Beda ?


Seorang teman banker berkata kepada saya, mungkin salah satu penyebab dinasti ottoman jatuh ialah lantaran kekalahan perang di mana mana. Banyak kawasan kekuasaannya memisahkan diri. Lantas apa penyebabnya ? Karena adanya fatwa ulama bahwa mortir dan mitraliyur ialah senjata yang ‘haram’, benda orang ‘kafir’. Fatwa ini tentu di patuhi oleh Sultan yang melarang angkatan perangnya memakai senjata orang kafir itu. Namun Mustafa Kemal Ataturk menolak tegas fatwa itu. Ia berani beda. Andaikan beliau mendapatkan fatwa itu mungkin beliau tidak akan jadi Presiden Turki lantaran Turki menjadi negara jajahan Eropa. Sejarah Turki akan berbeda. Mengapa hingga begitu mudahnya Ulama Ottoman memperlihatkan fatwa tersebut? tanya saya. Teman saya menyampaikan lantaran kehebatan kaum Yahudi yang berhasil masuk ke dalam wilayah ulama melalui uang dan kesenangan dunia yang di tebar. Makara dari dulu hingga kini tidak ada orang yang bisa menjamin beliau paling suci. 

Saya tidak pernah kawatir kalau orang menyampaikan saya berpaham sekuler , dan bahkan saya di cap kafir sekalipun hanya lantaran saya berbeda paham dengan mereka.  Di depan Tuhan, saya ingin memperlihatkan bahwa iman saya tak mendorong saya karam ke dalam rasa gentar di cap orang lain kafir atau munafik. Juga tak menciptakan saya besar hati dan merasa terlalu yakin masuk sorga lantaran mengikuti fatwa Ulama. Karena saya tahu beribadah ialah metodelogi mendekati Tuhan, bukan cara meraih sorga. Karena sorga itu tidak ada kaitannya dengan ibadah tapi semata mata rahmat Allah, yang bisa di berikan kepada siapapun Allah kehendaki. Sola urusan dunia, meskipun saya bukan Attaturk, dengan mantap saya bisa pisahkan mana yang wilayah Tuhan  dan mana yang wilayah manusia. Saya akui ke Maha Pengurusan Allah dan Pemberi rezeki, tapi  saya harus bekerja  keras dan cerdas semoga mendatangkan uang ke rekening saya. Dari sikap kebanyakan orang ibarat saya ini, buahnya ialah benda-benda peradaban yang independen dan bebas di perjual belikan di Bursa, sebuah dunia sekuler, sebuah kemerdekaan ‘ego insani’, mengandung iman yang mengakui kebesaran Tuhan tapi menegaskan otonomi insan untuk melewati sunattullah.

Tapi apa pedui saya soal anggapan orang. Tentu saja tuduhan ‘kafir’ atau ‘bid’ah’ pada kesudahannya keputusan insan juga ,yang lantaran satu dan lain hal menganggap dirinya penjaga iktikad yang lebih banyak tahu. Tapi kita tahu tiap keputusannya di ambil dengan Hakim yang in absentia. Tuhan tak hadir dalam sidang Fatwa. Hanya para penjaga iktikad sering tak sadar bahwa atas Nama-Nya pun mereka bisa keliru. Tetapi yang menyedihkan bahwa pemahaman tafsir yang berbeda itu sudah cukup alasan menyebut anda sesat, atau kafir atau munafik. Ada ratusan ribu orang berdemontrasi yang membela fatwa MUI namun ada ratusan juta yang tidak ikut demo. Yang tidak ikut demo, yang tidak ikut bersimpati, di anggap bukan golongannya, bukan calon penghuni sorga, dan termasuk bukan golongan orang beriman. 

Saya mendapatkan hikmah sesudah menonton Film FITNA lewat Youtube. Saya tak menikmatinya. Isinya repetitif. Apa maunya sudah sanggup pula diperkirakan. Dimulai dengan karikatur populer dari Denmark, karya Kurt Westergaard itu yang menciptakan umat islam sedunia meradang lantaran menistakan Rasul yang di agungkan. Film ini ialah kombinasi antara petikan teks Alquran dalam terjemahan Inggris, bunyi qari yang fasih membacakan ayat yang dimaksud, dan klip video perihal kekerasan atau kata-kata benci yang berkobar-kobar. Ayat 60 dari Surat Al-Anfal yang ditampilkan pada awal Fitna, misalnya—perintah Allah semoga umat Islam menghimpun kekuatan dan mendatangkan rasa takut ke hati musuh—diikuti oleh cuilan film dokumenter dikala pesawat terbang itu di tabrakkan ke World Trade Center New York, 11 September 2001. Kemudian tampak pengeboman di kereta api di Madrid. Setelah itu: seorang imam yang tak di sebutkan namanya bangun dari asap, menyatakan: ”Allah berbahagia kalau orang yang bukan-muslim terbunuh”.

Pendek kata, dalam Fitna, Alquran ialah buku yang mengajarkan khotbah kebencian yang memekik-mekik dan tindak biadab yang berdarah. Wilders penulis skenario film sesungguhnya hanya mengulang pendapatnya. Pada 8 Agustus 2007, ia menulis untuk harian De Volkskrant: Quran, baginya, ialah ”buku fasis” yang harus di larang beredar di Negeri Belanda, ibarat halnya Mein Kampf Hitler. ”Buku itu merangsang kebencian dan pembunuhan.” Salahkah Wilders? Tentu. Penulis resensi dalam Het Parool konon menyatakan, sesudah membandingkan film itu dengan Alquran secara keseluruhan, ”Saya lebih suka bukunya.” Sang penulis resensi, ibarat kita, dengan segera tahu, Wilders hanya menentukan ayat-ayat Alquran yang cocok untuk proyek kebenciannya. Semua orang tahu, Alquran tak hanya gugusan pendek petikan itu. Dan tentu saja tiap petikan punya konteks asbabunnuzul. 

Tapi Wilders tak hanya sesat di situ. Ia juga salah di tempat yang lebih dasar: ia berasumsi bahwa ayat-ayat itulah yang memproduksi benci, amarah, dan darah. Ia tak melihat kemungkinan bahwa Al-Qaidah yang ganas, Taliban yang geram, imam-imam dengan lisan yang penuh api—mereka itulah yang mengkonstruksikan Alquran hingga jadi sehimpun kata yang berbisa. Ajaran tak selamanya membentuk perilaku; sikap justru yang tak jarang membentuk ajaran. Tapi dalam hal itu Wilders tak sendiri. Kaum ”Islamis” juga yakin, ajaranlah yang bisa membentuk manusia. Dan ibarat Wilders, mereka juga menentukan ayat-ayat yang cocok untuk jadwal kebencian mereka. Dan ibarat Wilders, mereka tak mengacuhkan konteks sejarah dikala sebuah ayat lahir.

Benci memang bersifat substraktif. Benci menciptakan pelbagai hal jadi ringkas—dan menciptakan sang pembenci tegas, jelas, menonjol. Benci ialah advertensi Wilders dan iklan para imam dengan demagogi ”Islam”.Itulah sebabnya Wilders salah tapi di benarkan. Ia salah, kalau ia hendak memperlihatkan korelasi antara Surat Al-Anfal ayat 39 dan pemenggalan leher wartawan Eugene Armstrong menjelang simpulan film. Tapi bukankah para algojo itu melakukannya lantaran merasa mengikuti firman Tuhan? Apa mau dikata: inilah zaman dikala firman berkelindan dengan fitnah, dikala yang sakral bertaut dengan yang brutal. Kita hidup pada masa dikala Jonathan Swift, satiris penulis Gulliver’s Travels dari era ke-17 itu, terdengar kembali cerdik dan sekaligus menusuk: ”Kita punya agama yang cukup untuk menciptakan kita membenci, tapi tak cukup untuk menciptakan kita mencintai….” Dengan begitu maaf terasa mahal sekali, dan kebencian di kampanyekan dalam demo di tengah takbir yang di saksikan oleh para Ulama yang mengaku penjaga akidah..

Sumber https://bukuerizelibandaro.blogspot.com/

Artikel Terkait