Untuk Saudaraku : Habib Rizieq Syihab



Saudaraku Habib Rizieq Syihab 

Saya membayangkan kejadian tahun 1984 Orde gres ketika Peristiwa Tanjung Priok. Ketika itu jiwa muda saya terpanggil untuk menjemput sahid. Namun apa yang terjadi? sesudah demo akbar seusai sholat jumat itu, malamnya tak terbilang jumlahnya umat islam yang berdemo di bantai oleh Tentara. Tak ada yang bisa memastikan jumlahnya. Namun sebuah pembenaran demi stabilitas politik, ekonomi dan keamaan, korban itu tidak di hitung. Dunia bisa memakluminya. Setelah itu, Ulama di curigai dan gerakan Islam semakin lemah. Tak sedikit saudara muslim kita di bunuh di kala DOM Aceh. Dan di kawasan Artikel Babo. Satu demi satu ulama di jemput oleh Tentara, dan di penjara dengan keadilan ala kadarnya. Semua ceramah di masjid di sensor oleh rezim Soeharto. Waktu berlalu , kekuatan kita terus melemah. Bahkan banyak cendekiawan muslim menentukan berkolaborasi dengan rezim Soeharto. Ketika ulama tak lagi di dengar dan di bungkam suaranya maka ketika itulah Allah berkuasa dengan kehendakNya untuk mencabut kekuasaan seseorang. Pemicu Soeharto jatuh bukan lantaran demo kolosal umat islam, bukan lantaran ledakan bom para pengaku pengawal akidah. Bukan. Tapi lantaran Sorros ,  seorang psikopat pasar uang yang di gerakan hati oleh Allah untuk mengirim bomb hedge fund meledak di Indonesia. Ekonomi oleng. Pesawat yang hendak tinggal landas , balasannya nyungsep di ujung landasan pacu. 

Menjelang Soeharto jatuh, tak nampak gerakan kolosal umat islam membawa bendera Islam di garis depan kecuali para mahasiswa menyabung nyawa menjatuhkan Soeharto. Bahkan kampus yang di dirikan oleh forum Trinitas melahirkan jagoan reformasi. Mereka menang dan elite islam memanfaatkan situasi di tikungan. Kekuasaan balasannya beralih kepada Elite Islam. Amin Rais ketua MPR dan Gus Dur , Presiden. Itu hanya sebentar. Gus Dur yang di dukung poros tengah partai Islam, di jatuhkan oleh sobat seiring sejalannya. Selanjutnya hingga kini kita hanya jadi penonton lantaran selalu kalah dalam kancah demokrasi. Bahkan barisan ulama yang memback up seorang Jenderal mencalonkan diri sebagai presiden tak berdaya berhadapan dengan seorang muslim yang tak pakai sorban, yang di dukung seorang wanita. Nampak nya ya saudaraku, umat tidak tertarik dengan jargon utopia syariah islam bisa mensejahterakan negeri ini. Mengapa ? hanya Allah yang tahu. Bukankah kekuasaan itu milik Allah dan hanya di berikan kepada orang yang di kehendakiNYA. 

Saudaraku Habib Rizieq Syihab 

Kalau ingat kala Soeharto , kini usaha menegakan keyakinan terasa mendapatkan ruang yang lebar. Ketika demo 411, pidatomu ya saudaraku, diatas panggung dengan gema asma Allah membuat saya terhenyak.  Apalagi gerakan umat islam berbaris rapi dengan semangat apokalipse membela pedoman Ulama, dengan cara damai, seakan cahaya langit memenuhi bumi Indonesia. Inilah sebetulnya ujud agama Tauhid membuat negeri ini selalu di rahmati Allah: cahaya kedamaian. Namun ternodakan kesantunan Agama Allah oleh bunyi mencerca Presiden yang juga saudara muslim kita, dan bahkan sempai kini terus terdengar. Saat kini lewat sosial media dan media massa, mencerca Presiden sanggup di lakukan dengan gampang. Suara itu tak membuat siapapun di tangkap ibarat kala Soehato, atau di jebloskan ke dalam sel pengap ibarat rezim komunis di China, atau di pancung ibarat aturan di kerajaan Arab atau di penjara secara berjamaah ibarat di Turki di bawah rezim Erdogan atau ibarat di Mesir. Di tanah air ini, seperti, seorang pelaku teror di elu elukan sebagai suhada, bandar narkoba di aturan mati namun menerima simpati luas. Koruptor , pelaku teror boleh di kunjungi ramai-ramai, di potret, di dampingi pembela, tak di anggap bersalah sebelum hakim tertinggi memutuskan, sanggup kesempatan membuat maklumat, bahkan mengecam Kepala Negara. 

Di negeri ini proses keadilan secara formal di lakukan dengan hati-hati—karena para polisi, jaksa, dan hakim di haruskan berendah hati dan beradab. Berendah hati: mereka secara bersama atau masing-masing tak boleh meletakkan diri sebagai yang mahatahu dan mahaadil. Beradab: lantaran dengan kerendahan hati itu, orang yang tertuduh tetap di akui haknya untuk membela diri; ia bukan binatang untuk korban. Keadilan ialah hal yang mulia, Saudara ku, alasannya ialah itu pelik. Ia tak bisa di gampangkan. Ia tak bisa di serahkan mutlak kepada hakim, jaksa, polisi—juga tak bisa di gantungkan kepada kadi, majelis ulama, Ketua FPI, atau amir yang mana pun. Keadilan yang bahu-membahu tak di tangan manusia. Itulah yang tersirat dalam iman. Kita percaya kepada Tuhan: kita percaya kepada yang tak alang kepalang dekatnya dengan kita bahkan lebih akrab dari urat leher kita. Ia Yang Maha Sempurna yang kita ingin dekati tapi tak sanggup kita capai dan samai. Dengan kata lain, iman ialah keredah hatian di hadapan Tuhan. Iman membentuk, dan di bentuk, sebuah etika kedaifan. Di negeri dengan 250 juta orang ini, dengan perbedaan yang tak tepermanai di 17 ribu pulau ini, tak ada perilaku yang lebih tepat ketimbang bertolak dari kesadaran bahwa kita daif. Kemampuan kita untuk membuat 250 juta orang tanpa konflik sangat terbatas. Maka amat penting untuk punya cara terbaik mengelola sengketa. Berdamailah dengan kenyataan  saudaraku. Bukankah perdamaian itu mendekatkan kita kepada pada takwa. 

Saudaraku Habib Rizieq Syihab 

Sejarah Indonesia tidak bebas dari konflik dengan kekerasan. Sejarah kita menyaksikan pemberontakan Darul Islam semenjak Indonesia berdiri hingga dengan pertengahan 1960-an. Sejarah kita menanggungkan pembantaian 1965, kekerasan Mei 1998, konflik antargolongan di Poso dan Maluku, tindakan bersenjata di Aceh dan Papua, hingga dengan pembunuhan atas pejuang hak asasi manusia, Munir. Ingatkah, Saudara ku, semua itu? Ingatkah Saudara berapa besar korban yang jatuh dan kerusakan yang berlanjut lantaran kita menuntaskan sengketa dengan benci, kekerasan, dan perilaku memandang diri paling benar? Saudaraku sayang… kita sama sama tahu bahwa negeri ini merdeka berkat rahmat Allah, tentu kiprah kita merawat rahmat itu.

Ya, merawat sebuah keanekaragaman yang tak tepermanai sama halnya dengan meniscayakan sebuah sistem yang selalu terbuka bagi tiap usaha yang berbeda untuk memperbaiki keadaan. Indonesia yang rumit ini saudaraku, tak mungkin berilusi ada sebuah sistem yang sempurna. Sistem yang merasa diri sempurna—dengan mengklaim diri sebagai buatan Tuhan—akan tertutup bagi koreksi, sementara kita tahu, di Indonesia kita tak hidup di nirwana yang tak perlu di koreksi. Itulah yang menjadikan demokrasi penting dan Pancasila di rumuskan. Demokrasi mengakui kedaifan insan tapi juga hak-hak asasinya—dan itulah berkah yang luar biasa yang membuat Saudara dan Artikel Babo tak dipancung lantaran mengecam Kepala Negara.

Dan Pancasila, Saudaraku, yang bukan wahyu dari langit, ialah buah sejarah dan geografi tanah air ini—di mana perbedaan diakui, lantaran kebhinekaan itu takdir kita, tapi di mana kerja bersama di perlukan. Saya tahu bahwa saudara tetap sulit mendapatkan ulaha Soekarno yang menghapus 7 kata pada sila pertama Pancasila. Tapi oke saya ulang lagi perilaku Soekarno untuk kita renungkan dan berdamai dengan kenyataan itu juga tidak salah. Pada 1 Juni 1945, Bung Karno menggunakan istilah yang dipetik dari tradisi lokal, ”gotong-royong”. Kata itu kini telah terlalu sering di pakai dan di salahgunakan, tapi bahu-membahu ada yang menarik yang dikatakan Bung Karno: ”gotong-royong” itu ”paham yang dinamis,” lebih dinamis ketimbang ”kekeluargaan”.

Artinya, ”gotong-royong” mengandung kemungkinan berubah-ubah cara dan prosesnya, dan pesertanya tak harus tetap dari mereka yang satu ikatan primordial, ikatan ”kekeluargaan”. Sebab, ada tujuan yang universal, yang bisa mengimbau hati dan pikiran siapa saja—”yang kaya dan yang tidak kaya,” kata Bung Karno, ”yang Islam dan yang Kristen”, ”yang bukan Indonesia tulen dengan yang peranakan yang menjadi bangsa Indonesia.” ”Gotong-royong” itu juga berangkat dari kerendahan hati dan perilaku beradab, sebagaimana halnya demokrasi. Itu sebabnya, bahkan dengan membawa nama Tuhan—atau justru lantaran membawa nama Tuhan—siapa pun, juga engakau saudaraku juga yang lain, tak boleh mengutamakan yang di sebut Bung Karno sebagai ”egoisme-agama.”

Kita semua tahu bahwa Bung Karno tak selamanya benar. Tapi tanpa Bung Karno pun kita tahu, tanah air ini akan jadi kawasan yang mengerikan bila ”egoisme” itu di kobarkan. Pesan Bung Karno patut kita dengarkan kembali: ”Hendaknya negara Indonesia ialah negara yang tiap-tiap orangnya sanggup menyembah Tuhannya dengan cara leluasa. " Dengan begitulah Indonesia punya arti bagi sesama, beribadah tanpa rasa takut, tanpa di halangi, kebebasan menyuarakan kebenaran illahiah di setiap masjid yang terus bertambah, tanpa takut di penjara lantaran berbeda perilaku dengan pemerintah, tanpa ada yang menghambat untuk kaya raya. Ataukah bagi Saudara ia tak punya arti apa-apa lantaran agenda lain ? Saudaraku. Aku ingin 10 tahun lagi kita masih di beri umur untuk menyaksikan Indonesia jago , terhormat di mata dunia dan menjadi marcusuar dunia bagaimana seharusnya peradaban di bangkit atas dasar akhlakul karimah, walau tanpa harus menjadi Negara Islam. 

Udahan demonya ya sayang. Kita tidak hidup di kala Soeharto. Kini kita menikmati angin kebebasan, di bawah pemimpin yang berhati lembut, yang tak membuat orang di penjara lantaran berbeda dengannya. Bahkan ustadz yang berbeda bisa menjadi selebritis, di puja banyak orang. Mari perkuat gotong royong membangun kekuatan umat dari sisi ekonomi supaya kita bisa membela agama dengan cara terhormat dan smart, membuat keadilan sosial bagi semua, dan menjadi pencerah bahwa islam itu rahmat bagi semua, yang tak lagi menadahkan tangan untuk makan dan kesejahteraan di raih dengan praktis lantaran sunatullah. Salam hormat dan doa terbaik untuk saudaraku Habib Rizieq Syihab , selalu. Maafkan daku kalau ada salah dalam goresan pena ini. 


Sumber https://bukuerizelibandaro.blogspot.com/

Artikel Terkait