Mungkin kita akan berkerut kening jikalau melihat orang asing BAB mencuci memakai tissue toilet. Namun lebih galau lagi orang asing dikala kita dengan enaknya lap tangan seusai makan memakai tissue toilet. Benda yang sama tetapi penggunaan yang berbeda. Kalau diperdebatkan maka tidak akan ada ujungnya. Mengapa basuh BAB dengan tissue akan ada alasan yang berpengaruh soal itu. Orang indonesia juga punya alasan berpengaruh mengapa BAB harus dicuci dengan air. Bagi orang barat pakaian itu ada tiga jenis. Pakaian tidur, pakaian resmi dan santai. Mereka melihat absurd dikala ada perempuan Indonesia pergi keluar rumah memakai daster. Apalagi para laki-laki juga pakai daster. Padahal daster itu pakaian tidur. Namun orang indonesia memandang pakaian itu dari sisi kebersihan. Perbedaan ini tidak akan ada titik temunya alasannya ialah budaya dan persepsi yang berbeda walau topiknya sama.
Kalau kita memperdebatkan perbedaan maka itu sanggup saja alasannya ialah persepsi kita ketinggalan zaman tanggapan kita menolak perubahan. Dulu tahun 80an orang kaya disebut jutaan. Kemudian alasannya ialah waktu berubah. Tahun 90an orang biasa sanggup honor sudah bilangan jutaan. Makanya orang kaya tidak lagi disebut jutawan tetapi milioner. Tahun 2000an orang punya uang miliaran sudah banyak. Bahkan pendapatan artis dan Dai sudah bilangan miliaran. Maka tidak lagi pantas orang kaya disebut milioner. Kaprikornus apa ? Yang konlomerat. Tetapi alasannya ialah banyak konglomerat yang gulung tikar tanggapan krisis financial maka orang kaya tidak punya sebutan yang cocok. Perbedaan itu terjadi alasannya ialah waktu tanggapan perubahan lingkungan.
Cobalah perhatikan, dulu ekonomi negara diukur dari kekuatan SDA. Semua negara maju berburu negara yang punya SDA besar. Penjajahan terjadi baik pribadi maupun tidak langsung. Kemudian, SDA bergeser kepada pengusahaan tekhologi. Semua negara berlomba lomba melaksanakan riset tekhnologi biar unggul dalam putaran waktu. Namun tekhnologi tidak menciptakan AS dan Barat sanggup melawan gagal bayar utang. Kemudian negara makmur bukan alasannya ialah SDA atau tekhnologi tetapi alasannya ialah SDM hebat. Tetapi SDM mahir menyerupai Jepang tidak sanggup menahan dampak krisis spiral dan jebakan utang. Orang terkejut dikala Grab yang merugi tidak pernah kehilangan jalan masuk financial resource dan Facebook yang tidak punya pabrik sehebat GM dan Honda tetapi kapitalisasi pasarnya lebih besar dari GM dan Honda. Indonesia yang defisit tidak pernah kehilangan financial resource dan masuk investment grade.
Artinya bukan lagi SDA, Tekhnologi, SDM yang menciptakan kemajuan tetapi nilai. Apa itu? Nilai yang memadukan semua hal sebagai instrument untuk menghasilan nilai ekonomi. Nilai ekonomi yang mahir bukan diukur dari keuntungan dan jumlah asset besar tetapi oleh market based. Market based bukan dasar monopoli tetapi semangat mengembangkan dan ketergantungan antar stakeholder. Era oligarki ekonomi dan sumber daya tidak lagi mendapat daerah semenjak China berhasil menguasai pasar Eropa dan AS. Sejak China menjadi kreditur negara yang kaya tekhnologi dan SDM berkualitas, orang tidak lagi melihat uang sebagai sumber kekuatan tetapi produksi dan kerjasama atas dasar bersama-sama sebagai nilai.
Yang lucunya nilai inilah yang diajarkan oleh bapak pendiri negara kita dan yang kita pahami dalam budaya dan agama, itulah puncak peradaban diera kini tetapi kita lupa. Ya kita kehilangan nilai nilai usang sebagai bangsa besar. Karena kita sibuk membahas perbedaan yang remeh sehingga lupa meliat kedalam diri kita sendiri untuk unggul dalam persaingan global. Cobalah berdamai dalam perbedaan dan focus terhadap nilai nilai kita sebagai bangsa yaitu semangat bergotong royong senasip sepenanggungan maka kemakmuran akan terjadi kini dan disini…
Sumber https://culas.blogspot.com/