Pks?


Jam mengambarkan pukul 8 malam. Diluar nampak hujan gerimis. Dia masih bersemangat berbicara. Menurutnya sekarang muncul wacana bisik bisik dikalangan elite untuk kembali kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 45 secara murni. Pancasila yakni rumus pemersatu keaneka ragaman paham dan agama. Sebagai keyakinan bahwa dihentikan satupun meng claim ia paling benar kecuali Tuhan yang Maha Esa.  Kita membutuhkan Pancasila kembali, benarkah itu? tanya saya. Ketika Bung Karno bicara wacana Pancasila , ketika ia mengakui bahwa sebuah negara mau tak mau mengandung ‘perjuangan sehebat-hebatnya’ di dalam masalah ‘faham’, ia menatap ke sebuah arah: ia ingin menciptakan tenteram kalangan politik Islam. Ia menganjurkan biar ‘pihak Islam’ mendapatkan berdirinya sebuah negara yang ‘satu buat semua, semua buat satu’. Ia menolak ‘egoisme-agama”. Tapi ia juga membuka diri kepada kemungkinan ini: sanggup saja suatu ketika nanti aturan yang ditegakkan di Indonesia yakni aturan Islam – bila ‘utusan-utusan Islam’ menduduki ‘sebagian yang terbesar daripada kursi-kursi tubuh perwakilan rakyat’.  Nah, benarkan, bahwa usaha ke arah hegemoni diakui sebagai sesuatu yang masuk akal dan syah. Pancasila membuka ruang untuk Islam tegak, juga bagi yang Artikel Babo. Hegemoni penting. PKS berjuang untuk itu.

Dengan demikian, menurutnya bahwa Pancasila sebagai Weltanachauung ( idiologi ) yang dirumuskan bahwasanya bukan fondasi yang kedap, pejal, sudah final dan kekal, sampai meniadakan kemungkinan satu ‘faham’ menerobosnya dan mengambil-alih posisi ‘filsafat dasar’ itu. Syariah islam kelak akan menggantikannya. Dengan kata lain, Pancasila bukan sesuatu yang ‘sakti’. Saya hanya terdiam. Saya menyadari bahwa kita hidup di sebuah zaman yang makin menyadari ketidak-sempurnaan nasib manusia. Keadilan social yakni utopia. Gagasan ‘sosialisme ilmiah’ yang ditawarkan oleh Marx dan Engels pernah meramalkan tercapainya ‘surga di bumi’, sebuah masyarakat di mana kapitalisme hilang dan pertentangan tak ditemukan lagi. Tapi impian itu terbentur dengan kenyataan yang keras di simpulan dasawarsa ke-8 masa ke-20: Uni Soviet dan RRC mengubah haluan, dengan mendapatkan ‘jalan kapitalis’ yang semula dikecam. Sosialisme pun terpuruk: ternyata ‘ilmiah’ bukan berarti ‘tanpa salah’, ternyata Marxisme sebuah gagasan yang kesannya harus mengakui bahwa dunia tak akan pernah bebas dari kontradiksi. Tak ada salahnya untuk tidak lagi “menggali” pancasila tapi “menggali” Al Alquran dan Hadith. Disana ada semua sebagai cara yang bijak mengakui ketidak sempurnaan insan dan juga berlindung dari itu.  

Dewasa ini impian menegakkan ‘Negara Islam’ atau Khilafah mungkin satu-satunya yang masih percaya bahwa kesempurnaan sanggup diwujudkan.Lanjutnya. Jika aturan Tuhan yakni aturan yang hendak diterapkan, mau tak mau hasil yang dibutuhkan yakni sebuah kehidupan sosial yang tanpa cacat. Mungkinkah, tanya saya bersemangat! Dia menggelengkan kepala. Sejarah yang terbentang dalam jangka waktu lebih dari 21 masa – sebuah sejarah harapan dan kekecewaan yang silih berganti, sebuah sejarah inspirasi dan rencana cemerlang yang kemudian terbentur, sebuah riwayat pemimpin dan khalifah yang tak selamanya tahu bagaimana menjauh dari nafsu kekuasaan. Bukankah setiap agama selamanya menjanjikan kehidupan alternatif: di samping yang ‘duniawi’ yang kita jalani kini, ada kelak yang ‘ukhrowi’ yang lebih baik. Maka sebuah ‘Negara Islam’ yang tak mengakui ketidak-sempurnaannya sendiri akan salah secara akidah. Tapi sebuah ‘Negara Islam’ yang mengakui ketidak-sempurnaannya sendiri akan menyebabkan persoalan: bukankah ajektif ‘Islam’ mengandaikan sesuatu yang sempurna? Dilema itu berasal dari pengalaman kita: bumi yakni bumi; ia bukan surga. Ketidak-sempurnaan, bahkan cacat, berlangsung terus, berselang-seling dengan saat-saat yang mengagumkan. Agaknya akan demikian seterusnya.  Dia tersenyum usai memberikan analogisnya sambil melirik kearah jendela. Hujan sudah mulai turun deras menyerupai dicurahkan dari langit. Sebentar lagi Jakarta akan banjir.  

PKS tak ingin mendirikan Negara Islam. Tak ingin membawa paradox kehidupan dalam symbol Islam. BIarlah Islam sebagi sesuatu yang suci tak ternoda sebagai bunyi Tuhan. Keimanan yang di formalkan lewat icon demokrasi justru akan menodai kesucian islam itu sendiri. Karena islam tidak sanggup ditempatkan dimanapun kecuali didalam hati insan yang ikhlas.  Para pendiri PKS  menyadari itu ketika mereka menjadi bab dari system demokrasi. NIlai nilai Islam adalah substansi atau hakikat yang mereka perjuangkan. Didalam hati mereka ada Islam. Ada  Weltanachauung ( idiologi ) wacana kebaikan, kebenaran dan keadilan. Namun mereka tidak menyampaikan bahwa mereka pejuang khilafah islam yang utopis itu. Mereka hanyalah insan yang zhalim dan lemah. Manusia yang tak akan sanggup tepat tanpa proteksi Allah. Yang tak mungkin sanggup mencapai kemenangan tanpa proteksi Allah. Yang tak mungkin berbuat apapun tanpa kehendak Allah. Karenanya mereka hanya ingin berjuang untuk keadilan ( Q.S.al-Maidah:8) dan itupun tak lain sebuah harapan untuk  bisa mendekati sifat Taqwa kepada Allah. Salah dan benar akan selalu bersanding didunia ini. Tak ada insan yang sanggup meng claim ia paling suci. Karena insan bukanlah malaikat. Namun niat untuk tegaknya keadilan dan kesejateraan tak boleh surut. Sikap ini harus tetap menyala nyala didalam hati setiap umat islam sebagai cara meninggikan kalimat Allah. 

PKS yakni wadah dan sarana dakwah, itu saja. Para kader harus mengelola ketidaksempurnaan melalui proses pembelajaran dari kesalahannya. Belajar adaiah proses berubah secara konstan untuk menjadi lebih baik dan tepat dari waktu ke waktu. kami mengakhiri Pertemuan itu. Hujan deras diluar membuat jalanan macet dan banjir. Namun Jakarta akan baik baik saja, begitupala Indonesia,juga PKS

Sumber https://culas.blogspot.com/

Artikel Terkait