy of the rich , dari Robert T. Kiyosaki menyebutkan ada empat hal yang membuat demokrasi harus dipertahankan oleh kapitalisme yaitu perlunya uang sebagai kekuataan dan karenanya perlu inflasi untuk memeras rakyat, perlu hutang untuk menggadaikan resource dan perlunya konsumsi untuk membuat orang tergantung terhadap pasar. Sebuah sistem nilai yang andal wacana konspirasi orang kaya dan penguasa untuk menjajah yang lemah. Dari waktu kewaktu krisis ekonomi terjadi alasannya yakni sistem ini, dengan korban kemanusiaan yang massive. 

Yang pada balasannya Pancasila hanya menjadi jargon dikala upacara naiknya berdera merah putih. Ia tinggal romantisme diatas kehebatan propaganda pasar untuk meyakinkan supaya kapitalisme punya ruang menganeksasi rakyat. Inilah kehebatan demokrasi, sebuah grey area, dimana dewan perwakilan rakyat berkuasa membuat UU namun sanggup dengan gampang dibatalkan oleh forum non parlemen, MK.  Demokrasi beranak cucu menjadi neoliberal, sebuah sistem yang melahirkan budaya cinta bersyarat tanpa bandrol. Sebagai cara sistematis membuat kelas terbentuk tanpa sanggup digugat. Sebuah realitas yang membuat china tersenyum bersama komunisme sebagai "dasar"...yang membuat Iran unggul bersama islam sebagai "dasar". Keliatannya benarlah bahwa kapitalisme hanya sanggup dijinakan oleh sebuah idiologi ( "dasar ") dan menjadi monster ganas dikala ia bebas ( demokrasi liberal dan neoliberal). Itulah yang kita lupa dalam membangun sebuah bangsa. Lupa bahwa Pancasila bukanlah produk konpromi politik tapi sebuah baiat kepada Allah. Melawan itu, yakni kehancuran. Kembalilah....

Sumber https://culas.blogspot.com/

Artikel Terkait