Viability Gap Fund...?

Kalau ingin pembangunan cepat tumbuh maka pastikan infrastruktur tersedia luas. China dan Amerika sudah menunjukan itu. Dua Negara patut dijadikan materi pembanding alasannya yaitu luas daerahnya hampir sama dengan Indonesia. Dari studi domestik yang dilakukan Bank Indonesia yang tertuang di dalam Tinjauan Kebijakan Moneter BI (2012), juga menyebutkan bahwa sektor infrastruktur transportasi yaitu sektor nomor dua yang paling kuat terhadap laju pertumbuhan ekonomi Indonesia sesudah sektor industri. Bertahun tahun kita abai perihal taktik pembangunan yang benar. Kini kita menghadapi krisis infrastruktur.Sebagai contoh indikator soal jarak tempuh, waktu jarak tempuh darat per 100 km membutuhkan waktu 2,5 jam. Sedangkan Malaysia, Tiongkok, Thailand, Vietnam di bawah 2 jam. Kemudian rasio dwelling pelabuhan yang membutuhkan waktu delapan hari. Sedangkan Singapura hanya satu hari. Belanja infrastruktur yang dianggarkan pemerintah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBNP) 2015 sebesar Rp 290,3 triliun tidak cukup. Berdasarkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019, total kebutuhan investasi untuk pembangunan infrastruktur mencapai Rp 5.519 triliun. Dalam 5 tahun, dana yang tersedia dalam APBN diprediksi hanya Rp 1.178 triliun. Dengan demikian ada kekurangan anggaran (gap) sebesar Rp 4.341 triliun.

Bagaimana cara yang ditempuh oleh pemerintah untuk menutupi gap itu ? pemerintah memperkenalkan denah kerjasama pembangunan infrastruktur dengan melibatkan partisipasi dari pihak swasta yang kemudian dikenal dengan denah KPS (Kerjasama Pemerintah dan Swasta) atau juga dikenal dengan PPP (Public Private Partnership). Guna mengatur pelaksanaan pembangunan proyek dengan denah KPS ini, pemerintah telah menerbitkan beberapa regulasi antara lain Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 67 Tahun 2005 jo. Perpres Nomor 13 Tahun 2010 jo. Perpres Nomor 56 Tahun 2011 jo. Perpres Nomor 66 Tahun 2013 yang mengatur pola, bentuk dan ketentuan pelaksanaan proyek KPS di Indonesia. Pembangunan infrastruktur dengan denah KPS, pada prinsipnya merupakan perjuangan penyediaan sarana infrastruktur yang mencakup pekerjaan konstruksi untuk membangun atau meningkatkan kemampuan sarana infrastruktur yang dilakukan menurut prinsip project financing, dimana sektor swasta selaku sponsor proyek berkewajiban membangun dan/atau mengoperasikan serta melaksanakan perawatan sarana infrastruktur dengan dana pembangunan infrastruktur sebagian kecil berasal dari modal sponsor proyek dan sebagian besarnya berasal dari bank dan/atau forum pembiayaan Artikel Babo sebagai lenders atau pemberi pinjaman proyek. Sedangkan, pemerintah selaku owner dari proyek infrastruktur memperlihatkan kompensasi berupa hak konsesi pengelolaan komersial sarana infrastruktur kepada sektor privat/swasta tersebut selama jangka waktu tertentu sesuai dengan perjanjian kerjasama. Setelah masa konsesi ini selesai, infrastruktur diserahkan kembali kepada pemerintah.

Masalahnya yaitu tidak semua proyek bisa di KPS kan karena keterbatasan kelayakan keuangan (financially unviable) proyek infrastruktur sehingga tidak menarik bagi sektor swasta untuk berinvestasi di dalamnya. Itulah salah satu penyebab mengapa di kurun SBY denah pembangunan KPS ini tidak bisa berjalan. Maklum sebagian besar proyek infrastruktur di Indonesia termasuk proyek yang tidak layak secara keuangan, walaupun layak secara ekonomi. Artinya, proyek infrastruktur tersebut akan memperlihatkan kontribusi kasatmata ke perekonomian (economically feasible), namun pendapatan dari proyek (tarif layanan) tidak cukup untuk mengembalikan tingkat laba yang dibutuhkan (rate of return) oleh pihak swasta, berupa pengembalian modal (return on equity) dan pinjaman (debt principal and interest), sehingga swasta tidak tertarik untuk berinvestasi. Oleh alasannya yaitu itu, pemerintah harus memperlihatkan bantuan/dukungan kepada proyek infrastruktur semacam itu semoga pembangunan sarana infrastruktur dengan melibatkan swasta tetap sanggup berjalan. Karena toh jikalau proyek infrastruktur akan dibangun dengan APBN, gosip pembiayaan proyek akan tetap menjadi keterbatasan bagi pemerintah. Dalam rangka mengatasi permasalahan ketidaklayakan proyek infrastruktur KPS secara finansial ini, pemerintah memperlihatkan dukungan tunai kepada proyek infrastruktur KPS sebagaimana diatur di dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 38 Tahun 2015.

Dukungan tunai pemerintah yang diberikan pada proyek infrastruktur atau yang disebut dengan dana VGF (Viability Gap Fund) ini diberikan kepada proyek infrastruktur yang dibangun dengan denah KPS dan bertujuan untuk meningkatkan kelayakan finansial proyek guna menimbulkan minat dan partisipasi swasta, meningkatkan kepastian pengadaan/lelang proyek infrastruktur sesuai kualitas dan waktu yang ditentukan serta mewujudkan layanan infrastruktur publik dengan tarif yang terjangkau oleh masyarakat. Di dalam pelaksanaannya, pemberian VGF ini dialokasikan anggarannya oleh Pemerintah c.q. Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara (BUN) sesuai dengan prosedur APBN dengan memperhatikan kemampuan keuangan negara, memperhatikan kesinambungan fiskal (APBN) dan mendasarkan pada prinsip administrasi risiko fiskal yang cermat, serta merupakan alternatif sesudah tidak terdapat lagi alternatif lain untuk menciptakan Proyek KPS layak secara finansial. Lebih lanjut, dukungan kelayakan (VGF) merupakan belanja APBN yang diberikan dalam bentuk tunai kepada Proyek KPS atas porsi tertentu dari seluruh biaya konstruksi yang tidak mendominasi.  Biaya konstruksi yang dimaksudkan di sini mencakup biaya konstruksi itu sendiri, biaya peralatan, biaya pemasangan, biaya bunga atas pinjaman yang berlaku selama masa konstruksi dan biaya-biaya lain terkait konstruksi, namun tidak termasuk biaya terkait pengadaan lahan dan insentif perpajakan.

Kriteria proyek KPS yang sanggup mengajukan dukungan dana VGF antara lain sebagai berikut: a. Proyek KPS yang telah memenuhi kelayakan ekonomi tetapi belum memenuhi kelayakan finansial; b. Menerapkan prinsip pengguna membayar (tarif/user charge); c. Biaya investasi paling kurang senilai Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah); d. Badan Usaha Swasta Pemenang Lelang yang ditetapkan oleh Pemerintah c.q. PJPK (Penanggung Jawab Proyek Kerjasama) melalui proses lelang yang terbuka dan kompetitif sesuai dengan peraturan perihal Kerja Sama Pemerintah dan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur; e. Perjanjian KPS mengatur denah pengalihan aset dan/atau pengelolaannya dari Badan Usaha Penandatangan Perjanjian Kerja Sama kepada Pemerintah c.q. PJPK pada final periode kerja sama; f. Hasil Prastudi Kelayakan pada Proyek KPS tersebut harus (1) mencantumkan pembagian risiko yang optimal antara Pemerintah/PJPK dan Badan Usaha Penandatangan Perjanjian Kerja Sama/Badan Usaha Pemenang Lelang; (2) menyimpulkan bahwa Proyek KPS tersebut layak secara ekonomi, yang juga mencakup aspek teknis, hukum, lingkungan, dan sosial; dan (3) memperlihatkan bahwa Proyek Kerja Sama tersebut menjadi layak secara finansial dengan diberikannya dukungan kelayakan VGF.

Dengan diberikannya dukungan tunai (VGF) tersebut oleh pemerintah, biaya konstruksi dari proyek infrastruktur akan turun maksimal sebesar separuh dari yang seharusnya. Dengan demikian, pengembalian investasi dari proyek akan sanggup dicapai oleh investor swasta alasannya yaitu beban biaya konstruksi, yang seharusnya 100% merupakan tanggungan pihak swasta dan tentunya harus kembali sesuai dengan ekspektasi laba swasta, akan menjadi berkurang. Karena aturan mengenai VGF tersebut, dipastikan investor swasta tidak akan rugi. Makanya terjadi antrian panjang investor swasta lokal maupun absurd untuk masuk kedalam investasi proyek  infrastruktur melalui denah KPS /PPP. Dengan demikian hanya persoalan waktu indonesia akan dilingkari infrastruktur ekonomi darat,laut dan udara berkelas dunia, untuk mengoptimalkan sumber daya Indonesia dan mensejahterakan rakyat, untuk sekarang dan besok.

Sumber https://culas.blogspot.com/

Artikel Terkait