Text message tiba ke gadget-saya. “Pah, sanggup ketemu? Kiki mau bicara berdua aja,” demikian pesan dari putra saya. Saya tersenyum membaca text message tersebut. Karena merasa ia bukan lagi bawah umur tapi telah dewasa. Dia ingin diperlakukan sebagai sahabat. Ingin berbicara sebagai seorang pria.
Terbayang oleh saya ketika awal ia tetapkan untuk terjun berwiraswasta. Tidak pernah saya memprovokasinya untuk mengikuti jejak saya sebagai pengusaha. Walau pendidikannya mumpuni untuk berkarir sebagai pegawai, namun ia lebih menentukan menjadi pengusaha. Dia siap menghadang risiko.
Berjalannya waktu memang perjuangan yang dirintisnya terseok-seok, namun dengan katabahan ia hadapi. Saya tidak memanjakannya dengan fasilitas, tapi memberinya motivasi untuk terus melangkah tanpa ragu. Putra saya tiba ke café di mana kami berjanjian. Seperti biasa ia mencium tangan saya dan merangkul saya. “Iki tidak tahu harus bicara apa. Saat kini Iki hanya ingin ketemu Papa aja,” katanya mengawali pembicaraan. Saya menatapnya dengan tersenyum. Saya tahu ia sedang gundah dengan perjuangan yang sedang dirintisnya. Dia tidak butuh advisi bisnis, tapi penguat jiwanya untuk melangkah ke depan.
“Nak, kau tahu, Papa menikah usia 22 tahun. Ketika itu papa tidak punya pekerjaan tetap. Kuliah juga belum selesai. Tidak ada tabungan. Tidak ada asuransi. Jadi, benar-benar papa menghadang risiko. Apa itu? Bila uang untuk sewa rumah saja tidak ada, sehabis menikah di mana papa mau tinggal? Bila asuransi saja tidak ada, jikalau anak lahir dari bagaimana papa membayar biaya rumah sakit. Kalau terjadi apa-apa, apa yang harus papa usahakan bila tabungan saja tidak ada.
“Bagaimana papa sanggup menuntaskan kuliah, dengan beban ibumu bersama papa… dan terakhir, bagaimana sanggup meyakinkan secara logika sehat kepada ibumu bahwa hidup akan aman-aman saja walau tidak ada jaminan income. Sementara sebagian besar teman dan kerabat menasihati papa dengan analisa future yang sangat mengerikan. Bahwa rumah tangga akan hancur bila tidak ada penghasilan. Masa depan akan hancur bila tidak selesai kuliah. Dan banyak lagi.
“Tapi papa tidak peduli. Ketika layar terkembang, pantang surut ke belakang. No way return! Apa modal papa ? Restu orangtua dan iman. Berjalannya waktu, semua bayangan menyesatkan itu, tidak terjadi. Papa dan ibumu baik-baik saja. Sementara teman yang jago merencanakan kapan harus menikah dengan sederet prakondisi, harus selesai kuliah, harus kerja, harus punya rumah, harus mapan, kini di usia di atas 50 tahun masih mencemaskan putranya yang masih sekolah atau kuliah, masih resah menyiapkan tabungan masa tua, dan lain sebagainya. Sementara papa di usia setengah kurun ini, engga lagi direpotkan dengan itu semua. Alhamdulilah kau telah menikah dan memberi papa dua cucu hebat. Insya Allah, tahun ini adikmu akan menuntaskan kuliah kedokterannya dan menikah. Tenaga papa masih besar lengan berkuasa sebab belum usia pensiun. Artinya hidup memang sebaiknya menghindari resiko namun kadang kita tidak punya pilihan banyak dan menghadang resiko juga bukan salah. Orang besar sebab ia mau berbuat dengan kekuatan hatinya atas dasar iman. Karena itu ia sanggup melihat dari balik tabir dan melangkah dengan niscaya kearah masa depan. Pahaman,kan saying..”
“ Bagaimana menghadapi keadaan ekonomi yang kadang terasa tidak menguntungkan dunia perjuangan “ Tanyanya
“Kamu tahu, Nak, tahun 1996 kurs Rupiah 2.300 per satu USD, dan tahun 1998 atau dua tahun kemudian menjadi di atas Rp. 10 ribu. Krisis moneter melanda republik ini. Banyak teman kehilangan pekerjaan dan usahanya bangkrut. Kalau tadinya mereka menjadi middle class berkarir di perbankan atau punya pabrik, dengan insiden krismon itu, kelas mereka jatuh.
“Papa perhatikan, ada teman yang frustrasi dan selalu menyesali keadaan, karenanya hidupnya hancur. Ada yang meninggal sebab serangan jantung. Ada juga yang terlalu banyak planning tapi tidak berbuat apapun sebab takut uang pesangon atau sisa modal habis. Akhirnya uang pesangon atau modal habis dimakan dan mereka depresi. Rumah tangga hancur dan mereka kehilangan potensi.
“Tapi ada yang ketika tragedi alam terjadi, eksklusif berbuat dengan uang pesangon atau modal yang tersisa. Mereka eksklusif mengubah gaya hidupnya. Mereka ambil risiko untuk keluar dari persoalan dengan berbuat sesuatu. Apa yang terjadi kemudian? Sebagian kini jadi pengusaha sukses di bidang perkebunan, perikanan. Ada yang sanggup mengekspor ikan tuna ke Jepang dengan nilai hampir Rp 1 triliun. Ada yang punya ribuan hektare kebun sawit dan tambang batubara. Dan ada yang eksklusif namanya masuk dalam urutan orang terkaya di Indonesia sebab kepiawaianya sebagai konsultan shadow banking untuk membeli aset yang dikuasai BPPN. Bahkan, ada yang tadinya hanya biro barang impor, kini punya pabrik di China, Vietnam. Papa bertemu dengan banyak orang Indonesia yang punya perjuangan di China, sebagian besar meraka yaitu alumni korban krismon 1998. Mereka kaya-raya dan sukses.”
“Mengapa Papa ceritakan semua itu? Ketahuilah bahwa semua insan punya kesempatan sama. Allah Maha Adil. Lantas mengapa ada yang beda nasibnya? Ada yang kaya dan ada yang miskin? Ada yang kalah dan ada yang menang? Ada yang sukses dan ada yang gagal. Selalu bersanding antara nasib baik dan buruk. Mengapa?
“Ternyata, bukan sebab kehebatan ilmu, bukan sebab harta berlebih, bukan sebab kesempurnaan tubuh, bukan sebab banyak zikir. Bukan! Tapi, mindset. Cara berpikir! Itulah yang membedakan nasib orang satu dengan yang lain. Orang yang pesimistis selalu menghitung persoalan yang ada dan membayangkan persoalan yang belum ada. Dia selalu jadi pecundang. Apapun yang ia usahakan tetap akan menjadikannya pecundang. Baik dari sisi spiritual maupun dari sisi sosial.
“Mengapa? Karena ia bukan penyelesai masalah, tapi serpihan dari persoalan itu sendiri. Sikap paranoid menempel bersahabat kepada orang yang pesimistis. Optimism is the most important human trait, because it allows us to evolve our ideas, to improve our situation, and to hope for a better tomorrow. Banyak orang punya titel berlapis, punya harta berlebih dari warisan keluarga, namun karenanya semua hilang dan ia meradang seumur hidup menyesali yang telah terjadi dan membayangkan hal jelek yang akan terjadi. Orang yang bernasib baik yaitu orang yang mau mendapatkan nasib jelek dan melewatinya dengan tegar! Ya… orang pesimistis melihat kesulitan dalam setiap peluang. Orang optimis melihat peluang di setiap ada kesulitan.
“Dengarlah pesan yang tersirat Ali Bin Abi Thalib ‘Bukanlah kesulitan yang membuat kita takut, tapi ketakutanlah yang membuat kita sulit. Karena itu, jangan pernah mencoba untuk menyerah, dan jangan pernah mengalah untuk mencoba. Maka jangan katakan kepada Allah bawa kita punya masalah, tapi berkatalah kepada persoalan bahwa kita punya Allah SWT. Yang Maha Segalanya.’
“Ya, ingat ketika awal menikah papa tanya sama ibumu mengapa ia berani hidup bersama dengan papa. Ibumu optimistis Allah akan menolongnya sepanjang ia yakin dengan suaminya. Keyakinan atau optimisme inilah yang membuat sesulit apapun keadaan, akan selalu gotong royong mengatasinya, tanpa saling menyalahkan atau mengeluh tak berkesudahan. Baik rumah tangga maupun kehidupan bermasyarakat, bernegara, bewirausaha, perilaku optimistis inilah sebagai modal untuk membuat nothing is impossible.
“Waktu menikah, Papa mustahil punya rumah sebab tida ada tabungan, sehabis menikah Allah beri Papa rumah. Papa mustahil sanggup punya kendaraan sebab Papa tidak sanggup setir dan engga ada income pasti, tapi Allah beri Papa kendaraan dan supir. Papa mustahil mapan sebab tidak punya pekerjaan tetap, tapi Allah beri Papa sumber pekerjaan untuk memberi orang lain pekerjaan. Kehidupan Papa mengajarkan dengan niscaya bahwa nothing is impossible… tidak ada yang mustahil asalkan kau tidak meliat kesulitan pada setiap kesempatan, namun melihat kesempatan pada setiap kesulitan. Yakinlah!
Jadi Nak, keraslah dengan dirimu sendiri. Bila saatnya kau ingin berbuat, maka percayalah dengan niat baik, maka pikiranmu akan membuatmu selalu jelas untuk melangkah di tengah berlantara kehidupan yang tidak ramah. Jangan kawatir! Karena Tuhan menciptakanmu dengan sebaik-baiknya ciptaan. Betapa istimewanya dirimu, Nak. Karenanya jangan rendahkan nilaimu dengan menyalahkan siapapun, tapi tetaplah berprasangka baik untuk berubah lebih baik. Paham, kan, sayang?”
Cuplikan dari Buku : "Cintaku Negeriku. Mari berubah."
Tersedia di Toko buku Gramedia di Kota anda.
Apabila ingin pesan di antar ke alamat anda,
Silahkan hubungi WA / SMS 0811 33 1924 atau email saya ebandaro@gmail.com