Efek Aktual Dari Zonasi, Mengakhiri Kastanisasi Pendidikan

Assalamu'alaikum wr.wb. selamat tiba di website infokemendikbud.web.id dan salam sejahtera untuk rekan-rekan guru semua...
Simak informasi terbaru yang sangat penting berikut ini tentang EFEK POSITIF DARI ZONASI, MENGAKHIRI KASTANISASI PENDIDIKAN

Beberapa tahun lalu, dalam beberapa kali diskusi akademik, salah seorang guru besar bidang pendidikan dan genetika di sebuah Perguruan Tinggi Negeri di Malang dengan tegas menyampaikan bahwa sistem pendidikan (khususnya terkait dengan kebijakan sekolah) telah jauh melenceng dari relnya. Adanya dikotomi sekolah, antara sekolah favorit dan tidak, telah menjadi fakta bahwa arogansi dan ketidakadilan telah berkembang begitu pesat di Indonesia. 

Bagaimana mungkin bangsa ini membiarkan keadaan dimana satu sekolah dengan egois hanya mendapatkan siswa cerdas (dan mungkin juga dengan dana kuat) dengan nilai rerata minimal delapan koma, sementara sekolah lain mendapatkan siswa dengan nilai tertinggi tujuh koma? Anak-anak berakal dan kaya kumpul di sekolah favorit, belum dewasa kurang bisa dan kemampuan akademik biasa-biasa saja kumpul di sekolah pinggiran/non-favorit. 

Kini, beberapa tahun kemudian sehabis pernyataan guru besar itu, kebijakan benar-benar muncul. 

Sistem zonasi mulai diberlakukan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud). 

Sebagaimana pernyataan dalam release Kemdikbud. Kebijakan ini membawa misi yang sangat mulia. 

Sistem zonasi dalam proses penerimaan peserta didik gres (PPDB) di sekolah bertujuan untuk pemerataan hak memperoleh pendidikan bagi belum dewasa usia sekolah (Warta Ekonomi/13/07/2018). 

Kebijkan ini ialah upaya menjamin layanan susukan bagi siswa, mendekatkan lingkungan sekolah dengan lingkungan keluarga, menghilangkan diskriminasi di sekolah (khususnya sekolah-sekolah negeri), upaya meningkatkan prasarana sekolah ataupun peningkatan tenaga pendidikan, dan mendorong kiprah serta masyarakat dalam kiprah serta kualitas pendidikan.

Mengakhiri Dikotomi
Dikotomi sekolah favorit dan non favorit sejatinya telah belangsung  dan berkembang semenjak lama, bahkan sanggup dengan tegas disampaikan bahwa pembedaan ini merupakan  “warisan kolonial 

Belanda”. Menurut Purbajati (2017) teori pendidikan yang kita pelajari selama ini tidak pernah mengenal sistem pengelompokan siswa atau sekolah menurut kapasitas otak (kecerdasan) semata. 

Pola ini terang telah melanggar kodrat dan anugerah dari Tuhan. Bukankah masing-masing  mempunyai talenta atau kecerdasan alamiah yang merupakan bab dari karunia Tuhan?

Langkah “kapitalisasi” sekolah dengan menambah label favorit, jadwal plus, esktensi, kurikulum luar negeri, menjadi tren yang kita temukan. Sekolah (sejatinya pihak-pihak dengan kepentingan pribadi dan sesaat), menikmati label “sekolah favorit”. Bukankah dengan mendapatkan siswa berkemampuan tinggi sekolah-sekolah relatif tidak perlu bekerja keras mendidik dan mengajar? 

Maka yang muncul ialah adanya kastanisasi pendidikan. Sekolah-sekolah berlabel favorit itu ialah pemilik kasta tertinggi. Maka berikutnya, guru-guru dan siswa di sekolah tersebut otomatis menjadi bab pemilik kasta tertinggi. 

Harus diakui bahwa dengan mendapatkan siswa-siswa yang mempunyai nilai rerata delapan koma, guru menjadi lebih gampang mengajar. Bahkan, bila siswa-siswa itu hanya diberi kiprah membaca dan secara berdikari saja, mereka sudah mempunyai nilai bagus. Bukankah hanya butuh satu hingga dua point semoga mereka mempunyai nilai sangat baik dan sempurna? Bayangkan bagaimana beratnya usaha guru yang bukan sekolah favorit? Bukankah guru-guru di sekolah yang awalnya berlabel favorit dan non-favorit itu sama-sama digaji dari pajak yang dibayarkan oleh  masyarakat? Bagaimana dan atas dasar apa guru kemudian melaksanakan riset-riset pendidikan semisal Penelitian Tindakan Kelas (PTK), quasi-eksperimen, dan penelitian pengembangan? Toh, bahwasanya siswa-siswa mereka cenderung tidak mengalami masalah, apalagi bila melihat hasil (learning outcome). 

Bisa jadi, label dan pencitraan favorit itulah yang mendorong runtuhnya pendidikan huruf bangsa ini, alasannya ialah pendidikan tidak lebih hanyalah mengakibatkan anak didiknya “eksklusif, elitis, dan jauh dari realitas”. Mereka menjadi generasi bangsa yang tidak terbiasa berempati dan hidup bersama dengan sahabat sebaya yang mempunyai kemampuan beragam, dengan latar belakang ekonomi beragam, dan aneka macam bentuk heterogenitas lainnya.

Auliya (2007) telah memperingatkan bahwa boleh jadi tanpa disadari, konsep sekolah favorit selama ini memberi peluang besar akan kecenderungan berbangga diri (baca: angkuh) peserta didi, meski tentu tidak adil jikalau kita menyampaikan “semuanya”. Bisa jadi para siswa akan merasa diri lebih jago alasannya ialah ternyata ia bisa bersekolah di kawasan favorit yang tidak semua orang bisa memasukinya.

Sementara pada siswa yang berguru di sekolah biasa bisa akan menjadi minder alasannya ialah tidak bisa menyerupai teman-teman mereka yang lainnya yang bisa menikmati kemudahan sekolah favorit. Kondisi tersebut akan semakin menjadi manakala didukung perilaku orang bau tanah yang juga berbangga diri dengan anaknya yang bisa menembus sekolah favorit. Bukan mustahil bila ini menjadi salah satu pemicu  ‘tumbuh-suburnya’ karakter-karakter negatif.

Dalam konteks ini, kita tentu sependapat dengan Weber (2011) bahwa pendidikanlah yang bisa membantu kita melenggang secara nyaman di zaman modern ini. Namun senada dengan Nanang 

Martono (2017) menunggangi pendidikan dengan tujuan pragmatis merupakan upaya mengganjal atau kontra reformasi pendidikan yang secara pelan-pelan merusak kualitas pendidikan Indonesia. 

Oleh alasannya ialah itu, sudah sepantasnya (dan seharusnya begitu) kita mengakhiri kesalahan yang selama ini dilakukan tersebut. enata ulang distribusi guru.

Sejalan dengan konteks kebijakan zonasi ini, sejatinya permasalahan dan tantangan distribusi guru. 

Sudah saatnya pemerintah memberlakukan prinsip keadilan dalam tugas, distribusi guru, dan perhatian yang sama terhadap guru, dimanapun mereka mengajar. Hal ini mendesak perlu disikapi pemerintah. Merujuk pada data PGRI (2018) selain ihwal kompetensi guru yang masih beragam, sebaran dan jumlah guru juga masih jadi masalah. Distribusi/rotasi dan jumlah guru yang bermasalah menciptakan peningkatan kualitas pendidikan masih jauh dari harapan. 

Akhirnya, marilah kita sama-sama mendukung kebijakan mulia pemberlakuan zonasi pendidikan (PPDB) ini. Semoga kebijakan ini benar-benar bisa memenuhi sasaran tujuannya. Meminjam statemen Ketua Dewan Pendidikan Kota Denpasar Bali, Dr. Ir. Putu Rumawan Salain, M.Si, beberapa tahun kemudian (BaliPost/2013), “Dengan contoh rekrutmen siswa menyerupai itu, kita optimis fenomena penumpukan siswa-siswa pandai di satu sekolah tidak akan terjadi lagi. Kebijakan itu secara otomatis akan mempercepat pemerataan kualitas pendidikan”. Kita juga terus mendorong pemerintah jeli, tepat, dan segera menerapkan kebijakan rotasi guru. Semoga. 

Sumber : www.malang-post.com

Demikian informasi dan informasi terkini yang sanggup kami sampaikan. Silahkan like fanspagenya dan tetap kunjungi situs kami di website infokemendikbud.web.id Kami senantiasa memperlihatkan informasi dan informasi terupdate dan teraktual yang dilansir dari aneka macam sumber  terpercaya. Terima Kasih atas kunjungan anda semoga informasi yang kami sampaikan ini bermanfaat.

Artikel Terkait