Aksi 212


Ketika Jokowi memilih Jenderal Polisi Drs. H. M. Tito Karnavian, M.A., Ph.D  sebagai Kapolri, teman saya sempat berkata bahwa Santoso ( Teroris di Poso ) akan berhasil di ringkus. Benarlah hanya hitungan hari sesudah dia di angkat sebagai Kapolri, Santoso berhasil di sergap oleh team gabungan. Santoso tewas di tempat.  Tentu tidak sembarangan mengapa Tito hingga di pilih Jokowi sebagai Kapolri. Dia termasuk perwira yang karirnya cepat sekali melesat. Prestasi yang sangat cemerlang yang di raihnya yakni ketika tahun 2001 berhasil menangkap Tommy Soeharto dan kemudian tahun 2005 berhasil meringkus gembong Teroris yang di kenal sangat licin yaitu Azahari Husin. Tahun 2007 ketika terjadi konplik Poso, Tito berhasil membongkar otak di balik konplik Poso itu dan sekaligus meredamnya. Tahun 2009 , Tito berhasil meringkus gembong teroris Noordin Muhammad Top. Ketika terjadi agresi di sentra perbelanjaan Sarinah, Jakarta Pusat pada awal Januari 2016. Dengan pengalamannya yang mendalam soal terorisme, tak kurang dari 5 jam Ibukota sudah kembali di kuasai dan aman dan 7 tersangka sudah tertangkap.

Tito memang di kenal sebagai hebat operasi anti teror. Jabatan terlamanya yakni sebagai Komandan Densus 88. Keahliannya bukan saja berkelas lokal tapi international. Bebepara Akademi Kepolisian di luar negeri memintanya memperlihatkan mata kuliah umum wacana anti teror. Atas dasar itulah Tito punya kiprah penting di kurun Pemerintahan Jokowi sebagaimana katanya usai di lantik sebagai Kapolri bahwa kejahatan yang berimplikasi kontigensi, ibarat terorisme dan konflik intoleransi akan menjadi fokus utamanya. Bagaimana menjadikan potensi besar Umat islam sanggup di manfaatkan sebesar mungkin bagi pembangunan nasional dan menemukan solusi sempurna mengatasi paham radikalisme dari segelintir umat Islam. Tantangan kedepan Indonesia sangat besar. Karena bahaya konplik global yang di picu oleh kelangkaan sumber daya akan Food, Energy and Water sanggup saja menjadikan Indonesia sebagai sasaran untuk di perebutkan. Dan potensi konplik di Indonesia walau itu sangat kecil namun sangat gampang menjadi ledakan besar. Apalagi di kemas dengan retorika agama yang membuat orang sanggup terprovokasi menjadi mesin pengrusak persatuan dan kesatuan.

Jokowi mustahil memusuhi ormas Islam. Karena secara politik Jokowi butuh kekuatan informal dari umat islam. Maklum karena  dia bukan elite Partai dan bukan pula berasal dari Militer. Keberadaan kekuatan informal umat islam harus di jaganya sebaik mungkin  supaya sanggup membuat ke seimbangan dengan kekuatan formal yang ada. Namun membiarkan kekuatan radikal berada di tengah umat islam juga tidak menguntungkan bagi potensi umat islam itu sendiri yang di percaya sebagai benteng NKRI. Juga mustahil alasannya yakni segelintir umat islam yang radikal lantas membuat stigma bahwa setiap gerakan umat islam yang berbeda dengan pemerintah yakni musuh. Tentu tidak bijak. 

Masalahnya adalah, bagaimana caranya memisahkan dengan tegas kelompok paham radikal yang tak mungkin lagi di rangkul dan harus di hancurkan, mana yang radikal dan masih sanggup di jinakan lewat persuasi, dan mana yang moderat dan harus di tingkatkan potensinya untuk ambil bab dalam pembagunan nasional di segala bidang ? Tito memang ahlinya di bidang ini. Acara demo pada tanggal 2/12 nanti yang di dukung oleh Kapolri yakni salah satu bentuk ke piawaian Tito mendekati kekuatan radikal untuk kembali ke jalur yang di inginkan pemerintah. Dari planning demo di Jalan Sudirman dan Thamrin bergeser ke Lapangan Monas, dengan di back up pribadi oleh POLRI dan TNI. Boleh di katakan agresi demo kali ini sebagai tuan rumah yakni POLRI. Tentu agresi ini akan di jaga dengan ketat supaya tidak hingga di masuki oleh provokator yang sanggup menyebabkan kerusuhan. Bila agresi tenang ini terjadi, maka gambaran indonesia di mata international akan terangkat dan niscaya membuat dunia harus berpikir ulang untuk mengobok ngobok Indonesia dengan memanfaatkan issue SARA. 

Bagaimana dengan tuntutan supaya Ahok di tangkap dan di penjara? Masalah ini saya yakin sudah akhir di persuasi oleh POLRI dan Tentara Nasional Indonesia untuk meyakinkan mereka bahwa tuntutan dengan pemaksaan kehendak itu , sanggup saja di kabulkan. Tapi bagaimana dengan supremasi aturan sebagai dasar berdirinya sistem demokasi ? Ini bukan soal keberpihakan terhadap AHok atau tuntutan Umat islam tapi keberpihakan kepada supremasi hukum. Sekali Indonesia tunduk dengan kekuatan massa maka ketika itu juga bukan hanya dunia mencurigai dapat dipercaya pemerintah tapi juga kelompok islam moderat dan golongan minoritas juga tidak lagi merasa nyaman dan aman di bawah kepemimpinan Jokowi. Karena di nilai lemah. Sekali pemerintah di nilai lemah maka apapun kebijakan pemerintah tidak akan efektif lagi, Hanya  persoalan waktu kekuasaan akan jatuh. Dan inilah bergotong-royong sasaran dari kelompok radikal di balik agresi demo belakangan ini.

Dalam upaya persuasi, Jokowi melaksanakan pendekatan kepada Elite partai, tokoh ulama, pimpinan ormas islam , supaya semua sanggup di dudukan pada tempatnya. Semua komponen bangsa sanggup mendapatkan perilaku pemerintah bahwa aturan harus di hormati dan proses nya harus transfarance supaya legitimasinya berpengaruh di hadapan rakyat. Bagi pihak yang mencurigai tekad pemerintah maka perilaku pemerintah melalui Tentara Nasional Indonesia dan POLRI sangat jelas, bahwa siapapun yang mencoba melawan UU dan aturan dengan cara cara kekerasan maka itu sama saja berhadapan dengan Tentara Nasional Indonesia dan POLRI bersama sama dengan semua komponen bangsa. Semua berprinsip bahwa NKRI harga mati. 

Mungkin saja sesudah 2/12  akan ada agresi demo susulan apabila tuntutan mereka tidak terpenuhi, alasannya yakni Ahok di nyatakan bebas. Namun perilaku mereka yang menolak itu sudah berada di kelompok radikal yang tak sanggup lagi di persuasi maka mereka harus berhadapan dengan moncong senjata Tentara Nasional Indonesia dan POLRI. Dan Jokowi tidak akan berdamai dengan ini. Karena taruhannya yakni NKRI.  Terlalu mahal harga yang harus di bayar bila pemerinntah lemah dengan para pemaksa kehendak. Ingat bahwa satu satunya sifat teroris yakni mengancam untuk mencapai tujuan, Dan bila bahaya tidak di hiraukan maka mereka akan beraksi. POLRI di bawah Tito dan Tentara Nasional Indonesia di bawah pimpinan Gatot sangat menguasai peta kekuatan radikalisme di Indonesia dan paham sekali bagaimana cara menghadapi mereka. 

Yang terang hikmah dari agresi bela islam ini yakni tanpa ramai ramai pada bulan november 2016 Pemerintah berhasil membentuk Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Kementerian Agama, sesudah dua tahun molor semenjak UU Halal di syahkan. Pemerintah berhasil merevisi UU ITE dengan memasukan pasal karet terhadap konten mengembangkan info yang bersifat tuduhan, fitnah, maupun SARA yang mengundang kebencian. Yang sanggup dijerat bukan hanya yang membuat, tapi justru juga yang mendistribusikan dan mentransmisikannya. Saat kini sedang di bahas di dewan perwakilan rakyat revisi : UU anti Teror dan UU Pilkada dan UU Minerba. Kemungkinan besar akan lolos dengan gampang di DPR. Apalagi jikalau agresi bela islam III pada 2/12 mendatang jadi di laksanakan. Maka selanjutnya Pemerintah semakin berpengaruh mengontrol kekuasaan dari segala issue SARA. Ormas yang radikal sanggup pribadi di bubarkan atau di tangkap pengurusnya bila di curigai. Kekuasaan negara terhadap SDA semakin besar untuk kepentingan nasional dan terdistribusi sesuai dengan otonomi daerah..

Jadi tidak perlu terlalu kawatir dengan agresi 2/12 yang rencananya melaksanakan sholat jumat berjamaah di Lapangan Monas. Memang ada resiko tapi  kita harus lakukan demi prinsip demokrasi. Dan demi terwujudnya perdamaian dan kesatuan dalam kebinekaan maka kita harus berjuang menyamakan visi antar anak bangsa, supaya NKRI tetap utuh dan bermartabat , tempat referensi bagi anak bangsa. 

Sumber https://bukuerizelibandaro.blogspot.com/

Artikel Terkait