Sesungguhnya Allah tidak akan menghilangkan ilmu dengan mencabutnya dari semua manusia, akan tetapi dengan menghilangkan ulama, sehingga dikala tidak ada lagi seorang alim, insan akan mengakibatkan orang-orang kolot sebagai pemimpin. Yang dikala ditanya, mereka akan memberi fatwa tanpa didasari ilmu sehingga fatwa akan sesat dan menyesatkan (HR Bukhari).”
***
Irshad Manji yakni muslimah berkewarga negaraan Canada. Dia tiba dan ia ditolak oleh LSM Islam Indonesia. Pada waktu bersamaan kehadirannya didukung oleh kelompok islam yang mengusung liberalism. Namun kekuatan massa dari kelompok Islam yang menentang lebih banyak dan akibatnya pegawapemerintah kepolisian menentukan cara kondusif dengan menggagalkan diskusi bedah buku yang berjudul Allah, Liberty, and Love. Selesailah sudah masalahnya. Namun tidak bagi yang mendukung kehadiran Ishad Manji. Mereka meradang murka atas perilaku kepolisian yang melarang acara akademis dalam program bedah buku tersebut. Menurut mereka, pemerintah ( kepolisian ) telah memasung kebebasan mimbar akademis. Ini sama saja membelenggu kebebasan dan merusak system demokrasi. Teman saya yang juga pencinta kebebasan berpikir sempat berujar dihadapan saya bahwa umat islam Indonesia bersikap paranoid. Disamping paranoid juga ada perilaku phobia terhadap perbedaan pemikiran terhadap aliran islam.
Menurutnya , jika uma islam dan bangsa Indonesia mau maju maka kebebasan berpikir terhadap agama itu harus dihidupkan. Jangan ada lagi ada istilah taklik terhadap pendapat ulama wacana halal dan haram. Ilmu Allah itu teramat luas hingga tidak pantas hanya diselesaikan oleh pemikiran sepihak oleh para ulama. Atas dasar apa hidup kita, pemikiran kita, ditentukan oleh segelintir ulama. Demikian katanya. Saya hanya tersenyum. Menurut saya teman ini sedang berusaha berbicara wacana agama sebagai sebuah isme. Agama sebagai sebuah idiologi sekular. Kalau Islam sebagai sebuah idiologi sekular atau isme, mungkin ada benarnya. Seperti Komunis atau sosialis, kapitalis , itu yakni idiologi , isme yang bisa dipreteli dan dibongkar disana sini untuk diperbaiki sesuai dengan tuntutan zaman. Namun Islam bukanlah Idiologi sekular , juga bukan Isme. AL quran terlalu luas untuk bisa disandingkan dengan isme atau idiologi sekular. Terlalu luas. Al Alquran yakni sederet aturan dan ketentuan yang melingkupi segala hal yang teramat luas untuk dipahami oleh kebijaksanaan yang terbatas ini.
Agama islam dihidupkan dan dilindungi oleh AL Alquran dan hadith. Ini bukan buah karya manusia. Ini buah karya Allah. TIdak aka ada satupun insan bisa menciptakan satu ayatpun yang ada didalam kitab mulia itu. Tidak ada. Kekuasaan Allah teramat hebat melindungi AL Alquran itu dari segala cara untuk orang bisa merusak atau memutar balikannya. Sejak Al Alquran diturunkan di Kota Mekkah dan kemudian di Madinah , lewat proses waktu Allah telah merancang sedemikian rupa bagaimana kelanjutan AL Alquran itu hadir ditengah manusia. Kehendak Allah pula, tampillah para para teman rasul dan kemudian Imam sebagai penerus Rasul yang tanpa diorganisir oleh forum apapun, mereka mendedikasikan dirinya mengumpulkan setiap ayat dan hadith tersebut dengan cara yang sangat sophisticated. Bukan pekerjaan sehari tapi pekerjaan bertahun tahun dan bahkan berpuluh tahun. Segala informasi itu dikumpulkan dengan detil lewat prosedur cross informasi dan kemudian diuji dengan kebijaksanaan dan kalam, untu hingga pada satu kesimpulan pembenaran.
Para teman Rasul dan imam itu telah tiada dan mereka meninggalkan Bibel ( AL Alquran dan AL Sunnah ) yang sekarang menjadi rujukan bagi kita semua. Namun kita sebagai orang awam pun tidak gampang mencerna isi kitab itu. Maka tampilah individu yang mewakafkan hidupnya mempelajari isi Kitab itu untuk menjadi sebuah aturan yang gampang dipahami oleh orang awam. Mereka yakni kaum ulama. Proses terbentuknya aturan inipun tidak mudah. Ada tahapan hingga seorang ulama dibenarkan mengambil kesimpulan terhadap problem keseharian yang kompleks itu. Tahap itu yakni Qiyas, Ijmak, ijihad. Tahapan ini tidak dilalui dengan sederhana. Mereka dibekali ilmu dalam ketekunannya mempelajari setiap isi AL Alquran dan Hadith. Mereka mendedikasikan hidupnya hanya untuk tujuan itu dan keseharian mereka higienis dari segala watak jelek atau adab rendah. Mereka menjadi segelintir orang yang dihormati bukan alasannya pangkatnya, hartanya, tapi alasannya keilmuan dan tawadhunya.
Pada tahap Qiyas atau kebijaksanaan sehat analogi,metode. Mereka menggali sumber sumber klasik menyerupai aturan yang dibentuk oleh para teman rasul sesudah rasul wafat atau para ulama yang diakui keluasan ilmu agamanya. Ini dilakukan bila hingga pada situasi kontenporer yang belum pernah terjadi dizaman Rasul dan Al Alquran tidak menjelaskan secara rinci. Jika timbul ambiguitas wacana cara untuk menerapkan Qiyas, problem ini diselesaikan kepada tahap kedua yaitu Ijmak atau konsesus masyarakat atau konsensus para ulama yang diakui oleh masyarakat. Jika telah menemukan balasan tuntas dari AL Alquran , hadith, qiyas dan ijmak , maka ulama dipantaskan untuk melaksanakan itjihad yang berarti “berpikir bebas berdikari menurut nalar” Makara ada proses yang rumit untuk seorang ulama hebat hingga pada kemampuannya memakai nalarnya. Kalaulah sekarang para Islam liberal mengusung kebebasan Itjihad,dengan alasan membunuh taklik, apakah mereka sudah termasuk orang yang qualified lahir batin untuk bisa beritjihad?
Apa yang tidak disukai oleh Komunis terhadap agama ? bukan ajarannya. Bukan pula ritualnya. Tapi yang harus diberangus yakni forum dibalik keberadaan Islam itu. Ulama dan sederet jago agama bukanlah forum resmi. Mereka yakni individu yang tidak tercatat dalam lembaran Negara namun keberadaan mereka diakui oleh umat islam. Kata kata mereka diakui dan dihormati serta diikuti dengan setia. Bukan alasannya umat memuja ulama itu, bukan. Tapi alasannya keimanan kepada Allah dan Rasul. Itu saja. Inilah yang menyeramkan oleh isme manapun. Bayangkan, ada sebuah system , yang kokoh, yang invisible namun mengakar lahir batin dalam setiap umat. Itulah kehebatan Islam. Makara keberadaan Islam liberal tak ubahnya dengan iman komunis yang pada dasarnya hanya satu , mereka ingin memisahkan ulama dengan umat. Itu saja. Makanya siapapun boleh melaksanakan itjihad. Yang haram dinalarkan menjadi halal. Yang sacral dinalarkan menjadi materi tertawaan. Seperti goresan pena Irshad Manji.
Bila komunis melarang system dibalik agama dengan tangan besi. Namun system demokrasi tidak memakai tangan besi tapi melalui propaganda akademis untuk merubah rujukan pikir ( mindset) dan keyakinan orang terhadap ulama melalui kebebasan berpikir. Kalau ini dibiarkan maka hanya soal waktu umat akan lepas dari ulama maka Al Alquran dan Hadith akan dirancang oleh orang miskin ilmu agama untuk sesuai dengan design politik pragmatis. Maka hancurlah umat islam, alasannya mereka dipimpin oleh orang kolot yang sesat dan menyesatkan.
Sumber https://culas.blogspot.com/