Memburu Harta (16)

Sesampai di Hong Kong International Aiport, saya segera menuju hotel. Aku yakin Lien cemas dengan putusnya komunikasi selama dua hari. Aku tidak bisa memberi tahu keberangkatanku kepada Lien. Karena sudah tekadku untuk menjaga kerahasiaan hubungan dengan Catty. Sementara saya sendiri masih sulit melupakan segalanya perihal Catty. Perpisahan dengannya menyisakan rasa khawatir. 
Pengalaman selama di Beirut sudah cukup menjadi bukti, bahwa kemana pun kaki melangkah pergi, kami  selalu diikuti oleh bayangan yang tak nampak. Tapi, walau Catty menyadari ini sepenuhnya, beliau seolah tidak peduli. Aku terus melangkah menerjang resiko. Aku tidak tahu sejauh mana keyakinan Catty akan berhasil menarik benang merah hubungan kepemilikan aset ini. Dari dokumen Fernadez yang ada di tanganku pun tak banyak membantu Catty. Kecuali sedikit petunjuk perihal Akhmad Khaled. Hanya itu!
Dari kata-kata perpisahannya, ada kesan Catty ingin terus ke Lugano sesudah dari Madrid. Pulangkah dia? Akankah saya bisa bertemu lagi dengan Catty untuk bersama-sama merampungkan misteri aset ini? 
Diam-diam saya sangat merindukan Catty. Rindu akan keteguhan hatinya. Rindu akan kecerdasannya. Rindu akan kemuliaan hatinya. Aku sadar betul akan kebaikan hati Catty. Kalau selama ini saya berjuang untuk uang namun Catty tidak. Dia sudah mempunyai semuanya. Dia terlahir dari keluarga kaya raya dan berkarir di perusahaan investasi kelas dunia. Catty hanya ingin berbuat untuk apa yang beliau yakini dan siap berkorban untuk itu. 
Sebuah proses pengorbanan yang sulit dipahami di masa sekarang. Di sebuah zaman dan budaya yang serba memuja uang. Dari sosok Catty, saya menemukan pencerahan bahwa nilai kebahagian itu bukan pada uang tapi ada di hati. Dan bila hati mulai berbisik perihal kebenaran maka tak ada insan yang bisa merasa nyaman kecuali memperjuangkannya. Bila menolak maka niscaya insan itu akan menderita walau di luar, beliau kaya raya.
Taksi yang kutumpangi telah hingga di hotel. Aku segera melangkah cepat menuju elevator. Sesampai di kamar saya berniat untuk ke spa dan kemudian tidur untuk istirahat. Tapi kemudian saya urungkan. Aku segera menghubungi Lien melalui telepon kamarnya.
“Oh. Dari mana saja kamu?” tanya Lien terkejut.
“Aku ada di hotel.”
“Oh, kami merasa kehilangan. Bukankah kita sudah berjanji untuk saling berkomunikasi.”
“Maafkan aku.”
“Ok. Aku akan segera ke kamar kau sekarang.”
Telepon terputus.
Ketika Lien hingga di kamar, saya berusaha tampak biasa. Coba menghilangkan kesan bahwa selama dua hari ini bersama-sama saya gres saja mengalami hal yang mencekam. Aku tidak ingin Lien tahu soal itu.
“Maafkan aku, alasannya ialah terpaksa harus bertemu dengan seseorang.”
“Haruskah selama itu tanpa ada kabar apapun?” bunyi Lien nyaris tak terdengar. 
Lien mungkin terlihat sedikit kecewa. Namun saya tahu, Lien sangat mengkhawatirkanku. Aku tersenyum dan memalingkan wajah ke tempat lain. 
“Oh, ya, saya harus ke spa. Apakah kau mau menemaniku?” ajakku berusaha mencairkan suasana.
“Baik,” jawab Lien membalas senyumku.
Kami berjalan bersama menuju ruang Spa berkelas, dimana sebagian besar pengunjung Spa ini ialah orang asing. Hampir tak terlihat ada orang Hong Kong di sana. Refreshing dengan Spa memang kurang diminati orang Cina. Mereka lebih menikmati hiburan dan pekerjaan. 
Lien melangkah ke ruang khusus perempuan dan saya menuju ruang khusus laki-laki untuk berganti pakaian. Pelayan Spa begitu terlatih menghormati tamu. Tentu alasannya ialah mereka dibayar mahal sesuai dengan profesionalitasnya. Tidak menyerupai pekerja Indonesia yang harus nrimo dibayar ala kadarnya. Tentu bekerja pun menjadi ala kadarnya. 
Ketika saya masuk ke ruang Steam, Lien sudah ada di dalam. Tubuhnya dililit handuk putih. Kepalanya bersandar santai dengan mata setengah terpejam. Lien tersenyum ketika saya masuk ke ruangan dan duduk di sampingnya. “Ada kecurigaan publik, khususnya para pengamat ekonomi perihal adanya perdagangan belakang layar aneka macam jenis produk pasar uang,” kataku memancing Lien berbicara. Berlama-lama di ruang sempit ini memang terlalu membosankan.
“Tapi hal ini dijawab tegas oleh pihak perbankan bahwa kecurigaan itu hanya isu. Dan tidak ada yang namanya perdagangan rahasia. Statemen ini bahkan dinyatakan eksklusif oleh otoritas pengawas pasar uang, dan menyebut isu itu berasal dari sekelompok orang yang ingin merusak reputasi dunia perbankan,” kataku.
“Dari apa yang kau lakukan di Swiss bersama Global Asset Management, juga bisa menjadi bukti adanya konspirasi itu. Sikap The Fed dan forum perbankan yang tidak mengakui adanya perdagangan belakang layar ialah munafik dan kebohongan. Setiap hari, aneka macam jenis surat hutang dan surat berharga diperjualbelikan melalui sebuah portal service tanpa diketahui publik. Hebatnya, acara ini justru dilakukan oleh perbankan kelas dunia dan forum keuangan Artikel Babo yang tujuannya ialah melayani kebutuhan nasabah privat,” sambung Lien sambil melirikku. 
Wajahnya sedikit memerah. Dia berdiri, membetulkan lilitan handuk, kemudian melanjutkan, “tidak banyak orang yang tahu bahwa ada sistem yang sengaja di-create oleh The Fed, untuk membuat bubble asset melalui private placement.  Ini sanggup kita amati dari ketentuan forum pengawas pasar uang atau modal yang diatur dalam SEC 144 A,  menegaskan bahwa NASD  tidak akan mempublikasikan informasi transaksi perdagangan yang terkait dengan SEC 144 A.”
Lien ternyata cukup memahami seluk beluk dunia keuangan. Sepertinya semua anggota team Naga Kuning dibekali pengetahuan luas di bidang ini, lengkap dengan peta situasi serta penguasaan informasi yang cukup. Sebuah indikasi bahwa Naga Kuning memang mempersiapkan segala sesuatunya dengan baik. Setiap anggotanya harus mempunyai kamampuan analisis yang berpengaruh dan daya kemandirian di lapangan.
“Jadi terang sekali bahwa perdagangan belakang layar itu ada. Sebetulnya banyak hal yang tidak saya mengerti perihal transaksi ini. Aku masih menganggap ini hanyalah transaksi biasa. Menjadi sangat luar biasa bagiku ketika tahu, dalam satu tahun keuntungan yang didapat dari transaksi mencapai 20 kali lipat dari modal yang ada. Ini sangat tidak masuk akal. Tapi terjadi dengan sempurna. Bagaimana bisa?”
“Ya,” sambung Lien tegas. “Hebatnya lagi, transaksi ini memakai sistem elektronik dan computerize. Dan mereka yang mempunyai access dalam 144A SEC ialah member yang memenuhi kualifikasi sebagai pemain.  Transaksi dilakukan antar member untuk kepentingan nasabahnya masing-masing dalam rangka meningkatkan nilai investasi. Jumlah nasabah yang terlibat dalam sistem ini diperkirakan mencapai 2500 rekening. Nasabah itu harus mempunyai rekening minimum USD 100 juta tunai dan mereka ialah kalangan private.”
“Lalu?”
“Transaksi ini dijalankan dengan prosedur portal  dan terhubung dengan lembaga-lembaga clearing baik lokal maupun global menyerupai Euroclear, Clearstream, dan DTCC. Lembaga clearing ini bukanlah government body, Mereka ialah forum privat yang kepemilikannya dikuasai segelintir orang. Namun forum ini exist atas dasar aturan Amerika dan menjadi bab dari sistem moneter AS. Mereka melaksanakan transaksi dengan sangat spektakuler baik dari sisi jumlah maupun volume..
Sebagai perbandingan, rata-rata per tahun terjadi perpindahan aset di DTCC sebanyak 164 juta transaksi dengan volume mencapai USD 77 triliun dan total aset yang dipegang DTCC mencapai USD 19 triliun. Ini gres DTCC, belum lagi forum clearing yang lain. Total aset yang ditempatkan dalam sistem ini diperkirakan mencapai USD 540 triliun.”
“Sangat fantastis!!” Seruku takjub.
“Ya. Bandingkan dengan GNP British yang hanya USD 15 triliun.”
“Dan alasannya ialah sifatnya rahasia, tentu antara para member sanggup melaksanakan apa saja sesuai kesepakatan,” saya menyimpulkan.
“Tepat sekali!! Dan tentu saja, itu terjadi atas dasar kesepakatan dengan The Fed.”
“Mengapa harus dirahasiakan? Lantas uang siapa yang mereka kelola? Siapakah nasabah-nasabah private tersebut?”
“Ini ialah pertanyaan yang tak kunjung bisa dijawab. Setiap pihak yang masuk tidak pernah menyadari bila dirinya telah berada dalam bundar ini. Sama halnya dengan kau ketika ini. Yang niscaya tidak ada transaksi kecuali berfokus bagaimana membuat keuntungan dan laba. Sistem di-create untuk menghasilkan laba. Ini ialah sistem yang menjamin semua pemain akan mendapatkan untung.”
“Luar biasa. Insider trading yang sistematis.” Kembali saya terkejut mendengar klarifikasi Lien. “Jadi sebetulnya, mereka mencetak uang melalui sistem rekayasa transaksi keuangan tanpa peduli dengan mendasar ekonomi yang ada.”
Lien tidak mengomentari kesimpulanku. Dia hanya duduk memejamkan mata. Merasa dibenarkan, saya kembali meneruskan, “seharusnya dunia kembali kepada emas sebagai mata uang. Dia ialah alat pembayaran yang adil sebagaimana pernah diterapkan dalam sistem Islam.”
Kali ini Lien bereaksi dan tersenyum. Sepertinya tidak berarti setuju, tapi senyum yang lebih terlihat menyerupai sedang menertawakan usulanku.
“Jaka,” seru Lien. “Dulu ketika emas masih dijadikan alat pembayaran, memang keadilan alat tukar terjaga dengan baik. Stabilitas harga terjamin. Tapi itu alasannya ialah didukung oleh kontrol negara yang ketat terhadap distribusi emas itu sendiri. Negara juga menjamin stock, produksi dan eksplorasi emas. Hampir semua transaksi emas dilakukan oleh otoritas negara dan forum keuangan multilateral. 
Namun alasannya ialah eksplorasi emas terus terjadi, aturan ekonomi pun berlaku untuk terus mengejar laba. Orang tak mau lagi emas dikendalikan oleh negara, alasannya ialah untuk mendapatkan emas orang mempertaruhkan resiko yang tidak kecil. Liberalisasi perdagangan emas pun tak bisa lagi dibendung. Siapapun boleh menimbun emas dan mempunyai emas tanpa harus dibatasi. Negara kehilangan kendali atas emas. 
Akibatnya terjadi perubahan kualitatif atas emas, dan kurs mata uang menjadi mengambang. Ditambah lagi moral culas penguasa yang juga berperan membuat rakyat tidak percaya. Yaitu pada ketika negara mencetak uang melebihi cadangan emas yang ada.
Pada ketika sekarang, emas diperdagangkan secara luas melalui prosedur yang borderless.  Sistem keanggotaan pasar dan spektrum transaksi juga berubah, dengan membangun komunitas sendiri dan struktur yang lepas dari negara. Perdagangan emas berlangsung setiap detik, 24 jam sehari dan terus berlangsung sepanjang tahun. Tranksaksi ini tidak hanya sebatas berupa emas fisik tapi juga meluas ke aneka macam instrumen derivatif  berbasis emas yang tersebar di lantai-lantai bursa Zurich, Hong-Kong, London, New York, dan Dubai.
Para pemainnya terdiri dari forum keuangan kelas dunia dan perusahaan khusus yang terdaftar di offshore untuk melayani ajakan private investor. Mereka ialah institusi dengan kualifikasi credit rating yang tinggi alias tersedianya likuiditas tunai tak terbatas. Dalam transaksi ini tidak ada pajak dan kontrol bea cukai. Semua peraturan dibentuk oleh pelaku pasar sendiri!
Dari perdagangan emas global ini, perdagangan emas lokal hanya menjadi pengekor yang motifnya ialah untuk investasi atau spekulasi. Pemain lokal bukanlah key player namun mereka bagaikan tawon yang mengelilingi sarang dan bergerak sesuai kehendak pasar utama (internasional). Bisa kita bayangkan, segelintir pemain di lantai bursa menentukan nasib value jutaan investor dari retail hingga kelas pedagang kecil. Persentase kenaikan harga emas ditentukan oleh pemain utama dan para follower mendulang keuntungan dari itu semua.”
“Apa benar volume perdagangan di lantai utama itu benar-benar mencerminkan fisik emasnya?” Tanyaku.
“Inilah pertanyaan yang tak pernah bisa dijawab, alasannya ialah data mendasar pasar tertutup dan bias oleh awan konspirasi antara pelaku pasar dengan pengelola clearing perdagangan. Sedangkan negara, dirantai tangannya untuk mendapatkan jalan masuk ini. Di era sekarang, siapa yang pegang stock, pegang resource maka dialah raja di dunia ini. Ini ialah PR bagi pejuang gerakan syariah yang ingin mengembalikan sistem jual beli kembali memakai alat tukar emas. Umat Islam harus mulai berpikir strategis sebelum tetapkan aturan. Suka tidak suka, selama lebih dari enam kala kita tidur dan selama itu orang lain bekerja keras siang dan malam, menembus hutan belantara mencari resource emas dan mengambil resiko setiap waktu. Mereka juga membangun jaringan dan sistem pedagangan emas yang melibatkan forum keuangan, clearing house, lawyer, dan fund manager. Semua itu dilakukan dengan disiplin tinggi dan kesetiaan penuh. Mereka kini menjadi segelintir orang pengatur dunia yang terorganisir dengan sangat baik,” kata Lien.
“Mengapa pemain kunci perdagangan emas itu begitu berpengaruh dan tak tersentuh?” tanyaku datar, meski sebetulnya tak ingin Lien menjawabnya. Karena bersama-sama saya pun sudah sanggup menyimpulkan sendiri. 
Tapi Lien dengan cepat menjawab, “pertama, alasannya ialah mereka mempunyai aturan sendiri. Kedua, mereka punya group forum keuangan sendiri untuk menjamin likuiditas pasar sekaligus sebagai lending resource  perusahaan tambang emas. Dengan ini mereka bisa mengontrol reserved-nya baik yang di gudang maupun di perut bumi. Ketiga, mereka ialah pemain sekaligus regulator. Inilah peta situasi dunia emas sekarang.”
“Benar,” kataku. Lien tersenyum puas ketika berhasil menjelaskan padaku perihal peta dunia emas sekarang. Menjadikan emas sebagai mata uang sama saja memberi jalan bagi segelintir orang menjadi semakin berkuasa di bumi.
“Apa yang kau pikirkan?” Lien melirik masih dengan posisi menyandar ke dinding ruang.
“Ah tidak. Aku hanya merasa harus segera keluar dari ruangan sempit ini.”
“Omong-omong, perempuan itu bagus juga,” terdengar bunyi Lien dari belakang ketika saya melangkah keluar dari ruangan sauna.
“Siapa yang kau maksud?” saya kembali masuk ke dalam. Kulihat Lien sedang memejamkan mata dalam keadaan duduk sambil menyandar ke dinding.
“Catty Liem,” sebut Lien santai.
“Kamu mengenalnya?”
“Kami mengikutinya semenjak dua tahun lalu. Dari pesan singkat yang beliau tempatkan di search engine di internet.”
“Oh...” Aku tak bisa lagi memandang remeh Lien. Aku merasa terpojok. Ternyata di hadapanku bukanlah orang biasa. Kelompok ini telah mempersiapkan diri untuk segala galanya. Termasuk mengikuti semua gerak langkahku.
“Jaka, bagaimana ceritanya kau bisa bertemu dengan Catty?” Lien bangun dari tempat duduknya. Aku nampak salah tingkah dengan situasi ini.
“Hai, kita sahabat. Tenang saja,” sambung Lien mencoba menenangkan saya yang tampak gugup.
“Kamu sudah tahu jawabannya,” jawabku singkat.
“Ok. Ingatlah, bahwa kami akan selalu ada bersamamu,” kata Lien tersenyum sambil keluar ruangan. Aku kembali ke ruang pemandian air hangat yang terpisah dengan wanita. Lien menghilang di balik ruang Artikel Babo. 
Naga Kuning tidak pernah menanyakan langkahku bersama Catty. Begitupula tidak menanyakan tindakan aturan terkait posisinya di Luxemburg. Tapi mereka mengetahui semua yang kukerjakan. Sampai ketika ini tampaknya mereka hanya melaksanakan briefing atau lebih tepatnya, mencuci otak biar saya menyadari apa yang sedang kulakukan dan mengapa saya harus menjadi bab dari team mereka.
Petugas spa menghampiri sambil membawakan telepon selularnya, “Pak, ada telepon untuk Anda. Apakah Bapak akan menerimanya?” tanya petugas itu ramah. Tanpa menjawabnya, saya segera mengambil telepon selularku.
“Jaka,” terdengar bunyi Amir dari seberang. “Di mana kau sekarang?”
“Di Hotel Marriot. Tapi lagi spa nih.”
“Jam berapa bisa ketemu?”
“Dua jam lagi, ya?”
“Ok, di mana?”
“Terserah.”
“Ok, kau tiba ke hotelku saja ya? Ritz Carlton.”
“Ok. Bye.”
Ketika saya kembali ke kolam renang, Lien sudah lebih dulu berada di sana. Dia sedang berenang dengan gaya kupu kupu. Tubuhnya yang kecil, timbul karam di air kolam yang bening. Aku gres menyadari, ternyata badan perempuan ini sangat seksi. Layaknya perempuan berusia di bawah tiga puluh tahun. Wajar bila Lien terlihat abadi muda alasannya ialah beliau sangat cerdik merawat diri. Aku bergabung masuk ke dalam kolam dan mengikuti Lien dari belakang dengan gaya bebas.
“Aku ada kesepakatan ketemu teman. Dia pejabat tinggi di negeriku,” kataku ketika kami tiduran, beristirahat di pinggir kolam renang.
“Jam berapa?”
“Sejam lagi.”
“Oh, ok. Aku juga harus ke Macau sore ini untuk suatu urusan.” Aku bangun dan diikuti Lien. “Keep in touch!” pesan Lien sesaat sebelum kami berpisah.
***

Ritz Carlton ialah salah satu hotel paling bergengsi di dunia. Di Hong Kong, beliau berlokasi di daerah Financial Center. Ini memang menjadi ciri khas Ritz Carlton yang selalu menentukan lokasi di jantung geliat bisnis papan atas. Tak satu pun orang yang tidak merasa raja bila berada dan tinggal di hotel ini. Dengan standar pelayanan yang excellent, meyakinkan semua orang bahwa mereka ialah orang yang pantas dihormati dengan segala layanan prima. Dan bagi pejabat Indonesia, hotel ini ialah pilihan utama. Termasuk Amir. 
Aku masuk lewat lobi hotel dan berbelok ke kanan menuju executive lounge. Amir sudah menanti dengan senyum mengembang. Kali ini beliau tiba dengan pakaian santai. Tak terlihat bahwa beliau ialah seorang pejabat tinggi sebuah negara. 
“Bagaimana perkembangan kasusmu?” tanya Amir sambil memelukku.
“Aku belum tahu. Lawyerku masih menunggu keputusan dari pengadilan, apakah masalah ini sanggup disidangkan atau tidak.”
“Tidak mungkin, Jak,” kata Amir tersenyum penuh arti.
“Maksudmu?”
Amir segera berdiri. “Baiknya kita bicara di ruang business center di lantai atas,” ajak Amir sambil menggandeng pundakku. 
Aku menduga, Amir tampaknya tidak ingin pembicaraan mereka didengar orang. Atau Amir menginginkan ruang privasi untuk bebas bicara. Mungkin ada sesuatu yang khusus yang hendak disampaikannya. Aku mengikuti Amir ke dalam elevator. 
“Aku sudah katakan, bahwa kau berhadapan dengan group raksasa yang mengontrol negara adikuasa dan pasar uang global. Merekalah penguasa mata uang sesungguhnya. Kaprikornus terima sajalah saran saya.”
“Menghentikan gugatan?” saya melirik Amir dari samping. Tapi Amir tak bergeming, dan tetap menatap ke arah depan. 
Elevator berhenti dan seseorang masuk. Kami berdua menentukan membisu tanpa suara. Ketika seseorang itu keluar dari elevator, Amir menatapku. “Bukan itu saja, tapi juga melupakan semua yang pernah kau lakukan,” kata Amir datar.
“Apa kau tahu, apa yang bersama-sama terjadi?” Tanyaku dengan mengerutkan kening. Aku merasa kedatangan Amir ke Hong Kong, merupakan jadwal khusus biar bisa bertemu denganku. Bila itu benar, tentu ada hal yang rumit sehingga memaksa Amir sendiri yang datang.
“Masalah ini terlalu besar untuk bisa kuabaikan,” sambungku.
“Aku tahu dengan niscaya bahwa kau berada di pihak yang lemah,” jawab Amir sambil memegang bahuku yang terasa keras. “Bukan hanya kamu. Tapi juga sebagian besar negara dan dua pertiga penduduk planet bumi ini. Mereka dalam posisi yang lemah bila dihadapkan dengan group raksasa itu.”
“Aku tidak percaya. Itu hanya mitos. Tidak semudah itu bagi group swasta untuk bisa mengendalikan negara,” kataku setengah berbisik. “Sikapmu itu yang membuat mereka semakin kuat. Cara kau bersikap ialah cermin dari sebagian pejabat negara yang terlalu lemah menghadapi mereka,” sambungku menyindir.
“Wah, kelihatannya kau sudah mulai tertarik mencampuri dunia politik, nih?” Amir tersenyum, yang kemudian dilanjutkan dengan tawa kecil. Bagiku, senyum itu terkesan mengejek. Tapi saya harus teguh meyakinkan sahabatku biar mau berubah. 
Kami keluar dari lift dan berjalan menuju ruang business center. Pelayan di business center menyambut dengan ramah, menyiratkan kesan sudah mengenal dekat tamunya. Ruang meeting sudah disediakan. Pelayanan itu kemudian menanyakan apakah kami butuh minuman atau masakan kecil. Amir menggelengkan kepala. Pelayan itu berlalu dengan ramah. Sejurus kemudian, Amir sudah duduk berhadapan denganku, dihalangi meja yang cukup panjang.
“Terserah apa katamu. Yang niscaya saya tidak akan pernah keluar dari transaksi ini. Lupakan soal ajakan bantuanku dulu. Anggap masalahnya sudah selesai. OK?” Kataku to the point, yang sudah mulai geram dengan perilaku Amir. Padahal saya tahu persis, Amir tentu paham dengan apa yang bersama-sama sedang terjadi di era globalisasi ini. Tapi beliau berpura-pura membutakan mata terhadap realitas yang ada. Sebuah perilaku masa terbelakang yang memilukan.
“Jak!” seru Amir, “aku mencintaimu sebagai sahabat. Aku hanya menginginkan yang terbaik untukmu dan keluarga. Itu saja.”
“Terima kasih, Mir,” Aku menatap ragu mata Amir, merasa ada sesuatu yang disembunyikan di balik kata-katanya barusan. “Tapi, apa maksudmu?”
“Sahabatku yang bekerja di forum multilateral memberitahu bahwa kau telah membuka contact dengan seseorang berjulukan Catty.”
Aku terkejut. Ternyata semua pihak telah mengetahui dan siap beraksi. Aku jadi sadar, bahwa database search engine yang beliau access pada situs Catty juga menjadi perhatian semua pihak yang merasa berkepentingan atas aset ini.
“Oh ya? Aku tidak kenal siapa Catty,” saya menjawab dengan damai menyerupai tidak terpengaruh dengan informasi yang disampaikan Amir.
“Mereka minta biar kau menghentikan upayamu atas aset tersebut. Bukankah mereka sudah berjanji untuk memperlihatkan kompensasi,” Amir tersenyum ke arahku ketika mengucap kata kompensasi. “Bukankah kau juga sudah mendapatkan transfer dana dari sebuah perusahaan Private Investment Company di Hong Kong. Kaprikornus kan bisa double terimanya kalau kau sepakat dengan proposal dariku. Ingat, pemberian ini tidak ada kontrak apapun. Just trust!” 
Kata-kata terakhir Amir membuat roman wajahku berubah. Aku terjebak. Tidak ada lagi rahasia. Semua yang kulakukan sanggup dengan cepat diketahui orang lain.
“Siapakah group raksasa ini?”
“Mereka ialah organisasi tanpa wujud. Organisasi ini sangat rapi, baik dalam bentuk maupun kecerdasannya yang tinggi dalam menyiasati gerak kehidupan manusia. Seluruh jaringan mereka serta aspirasinya secara sangat halus telah membentuk warna dunia global, menyerupai yang kita rasakan ketika ini. Seorang musuh group ini yang paling membencinya sekalipun, tanpa terasa akan mendukung ‘warna’ budaya mereka.
Keberhasilannya membangun kerajaan teknologi informasi, industri, dan keuangan, membuat mereka seolah memegang kendali dunia. Mengontrol gerak dan denyut perkembangan suatu bangsa dan pemerintahannya. Untuk kau ketahui, pada tahun 1999 ini, seluruh wilayah belahan bumi sudah dikuasai oleh jaringan kekuasaan group ini. Semua umat insan harus memandang pada satu arah, yaitu kekuatan mata uang, sebagaimana yang dilambangkan oleh mata uang satu dolar Amerika – novus ordo seclorum.  Seluruh struktur perekonomian global telah dikuasai group ini, gerak Lembaga Kuangan Multilateral telah menjadi ‘agent’ mereka yang akan menyelamatkan umat insan sekaligus menguasainya.”
Sekarang Amir tidak lagi menampakkan wajah sahabat menyerupai yang kukenal semenjak ketika kuliah dulu. Dalam sekejap Amir telah bermetamorfosis menjadi pribadi yang lain. Seakan menyadarkanku bahwa negara hanyalah lambang dan bukan penguasa sesungguhnya. Apalagi ketika Amir melanjutkan perkataannya, “untuk mewujudkan impian mereka tersebut, aneka macam bidang strategis harus dikuasainya dan tidak memberi peluang sedikitpun bagi pihak di luar group mereka. Mereka menguasai dunia informasi alasannya ialah diperlukan suatu global system untuk kelangsungan acara mereka dalam jangka panjang. Mereka kuasai seluruh forum keuangan dunia, alasannya ialah dengan menguasai perekonomian global, roda kehidupan suatu bangsa lebih gampang mereka kontrol, sekaligus membuka jalan menuju cita-citanya kembali ke, ‘Tanah yang dijanjikan’.
“Jak,” mata Amir menatap tajam. “Tujuan group hanyalah mendirikan satu pemerintahan yang secara tersembunyi mengatur tatanan dunia baru. Mereka tidak perlu menguasai jabatan negara secara formal, tetapi cukup menempatkan orang mereka dalam jajaran pengambil keputusan guna memuluskan rencana-rencana group. Di suatu negara, presidennya boleh siapa saja di luar group, asalkan jiwa pemerintahan, struktur budaya, serta bentuk perekonomiannya harus tunduk dan diperbudak oleh sistem group ini.”
Amir berhenti meneruskan kata-katanya, tapi pandangannya menatap tajam ke mataku, “Keluarlah dari transaksi itu! Aku harus pastikan dalam bulan depan kau sudah melupakan transaksi ini. Mereka bersedia membayar berapapun yang kau minta. Tapi mereka juga tidak segan-segan melaksanakan pembunuhan bila kau menolak keinginan mereka. Apalagi kini mereka tahu, bahwa kau sudah berada dalam bundar salah satu musuh terbesar mereka, Naga Kuning!”
Aku terkesiap mendengar kata-kata Amir. Ini bukan lagi bujukan tapi ancaman. Perdebatan untuk menolak atau terus melawan eksklusif berkecamuk dalam pikiranku. Aku berdiri dan melangkah ke arah jendela dalam kegelisahan. Pandanganku tertuju pada hamparan panorama bandar yang sibuk dilalui kapal. Baru kali ini saya merasa sangat kecil dan tersudut. Ramon, Tomasi telah mendapatkan akhir dari perlawanan terhadap group ini. Tewas! Tentu awalnya merekapun sama denganku, punya  obsesi mendalam untuk melawan ketidak-adilan.
Aku membayangkan wajah istri di rumah yang selalu setia menantiku pulang. Juga anak anakku. Tapi bila saya berhenti melawan, maka yang terbayang ialah wajah para penduduk miskin yang kehilangan proteksi alasannya ialah kepentingan penguasa yang telah menyatu dengan group yang rakus. Keadilan ialah hak bagi siapa saja dan semua orang wajib memperjuangkan tegaknya keadilan. Itulah yang membedakan insan dan binatang. Dalam kecamuk pikiran, saya harus tegas menentukan sikap.
“Siapakah kau sebenarnya?” Aku berbalik, menatap Amir tepat pada retina matanya. Ingin sekali saya masuk ke dalam mata itu, menelururi otot-otot di dalamnya dan membaca semua apa yang tengah berkecamuk di dalam pikirkan.
“Aku hanya mengingatkan kamu,” kata Amir tenang, tetap duduk di kursinya. “Aku menyayangi kamu, Jak. Kamu sahabat terbaik yang pernah saya miliki. Mengertilah!”
“Aku belum bisa putuskan. Mungkin sebaiknya saya pulang dulu,” kataku tertunduk. “Mungkin ada baiknya saya mencoba menjauh dari ini semua,” lanjutku lirih. Amir nampak tersenyum puas.
“Kita pulang bareng?” ajak Amir bersahabat. 
Aku tak bergeming, segera berdiri dan berlalu dari hadapan Amir. Bagiku, Amir kini telah bermetamorfosis menjadi sosok yang lain. Seseorang yang hanya memikirkan uang dan kekuasaan. Tanpa peduli lagi dengan esensi kemanusiaan. Tapi, bagaimanapun Amir tetaplah sahabatku. Hanya pilihan bersikap yang membuat kami berbeda.
Lien sanggup memaklumi rencanaku kembali ke Jakarta karena  memang, team Naga Kuning juga belum ada planning yang terang untuk merampungkan transaksinya.


Sumber https://bukuerizelibandaro.blogspot.com/

Artikel Terkait