Citailah Saya .. (2)


Jessica namaku. Sesuai usul dari Dono saya harus kembali ke pangkuannya. Atau tepatnya di pekerjakannya. Dalam membisu saya duduk di korsi kerja  ini. Korsi yang pernah sekian tahun saya duduki dan kesudahannya saya tinggalkan. Di bangku yang sama kawasan kali pertama saya membuktikan siapa aku. Bahwa saya bukan perempuan murahan. Hanya sanggup tangan di bawah dan tidur di bawah. Saat ini saya menggunakan rok berwarna biru, dan blesser berlengan panjang warna biru. Dono mampir kekantorku mengenakan celana jins hitam dengan kaus berlengan pendek warna hitam. Dono duduk disofa seakan mengharapkan saya ikut duduk disebelahnya atau di hadapannya. Apa pentingnya bagi dia. Depan atau di sisinya, itu biasa saja.,Aku menentukan duduk di sisinya.  Perlahan, kusandarkan kepalaku di pundak kirinya. Pandangan kami sama, mengarah ke TV yang sedang menyiarkan berita. Perlahan dia  menundukkan kepalanya dan mengecup berpengaruh keningku. Dan mengalirlah perintah yang harus saya dengar dan patuhi.

“ Aku minta kau hubungi mereka yang berpotensi untuk jadi kawan kita. Ini informasi perihal mereka. “ Katanya sambil menyerahkan setumpuk dokumen. “ Pelajari itu semua. “ Lanjutnya dengan tegas.
Aku meihat sekilas dokumen itu dan membacanya dengan cepat. “ Ini artinya saya harus terbang ke Shanghai. Mungkin harus buka kantor di sana”
“ Buatlah rencana. Nanti kasih tahu saya ya. “ 
“ Baik ! Aku akan pelajari dan buat rencananya.”
“ Good.”  Dia eksklusif bangun melangkah keluar kamar kerjaku.

Aku termenung sambil memandang kepergiannya. Padahal saya ingin lebih banyak berbicara perihal hal lain yang tidak ada hubungannya dengan pekerjaanku.  Aku tahu betul perihal dia. Karena saya pendengar yang baik. Dia bercerita perihal ibunya. Kedekatannya dengan ibu yang melebihi kedekatan dengan ayah. Bahkan hanya ia satu-satunya yang dibentuk pening oleh ibunya.. Hanya kepada dialah ibunya suka menuntut banyak hal. Bahkan menciptakan ia selalu jadi kanak kanak di hadapan ibunya. Beda dengan saudaranya yang lain. Namun, ia menemukan kebahagiaan dari perilaku ibunya itu. Dia terbiasa hidup menyerupai itu. Terbiasa dimanjakan ibunya dan juga terbiasa di omelin ibunya. Manusia memang menyerupai itu, katanya. Kita hidup alasannya terbiasa. Kita membenci kemacetan jalan raya tapi tetap menerimanya. Karena itu bab hidup kita. Aku hanya termangu seolah mengiyakan.

Pernah satu kali saya di bawanya dalam business trip ke Changsa. Bagiku itu kali pertama berkunjung. Sementara dia, sudah puluhan kalinya. Karena ia punya pabrik filter knalfot kendaraan untuk kendaraan beroda empat rendah emisi. Itu business proteksi. Tekhnologi ia sanggup dari German dan ditingkatkan kecanggihannya di Wuhan. Berkat koneksinya dengan petinggi militer di China ia sanggup konsesi business monopoli di kota itu. Aku terlihat takjub dengan kunjungan itu. Sepertinya ia ingin menandakan kepadaku bahwa dimana saja kekuasaan sanggup dimanfaatkan asalkan tahu bagaimana membeli jiwa orang. Hormati orang dan pastikan orang merasa nyaman untuk bersama kita. Setelah itu banyak hal sanggup di lakukan. Itu nasehatnya kepadaku. 

Pada kunjungan ke Changsa itu, memang tak ingin ia buat istimewa. Hanya sekedar kunjugan business. Dan kalaupun ada selingan, maka itu hanya jalan jalan ke mal, makan, ke spa  , nonton theater, dan jikalau masih ada sisa waktu,  nongkrong di kedai kopi. “ Tidak. Aku ingin membuatmu terkesan. Ingin membuatmu merasa saya berbeda dari orang-orang yang selama ini pernah kau kenal dalam hidupmu. Aku tahu kau sangat sulit mempercayai orang lain, hingga kau lebih merasa nyaman dengannya. Tapi, saya yakin, kau dengan perasaanmu padaku, akan mau mencoba mengikuti hubungan kita secara kecerdikan sehat. Mitra bisnis yang lahir dari persahabatan. Engga ada problem kan“ 
.
Di kedai kopi yang menghadap ketaman. Kami bersediam. Melihat warna langit yang berubah perlahan. Menyaksikan terang beranjak gelap. Minum segelas air kopi seharga 15 Yuan. Mendengarkan bunyi pengamen yang bernyanyi. Saling bercerita perihal kehidupan masing-masing. Dia dengan keluarganya, dan saya dengan impian-impianku. Sejak kunjungan itu saya lebih mengenal dirinya. Selanjutnya saya berharap sanggup pergi bersamanya ke Eropa, Melihat keindahan Eropa menyerupai ceritanya. Menjelajah kota kota eropa timur. Tapi harapan itu tak kunjung datang. Dia  selalu sibuk dengan bisnisnya dan saya juga sibuk dengan kiprah sebagai direktur dari salah satu perusahaannya.

Aku menyadari bahwa baginya pada kesudahannya terlihat lebih nyaman bila saya tidak banyak menuntut untuk bertemu.  Namun, ada hal yang menyentuh hatiku yang ia lakukan untukku. Dia  sangat peduli dengan putriku satu satunya dari perkawinanku yang gagal. Aku merasa ia sangat tepat sebagai ayah, dan selalu ada untuk putriku. Padahal itu bukanlah anak kandungnya. Tapi sikapnya menciptakan saya terperangkap dalam jiwa bahwa saya memang tak berdaya. Dia memberiku kesempatan menjadi perempuan pebisnis dan memberiku kehormatan di hadapan putriku. Yang lebih penting lagi ia selalu ada untuk ku…

“ Mengapa kau tertarik denganku ? Kataku suatu waktu. 
“ Ingat engga.” Katanya sambil tersenyum”  Ketika kau menuju mal kawasan kita akan bertemu, saya kaget sewaktu kau meneleponku bahwa kau naik bus alasannya sulit menemukan taksi yang tidak berpenumpang. Aku lihat dari lounge hotel, kau turun di seberang mal dan menaiki jembatan penyeberangan. Kamu bertemu denganku mulut khawatir. Tak kau pedulikan keringat yang membasahi wajah dan rambutmu. Rupanya kau setengah berlari dari pintu mal untuk bertemu denganku. Kamu segera menjabatku dan berbisik bahwa kau khawatir pertemuan ini gagal. Karena maklum udah berkali kali kau ingin betemu denganku.. Saat itu kau begitu polos atau tepatnya wajah keibuan meski wajahmu lembap oleh keringatmu. “
“ Dan dari pertemuan itu, saya gagal menaklukanmu sebagia konsumen. “
“ Ya. Tapi kau berhasil menaklukan ego ku. Dan kesudahannya kau mendapat lebih dari yang kau harapkan.”

Kini di sinilah saya berada, di bangku seorang Direktur Utama yang sama menyerupai tahun lalu. Kadang saya tersenyun sendiri. Bagaimana kedekatan sebagai sahabat tidak menghasil sex yang hebat. Seakan ada dinding tebal yang sengaja ia ciptakan untuk ku supaya saya tidak sanggup melompat ke ruang hatinya. Aku ingat ketika ada kesempatan  bercinta untuk pertama kali denganya. Saat itu saya bersedekat dengannya dan bergerak seolah magma yang menyusup celah-celah kerak bumi mencari kepundan yang siap meletuskannya.  Dia sekuat tenaga mencoba menahan larva itu untuk tetap berada di dasar bumi. Entah untuk berapa lama. Namun saya mulai menyadari matanya mulai terpejam seakan menahan letupan magma itu. Itu tak pernah tuntas dan selanjutnya selalu gagal. 

Saat saya menyadari kenapa saya mencintainya. Jawaban itu ada di matanya. Mata yang selalu terbuka ketika dia  mengarahkanku. Mata yang lebih berbicara banyak hal dari yang terkatakan oleh bibirnya yang penuh dan lembap. Mata yang membuatku mengalah untuk menemukan semua klarifikasi nalar. Melihat dan terlihat oleh matanya, membuatku selalu telanjang. Seharusnya saya ngeri. Karena saya tak lagi mempunyai selubung apa pun. Seolah kota tanpa benteng. Rumah tanpa pagar. Mata itu tak memberikan kata permisi. Langsung masuk melewati pintu utama, melintasi ruang tamu, tak memedulikan isi dapur, dan eksklusif masuk ke ruang tidur tempatku menunggu dengan kepasrahan lingkaran Ishak yang akan dikorbankan Abraham kepada Tuhannya.

Dia, lewat matanya, membuatku tak pernah sanggup menolak. Banyak hal yang ia tawarkan lewat mata itu. Tentang kebersamaan, perihal hidup tanpa beban, kebebasan yang bermoral, perjalanan ke ujung pelangi. Hanya ada dia  dan aku. Berdua menyusuri setiap tepi impian. 

“ Ya, kaulah dunia fantasiku. Aku terbebaskan di duniamu.” kataku ketika berpisah denganya tahun lalu.

“ Sesekali kau harus pulang ke dunia nyata. Saat itulah kau harus sadar bahwa saya atau kau tidak akan pernah saling memiliki. Karena pemilik sejati ialah Tuhan. Kita hanya menjalani lakon dari Tuhan saja. Tidak ada yang serius selain Tuhan. Jujur, sering kusengaja memejamkan mata untuk membayangkan saat-saat bercumbu denganmu. Kamu membiarkanku memasuki gerbang sorga itu, yang akan membuatku mencicipi ketiadaan gravitasi. Ruang angkasa yang tak berbatas. Namun, kenyataan memang selalu mengempaskan kita kembali ke tanah. Terbanting keras hingga kadang menciptakan remuk. Tak peduli seberapa lamanya kita ingin bersama, kita harus berpisah. Kuharap untuk sementara, “ Katanya. Aku terdiam, bibirku mengerut kecut. Semudah itukah ia bersikap. Dan Diapun terpejam, membiarkan saya pergi.

Aku tak pernah pergi. Bahkan meski itu hanya untuk beberapa hari. Bagaimanapun demi persahabatan , saya tak ingin menciptakan ia bertanya tanya jikalau saya benar benar menghilang darinya. Aku yakin suatu ketika ia akan memanggilku kembali. Tentu akan Ada kiprah berbeda yang harus kujalankan. Seperti seorang aktris panggung yang tak sanggup menolak kiprah yang disodorkan sutradara. Demi kepuasannya , saya harus menjalankan kiprah itu hingga selesai. Inilah takdirku.


Sumber https://bukuerizelibandaro.blogspot.com/

Artikel Terkait