Elite Dan Demokrasi.


Pada tanggal 4 Juli 1776 sejumlah orang — banyak di antaranya pandai, berani, bercita-cita tinggi, dan pandai berdebat — berkumpul di Philadelphia, di koloni Inggris yang berjulukan Amerika. Mereka ingin menyatakan kemerdekaan dari Inggris. Setelah berdiskusi kurang-lebih sepekan, mereka karenanya menyetujui rancangan deklarasi yang ditulis oleh Thomas Jefferson, untuk menyerukan bahwa semua insan “dikaruniai oleh Sang Pencipta hak-hak tertentu yang tak sanggup disisihkan” — yakni hak untuk “hidup, kebebasan, dan mencari kebahagiaan”. Tapi toh saat Jefferson menyusun naskah deklarasi itu di kamarnya di tingkat kedua sebuah rumah bata Philadelphia itu, ia tak berpretensi ingin menyajikan sebuah gagasan yang orisinil. Benih deklarasi ini memang tak bermula di kepalanya. Itu berasal dari pesan Gereja namun hanya digunakannya untuk meyakinkan rakyat untuk bersatu dibawah satu bendera. Tak ubahnya dengan Deklarasi Kemerdekaan Indonesia yang diawali dengan piagam Jakarta wacana kewajiban melaksanakan syariah islam.  Terbukti seusai Kemerdekaan, baik AS maupun Indonesia tidak pernah melaksanakan pesan deklari kemerdekaan itu secara orisinil. Tidak ada pesan Gereja yang diikuti walau para elite disumpah atas nama Tuhan dengan Injil sebagai saksi. Tidak ada pesan Al Alquran yang diikuti walau para elite disumpah atas nama Allah dengan Alquran sebagai saksi.

Mengapa ? dari awal mereka sudah berdusta atas nama Tuhan. Berdusta atas nama kebaikan, kebenaran dan keadilan. Bila kebaikan itu manis untuk rakyat namun mengekang nafsu para elite untuk terus berkuasa maka kabaikan harus dihapus. Bila kebenaran itu harus diperjuangkan demi rakyat namun karenanya menciptakan para elite tidak bebas korup maka kebenaran itu diperdagangkan. Bila aturan  itu penting untuk ketertipan maka itu cukuplah berlaku bagi rakyat , dan tidak perlu bagi Elite penguasa. Keadilan hanya untuk elite dan rakyat harus jauh dari itu semua. Makanya mustahil terdengar para elite berkata bahwa Freeport harus angkat kaki dari Indonesia, kontrak Konsesi MIGAS ditangan abnormal harus direvisi menyerupai yang dilakukan oleh  Bolivia atau Venezuela. ,landreform harus dilakukan untuk memperlihatkan keadilan bagi rakyat secara luas, UU dan Peraturan harus sesuai dengan Agama, pelaku korupsi harus dieksekusi mati dan keluarganya dipastikan miskin melalui aturan pembuktian terbalik.

2014 nanti kita akan kembali menggelar PEMILU dengan anggaran diperkirakan sebesar Rp. 16 triliun. Setelah melaksanakan verifikasi terhadap calon legislative yang diajukan oleh masing masing partai , tentu KPU akan tetapkan nama caleg yang lolos verifikasi. Selanjutnya , calon itu harus mempersiapkan diri bertarung di tempat pemilihannya dengan calon dari partai lain. Dari kini persiapan sudah dilakukan, termasuk menggalang dana untuk biaya kampanye kelak. Teman saya dari New York seorang aktifis kemanusiaan pernah berkata kepada saya bahwa satu satunya penipuan yang tidak sanggup dituntut didepan pengadilan yakni komitmen politisi. Semua tahu saat Pemilu , semua politisi berbicara begitu hebatnya. Orasinya diatas panggung memakai banyak sekali cara untuk menarik simpatik rakyat. Janji ditebar, kata kata pesan yang tersirat atau magic word dari filsup, negarawan mahir hingga kepada firman Allah disampaikan dengan begitu indahnya. Seakan  sang politisi berkata kepada semua orang bahwa ia tidak berbeda dengan sang fisuf mahir atau negarawan mahir dan menentukan ia yakni bab dari firman Allah.  Itu semua yakni bualan belaka. Sebuah cara culas yang harus dilakukan oleh  siapapun yang masuk dalam system demokrasi liberal. Tipu , berbohong, itu yakni seni untuk menjadi pemenang.

Demokrasi tak ubahnya dengan dictator, yang keduanya punya prinsip mensejahterakan elite politik. Demi stabilitas maka kesepakatan lendir diantara mereka sudah menjadi kelaziman.  Mau bukti? siapapun yang tampil dipanggung politik demokrasi dan unggul , tidak pernah berani malakukan perubahan untuk kebaikan, kebenaran dan keadilan. Karena perubahan berarti Chaos. Semua tak ingin chaos. Walau ia berbicara wacana perubahan maka hanyalah dialogh actor kelas panggung. Obama tampil sebagai president dengan jargon  perubahan “Change will not come if we wait for some other person or some other time. We are the ones we've been waiting for. We are the change that we seek.” Semua orang terpukau dengan magic world wacana perubahan. Namun sesudah berkuasa, komitmen tinggal janji. Perubahan tidak terjadi menyerupai yang dibayangkan oleh rakyat Amerika saat menentukan Obama.  Lima tahun sesudah putaran pertama berkuasa, Obama punya komitmen lain untuk meyakinkan rakyat Amerika semoga memilihnya kembali. Makara ya sama menyerupai business ponzy yang terus berputar putar hingga tidak ada lagi orang yang mau tiba kebilik Pemilu, saat itu barulah kita sadar bahwa para elite itu tak lebih pengangguran berdasi yang kerjanya hanya menipu untuk hidup senang.  Yang niscaya siapapun yang kita pilih maka mereka yakni gerombolan satu rezim , satu platform untuk status quo.

Sumber https://culas.blogspot.com/

Artikel Terkait