Koalisi Dan Demokrasi?

Amandemen Undang-Undang Dasar 45 telah merombak structure constitutional dan bersifat controversial, membuka peluang kepada parpol untuk memberi interpretation subjective mengenai posisi parpol didalam forum legislative. Bahkan ada yang menganggap bahwa amendment ini telah merubah system pemerintahan dari presidential menjadi semi parlementer, dan alasannya yaitu itu merasa tidak memiliki pegangan untuk dapat menyatakan posisi dirinya dan fungsinya di DPR. Makanya ada istilah kubu Oposisi dan kubu pemerintah. Pada sejatinya, dalam Undang-Undang Dasar 45, fungsi dewan perwakilan rakyat yaitu bertugas secara fungsional tanpa kecuali untuk mengawasi kiprah eksekutive, membuat UUD, tetapkan APBN. Makara tidak ada istilah kubu pemerintah ataupun oposisi. Makanya , dengan amendment ini terjadi perpecahan kelompok pemikiran di dewan perwakilan rakyat sesuai kepentingannya terhadap kebijakan pemerintah. Akibatnya membuat ketidak pastian yang tak berujung, sehingga melahirkan politik dagang sapi. Pasal UU diperdagangkan atau dibarter dalam sharing kekuasaan di parlemen. Makanya, jangan aneh kalau UU dicreate bukan untuk kepentingan rakyat tapi kepentingan partai /kekuasaan/modal. Jangan aneh  walau anggota dewan perwakilan rakyat dipilih pribadi oleh Rakyat namun kapan saja kalau ia berseberangan dengan kebijakan partai,dia dapat disingkirkan oleh partainya lewat hukum mengenai PAW ( pergantian antar waktu). Makanya anggota dewan perwakilan rakyat sehabis terpilih tidak lagi loyal kepada rakyat tapi loyal kepada Partai. Dia harus menghamba kepada partainya supaya korsinya aman, walau ia tahu kebijakan partainya tidak sesuai dengan kehendak pemilihnya.
Kini menjelang pemilu partai sibuk loby sana loby sini. Tujuannya yaitu menggalang kekuatan dalam bentuk koalisi. PDIP yaitu partai yang diibaratkan perempuan manis yang diincar oleh banyak partai genit mirip Golkar,  Partai Demokrat. Maklum PDIP mempunya elektabilitas yang tinggi dan organisasi partai yang paling solid. Dari kader akar rumput samai dengan jajaran elite politiknya tunduk dengan single commander. Dua periode kekalahan PDIP dalam pemilu telah mengajarkan banyak kepada kader PDIP untuk kembali kepada jati diri usaha mereka untuk wong cilik. Kini PDIP telah berubah menjadi menjadi partai modern yang bekerja menurut idiology tanpa terjebak dengan pragmatisme. Namun hingga kini PDIP belum bersikap untuk memilih koalisi walau elite PDIP sadar mereka harus menjalin koalisi. Karena dengan ambang batas Presidential Threshold, tidak ada satupun partai yang dapat berjalan sendiri kecuali ada miracle. Idealnya kalau koalisasi terbentuk alasannya yaitu kesamaan idiologi namun pada prakteknya yaitu bagi bagi kekuasaan dengan mengedepankan politik pragmatis. Sehingga tujuan koalisi menjadi tidak efektif. Pemerintah menjadi lemah dan sulit mengambil keputusan penting yang strategis. Didunia ini hanya empat negara penganut sistem presidensialisme yang berhasil dalam membuat pemerintah yang efektif dan stabil. Keempat negara tersebut adalah Amerika Serikat, Costa Rica, Columbia, dan Venezuela.Itupun alasannya yaitu partainya tidak banyak, yaitu paling banyak 3 dengan idiologi yang terperinci sehingga terperinci pula chemistry nya dalam berkoalisi.

Dalam tesisnya , tentang, “Presidentialism, Multipartism, and Democracy: The Difficult Combination”, Comparative Political Studies, Scott Mainwaring telah memperingatkan bahwa sistem presidensial yang diterapkan dalam kontrsuksi multi partai, akan melahirkan ketidakstabilan pemerintahan dan menghasilkan presiden minoritas dan pemerintah yang terbelah. Hal ini terbukti sudah dalam system politik kita. Tapi para elite sibuk mencoba mengatisipasi kelemahan dari multipartai itu. Caranya dikeluarkan hukum perihal ambang perolehan bunyi di pemilu (electoral threshold) dan penerapan ambang batas perolehan dingklik di dewan legislatif (parliamentary threshold) melalui pembagian tempat pemilihan (Dapil). Ini akan mendorong terciptanya secara alamiah system multipartai yang sederhana. Hanya masalahnya proses menuju multipartai yang sederhana itu memakan waktu usang dan biaya yang mahal. Padahal ujungnya sudah diketahui akan mengakibatkan dilema bagi kekuatan politik nasional. Lantas mengapa tetap juga dijalankan?. Yang pasti, Pemilu yang akan tiba tetap akan menhasilkan dua kamar kekuasaan yang saling berseteru. Walau koalisi terbentuk di dewan legislatif untuk mendukung president maka mindset politik yang berkata “ tidak ada teman sejati, yang ada hanyalah kepentingan “maka sehebat apapun koalisi dibangun, satu dikala ia akan rontok dimakan politik kepentingan. Inilah yang membuat kekuatan unity bangsa ini sangat renta dipecah belah dan akhirnya lemah sebagai bangsa yang besar untuk menjawab dilema besar yang terus berkembang dari tahun ketahun.

Kita tidak menyampaikan system demokrasi ala Orde Baru lebih baik untuk menopang persatuan atau lebih jelek alasannya yaitu terkesan dictator atau centralist. Juga kita tidak bisa mengatakan system politik ala barat dan AS lebih baik. Dan system kita kini sudah final. Tidak.! Apapun system yang dibangun selagi hak politik rakyat tidak menyatu dalam nafas kekuatan politik formal di parlement atau dipemerintahan maka jangan berharap potensi 200 juta lebih rakyat akan menjadi symbol kebesaran bangsa kita. Selama aspirasi kolektive rakyat tidak terbangun maka konspirasi kepentingan golongan akan terus terjadi, dalam system apapun. Demokrasi hanya akan melahirkan gerombolang politisi culas. Terbangunnya aspirasi kolective hanya mungkin kalau dilakukan melalui pendekatan budaya local dengan menempatkan agama sebagai tulang punggung untuk mencerahkan rakyat perihal hak haknya dibidang politik, budaya, ekonomi maupun social. Dari sinilah akan lahir kepemimpinan yang berakar dengan komunitasnya. Apapun system politik yang diterapkan , ia akan hidup dan terlindungi alasannya yaitu ia dalam rahmat Allah, yang pantas melegitimasi dirinya sebagai “suara rakyat yaitu bunyi tuhan.”

Sumber https://culas.blogspot.com/

Artikel Terkait