Memburu Harta (5)


Sesuai janjinya, sehari sesudah mendapatkan dokumen business plan, David mengundangku makan malam. Dia berpesan semoga hanya saya yang datang. Kelihatannya beliau tidak ingin ada orang  lain hadir dalam pertemuan itu. Seperti biasa, pertemuan diadakan di Hong kong Financial Club.  Sebelum berangkat memenuhi seruan David, saya menelphone Ester. 
"Ester, David memenuhi janjinya mengundang makan malam. Tapi beliau hanya ingin saya saja yang hadir. Apakah ini tidak  kasus untukmu?  "
"It’s OK. Ja. Terus saja ikuti saran dia. Kalau bisa sesudah dinner dengannya mampir ke apartemen ku, ya? Kita bahas apa sikapnya.  Selamat menikmati makan malam, ya? "
Aku selalu tiba lebih awal dalam setiap komitmen bertemu. Ini sudah menjadi kebiasaan.  Namun ketika saya sampai, David sudah berada di table-nya. Dia tersenyum cerah melihat kehadiranku. Dengan ramah beliau memberikan minuman apa yang ku sukai. Aku menentukan red wine. Selama makan malam beliau tidak berbicara apapun perihal business plan-ku. Dia lebih suka membicarakan perihal bobrokknya budaya corporat sekarang. 
Menurutnya, pada jaman kejayaan Ekonomi Baru di tahun 2000, survei dari business week memperlihatkan bahwa 72% masyarakat Amerika merasa corporates terlalu menguasai hidup mereka. Sementara korporat itu tumbuh tanpa akar yang kuat. Buktinya beberapa perusahaan besar terkemuka yang listing di Wall Street, tersangkut dengan mega skandal. Fenomena ini hanyalah sebuah awal. Satu hal yang pasti, selain memang sudah dipertanyakan bahkan sebelum jaman Enron,  legitimasi kapitalisme global lately, sebagai sistem produksi, distribusi dan pertukaran yang sudah dominan, akan semakin terkikis trust-nya. Bahkan di jantung asal sistem ini. 
Angka itu kini mungkin meningkat jauh lebih tinggi lagi. Sama menyerupai penilaian berlebihan  terhadap saham yang mengakibatkan jatuhnya perusahaan-perusahaan dot.com di Wall Street tahun 2000-2001. Tindak penyelewengan korporatis merupakan salah satu ciri utama Ekonomi Era Baru. Nampaknya pertumbuhan keuntungan mulai mengalami kemandekan di sektor perjuangan AS sesudah 1997. Mengakibatkan perusahaan-perusahaan besar melaksanakan merger.  Sebagian dengan motivasi menyingkirkan saingan, sebagian lagi berharap mendapatkan pembaharuan keuntungan dari suatu proses mistis yang disebut ‘sinergi’ ini.
Contoh-contoh paling signifikan antara lain: Penyatuan Daimler Benz-Chrysler-Mistsubishi, pengambil-alihan Nissan oleh Renault, merger Mobil-Exxon, kesepakatan antara BP-Amoco-Arco, Star-Alliance di layanan penerbangan, merger AOL dengan Time-Warner dan dibelinya perusahaan SLJJ MCI oleh WorldCom. Pada kenyataannya, ternyata banyak merger berakhir dengan hanya konsolidasi pembiayaan semata tanpa menambah laba. Seperti pada teladan kasus AOL dan Time Warner.
Ketika merger tidak bisa dilakukan, maka perusahaan bisa hingga tewas dalam persaingan tersebut. Atau mengakibatkan pailit dan gulung tikar menyerupai pada kasus raksasa eceran K-Mart. Dengan margin  keuntungan menjadi kurus atau habis, maka kelangsungan hidup mereka semakin bergantung pada pembiayaan dari Wall Street, yang notabenenya semakin dikuasai oleh Bank blasteran investasi-komersial menyerupai JP Morgan Chase, Salomon Smith Barney, dan Merril Lynch yang saling berkompetisi secara agresif.
Beberapa perusahaan yang sulit memperlihatkan prospek, beralih ke jalur ‘mendapatkan dana kini dengan menjual komitmen di masa depan’, suatu praktek yang dikuasai sangat baik oleh para manajer investasi di sektor high-tech. Ini yakni suatu teknik yang nampak inovatif, tapi sejatinya yakni teknik perdagangan yang bertumpu pada ilusi. Teknik inilah yang mengakibatkan melangitnya nilai share saham di sektor teknologi tinggi. Meski bahwasanya mereka kehilangan kekerabatan pada keadaan konkret perusahaan dikala itu.
Amazon.com misalnya, share sahamnya terus meningkat sekalipun belum menjadi laba. Beberapa perusahaan lain yang gres berproduksi, kehilangan segala kontaknya pada industri dan beralih seni administrasi berusaha menggelembungkan harga saham untuk memberi jalan bagi para kapitalis ventura (venture-capitalist) dan manajer investasi yang punya susukan dan pilihan untuk melaksanakan pembunuhan semenjak pada penjualan awal. Dan sesudah itu perusahahaan ditinggalkan sekarat, kemudian runtuh!
Itulah mengapa, karenanya memang tak mungkin memanipulasi fakta selamanya untuk bisa menarik pemodal. Dalam neraca rugi laba, keuntungan harus lebih besar daripada biaya. Ini kenyataan yang sederhana tapi berat. Kenyataan ini kemudian memunculkan aneka macam teknik akuntansi genit menyerupai ‘kemitraan’-nya Andrew Fastow, direktur finansial Enron, yang bahwasanya hanyalah suatu trik untuk menyingkirkan biaya dan hutang dari neraca. Adalagi cara yang lebih kasar, contohnya menyerupai yang dilakukan oleh WorldCom, yaitu menyamarkan biaya sebagai investasi.
Kekuasaan Neo-liberal dikawal oleh deregulasi dan pemanjaan sektor privat. Dalam konteks ini, praktek-praktek tersebut dengan sangat gampang mengikis batas yang disebut sebagai ‘dinding-api’ antara administrasi dengan dewan pemegang saham, antara analis saham dengan pialang saham, antara auditor dengan yang diaudit. Karena sama-sama dirundung oleh bayang-bayang keruntuhan ekonomi serta menipisnya pendapatan bagi semua pihak, maka baik para pengawas maupun yang diawasi memainkan pretensi  seakan-akan dikendalikan sistem check and balance. Dan bersatu untuk membuat delusi kekayaan, dengan tujuan mempertahankan selama mungkin uluran tangan dari pemodal yang tidak curiga.
Front bersama ini tak bisa dipertahankan terus menerus. Karena orang-orang yang tahu keadaan bahwasanya akan sangat terpengaruhi untuk menjual, sebelum khalayak investor terbuka matanya. Dengan keadaan ini maka perhitungan bisnis menyempit menjadi soal menentukan kapan menjual, kapan mengambil uang dan kapan lari menghindar dari tindakan hukum. CEO Enron, Jeffrey Skilling melihat gelagat tanda-tandanya. Dia mengundurkan diri sesudah mendapatkan US$112.000.000,00 dari menjual sahamnya, beberapa bulan sebelum kejatuhan Enron. Dennis Kozlowski dari Tyco kurang begitu beruntung. Dia merasa tidak cukup dengan mengeruk uang US$240.000.000,00. Dia masih berusaha memeras uang ketika perusahaan mulai jatuh. Dan sekarang, beliau terkena pasal menghindari pajak.
Jelas akan banyak lagi berandal yang terbuka kedoknya. Siapa tahu dalam barisan ini nanti termasuk juga Presiden Amerika? Meski demikian, sekalipun akan ada sederet nama-nama, tapi sentra persoalannya yakni pada dinamika sistim kapitalisme global yang dinakhodai sektor finansial tanpa regulasi. Persoalan ini tak bisa dilenyapkan hanya dengan pernyataan kebaikan seperti: ‘tak ada kapitalisme tanpa nurani’ atau penyelesaian lama seperti: ‘good corporate governance.’ 
Sementara di waktu yang sama, pemodal luar negeri meninggalkan AS. Dollar AS merosot dan lubang kelebihan produksi makin menganga. Paduan antara krisis ekonomi struktural yang semakin dalam dengan krisis legitimasi kapitalisme neo-liberal ini, terang menjanjikan masa depan yang rawan!
“Wawasan Anda luar biasa luasnya. Anda paham bagaimana  lingkungan bisnis global dikala ini?”
“Kita harus peka, Jak! Bisnis saya sebagai angel investor harus mengenal dengan baik peta bisnis dan orang-orang yang ada di sekitar saya semoga tidak terjebak dengan orang-orang yang keliatannya ayam merak tapi nyatanya ayam kampung.”   
“Benar sekali. Dunia perjuangan maupun orang, sama saja. Suka topeng dan membangun gambaran untuk menutupi kekurangannya.Ya, kita harus hati-hati dan harus menghindari sifat ini.” Kami terdiam  sebentar. Aku meminum wine yang masih tersisa setengah gelas.
“Jaka,” seru David.  Aku mendongakkan kepala, siap menyimak. “Sekarang kita bahas perihal business  plan Anda,” lanjutnya. 
Dadaku sedikit gemuruh demi mendengar kata itu. Ini yang saya tunggu. Bagaimanakah kira-kira sikapnya? Dengan wajah damai dan penuh bersahabat beliau memberikan maksudnya.
“Saya tertarik dengan business plan Anda dan terlebih lagi dengan bagan pembiayaan yang kau create. Ini sangat inovative. Anda menandakan diri sebagai konsultan pembiayaan kelas dunia. Saya tertarik dengan potensi anda.”
“Terima kasih.”
“Saya memberikan kemitraan bisnis kepada Anda?” Katanya dengan hati-hati sambil tetap menatapku serius.
“Kemitraan menyerupai apa?” tanyaku bingung. Ini anjuran yang luar biasa. Baru kemarin saya dongeng kepada Ester, betapa saya mengagumi David. Dan kini beliau memberikan kemkitraan padaku? Sungguh tak masuk akal!
“Saya ingin menjadikan Anda sebagai kawan global saya untuk memperluas portfolio bisnis saya di Asia khususnya di Indonesia.”
“Apa yang harus saya lakukan untuk bisa menjadi kawan Anda?”
“Menjadi proxy saya untuk setiap perusahaan yang saya ambil alih. Anda orang yang saya percaya sebagai pengelola bisnis saya secara formal. “
“Mengapa Anda begitu percaya dengan saya?”
“Ini bukan soal percaya.Tapi tepatnya saling menguntungkan.”
“Saya ingin sebuah penjelasan.”
“Tepatnya begini, kita akan mendirikan perusahaan PIC atau Private investment Company yang terdaftar di wilayah bebas pajak, menyerupai negara BVI dan Artikel Babo. Kepemilikan  perusahaan itu sepenuhnya yakni group saya. Kami menunjuk Anda sebagai proxy untuk melaksanakan acara shadow banking. Semua sumber daya kekuangan berasal dari group saya. Jadi, ketika PIC mengambil alih, maka pemegang saham  yakni PIC tersebut dan posisi Anda yakni proxy kami untuk menjalankan agenda  global kami. Bisa dipahami?”
“Tawaran yang menarik dan sulit untuk ditolak!” Kataku girang.
“Nah, kembali ke kasus business plan  untuk menyelamatkan clients Anda dari bahaya penyitaan oleh otoritas, bisakah kita mulai kemitraan kita dari planning bisnis Anda ini?” kata David dengan bunyi datar.
“Apa maksud Anda?”
“Biarkan clients Anda gagal dengan rencananya dan selanjutnya, Anda ambil alih melalui lelang  yang akan dilakukan oleh Otoritas. Tentu bukan planning yang jelek dan sulit, kan?”
Aku tersentak! Betapa hebatnya orang ini merekrutku. Dia tidak butuh rekomendasi dari siapapun untuk meyakinkan bahwa saya orang yang pantas dipercaya dan capable. Dia hanya butuh keyakinan dengan kemampuan yang bisa kulakukan dengan rencananya. Lama saya menatapnya hingga beliau salah tingkah. 
“Pak David, saya yakni konsultant profesional. Tugas saya alasannya yakni kepercayaan dari clients saya. Tidak mungkin saya menyalahgunakan kepercayaan ini hanya  alasannya yakni anjuran hebat dari Anda.” Sahutku tenang.
“Anda tidak perlu mengkhianati clients, Jak. Katakan sejujurnya bahwa Anda sudah gagal. Terbukti dengan ditolaknya underwriting bond Anda oleh AMC. Tugas Anda itu sudah selesai!” perkataan David sangat menohok dan sulit di tolak dengan logika.
“Tapi kiprah saya terus mencari solusi,” Kataku tak mau kalah, sesuai kata hati.
“Jaka, bisinis itu bekerjasama dengan trust dan reputasi. Clients Anda tidak punya reputasi alasannya yakni beliau sudah gagal menuntaskan utangnya di Bank!”
“Tapi itu bukan salah dia. Ini alasannya yakni pemerintah gagal mengurus moneter.”
“Bagaimana pun itu salah dia. Ingat, beliau bukan karyawan yang gampang diatur pemerintah. Dia pengusaha yang harus berpenciuman tajam terhadap lingkungan bisnisnya. Seharusnya beliau antisipasi jauh sebelumnya sebelum kasus besar terjadi. Di masa globalisasi dikala ini, tidak ada lagi batas negara. Kita bebas menerima kenyamanan bisnis dimana saja. Kalau lingkungan bisnis tidak menguntungkan jangka panjang, ya pindah ke negara lain. Pahamilah itu.”
Aku terdiam. David benar dengan semua kata-katanya. Pengusaha Indonesia selama  masa Soeharto memang hidup dimanjakan akomodasi negara. Sehingga lupa  untuk melihat keluar. Mereka tumbuh besar namun hanya sebagai jago kampung. Dan ini juga kelemahan Budiman. Dia asyik dengan planning pengembangan bisnisnya menjadi konglomerat tapi lupa memperkuat setiap unit bisnisnya lewat penguasaan tekhnologi dan ekspansi jaringan global.
Namun saya tidak bisa begitu saja menyalahkan Budiman alasannya yakni beliau sahabatku. Aku tidak akan bisa memaafkan diriku sendiri bila saya mendapatkan anjuran David, dan menyaksikan Budiman terpuruk. Sementara saya menikmati hidup bergelimang status orang kaya alasannya yakni berhasil mengambil alih perusahaan melalui lelang yang diadakan otoritas negara.  Orang tuaku tidak mendidikku menjadi pengkhianat. Apalagi David yakni group pemodal kapitalis international dan beliau menjadikan tanah airku sebagai sasaran memperbesar portofolio bisnisnya secara kapitalis pula. Pasti hasilnya akan sangat jauh dari semangat mengembangkan untuk kesejahteraan bagi semua.
“Maaf, saya tidak bisa cepat mendapatkan usulan Anda.  Beri saya waktu untuk berpikir.” pintaku dengan bijak.
“Kapan Anda akan kembali ke saya?” Kejar David.
“Anda tidak perlu menunggu. Saya akan tiba bila keadaan memungkinkan.”
“Baiklah,” kata David tegas. ”Tapi saya tetap menunggu Anda!”


Sumber https://bukuerizelibandaro.blogspot.com/

Artikel Terkait