Saya bertemu dengan sahabat usang di Bandara. Walau kami jarang bertemu namun setiap saya ingat akan dia, saya selalu mendoakan dia. Kenangan dengan sahabat ini tidak akan pernah saya lupakan seumur hidup. Saya teringat 30 tahun lalu. Ketika itu usia saya 21 tahun dan ia 25 tahun. Kedekatan saya dengan ia alasannya ialah satu kelompok pengajian Tarikat. Kegiatan pengajian ini dilakukan dari masjid ke masjid. Kadang diadakan juga dirumah. Kegiatan pengajian kami tidak berhubungan dengan ormas Islam dan tidak terlibat dalam aktifita politik.
Walau saat itu banyak kekuatan ormas islam bawah tanah yang berjuang untuk tegaknya negara Islam namun kami tidak terpengaruh. Padahal saat itu kekerabatan antara umat islam dan Pemerintah sedang memanas alasannya ialah dipicu oleh perihal akan di berlakukannya asas tunggal Pancasila. Kesan yang saya dengar memang di setiap masjid dan Mushalla setiap hari ada saja pengajian dengan mengundang ulama beraliran keras yang memang jago mengagitasi umat untuk bergerak membela nama Allah dalam perjuangan Jihad.
Ketika itu ( 1984) saya dan sahabat itu berangkat ke Tanjung Priok bukan untuk pengajian tapi di dorong rasa ingin tahu ada apa sebenarnya. Karena tersiar kabar beberapa kelompok aktifis islam yang ada disekitar Jakarta, Bogor dan Banten telah berdatangan ke Tanjung Priok, dengan maksud memperlihatkan derma moral semoga ulama yang di tahan Polisi alasannya ialah pertikaian membela kehormatan masjid sanggup di bebaskan.
Seusai sholat Jumat, massa mulai bergerak kearah pos Polisi Pocis Tanjung Priok dengan tujuan membebaskan ulama. Namun entah mengapa ditengah kerumunan massa saya memperhatikan disebelah saya ada anak muda seusia saya dipunggungnya nampak ada yang menonjol dan saat saya ikut berdesakan dengannya saya mencicipi dibalik jaket levisnya itu ialah senjata mesin Serbu. Teman saya membisikan kepada saya bahwa sebaiknya kami keluar dari kerumunan alasannya ialah kepetangan Tentara sudah ada didalam kerumunan massa. Saya dan sahabat segera keluar dari kerumunan massa yang diperkirakan jumlahnya ribuan itu. Dengan susah payah kami berhasil keluar dari kerumunan itu. Saya dan sahabat pribadi kembali ke Tanah Abang.
Dari kisah sahabat lain yang menyaksikan keributan Tanjung Priok bercerita kepada kami sebagai berikut. Ribuan orang berkumpul dengan semangat membara, disemangati khotbah dari Amir Biki, Syarifin Maloko, Yayan Hendrayana, dll. Tuntutan semoga abdnegara melepas empat orang yang ditahan terdengar semakin keras. Amir Biki dalam khotbahnya berkata dengan bunyi bergetar, “Saya beritahu Kodim, bebaskan keempat orang yang ditahan itu sebelum jam sebelas malam. Jika tidak, saya takut akan terjadi banjir darah di Priok ini”. Mubaligh lain, Ustdaz Yayan, bertanya pada jamaah, “Man anshori ilallah? Siapa sanggup menolong agama Allah ?” Dijawab oleh massa, “Nahnu Anshorullah ! Kami siap menolong agama Allah !”
Sampai jam sebelas malam tidak ada tanggapan dari Kodim, malah tank dan pasukan didatangkan ke daerah Priok. Akhirnya, lepas jam sebelas malam, massa mulai bergerak menuju markas Kodim. Ada yang membawa senjata tajam dan materi bakar. Tetapi sebagian besar hanyalah berbekal asma’ Allah dan Al-Qur’an. Amir Biki berpesan, “Yang merusak bukan sahabat kita !”. Di Jalan Yos Sudarso massa dan tentara berhadapan. Tidak terlihat polisi satupun, padahal seharusnya mereka yang terlebih dahulu menangani (dikemudian hari diketahui, para polisi ternyata dihentikan keluar dari markasnya oleh tentara).
Massa sama sekali tidak beringas. Sebagian besar malah hanya duduk di jalan dan bertakbir. Tiba-tiba terdengar instruksi mundur dari komandan tentara. Mereka mundur dua langkah, kemudian … astaghfirullah ! Tanpa peringatan terlebih dahulu, tentara mulai menembaki jamaah dan bergerak maju. Gelegar senapan terdengar bersahut-sahutan memecah kesunyian malam. Aliran listrik yang sudah di padamkan sebelumnya menciptakan kilatan api dari moncong-moncong senjata terlihat mengerikan. Satu demi satu para syuhada tersungkur dengan darah membasahi bumi. Kemudian, tiba konvoi truk militer dari arah pelabuhan, menerjang dan melindas massa yang tiarap di jalan. Dari atas truk, orang-orang berseragam hijau tanpa nurani gencar menembaki. Tentara bahkan masuk ke perkampungan dan menembak dengan membabi-buta. Tanjung Priok banjir darah.
Pemerintah dalam laporan resminya yang diwakili Panglima ABRI, Jenderal L. B. Moerdani, menyebutkan bahwa korban tewas ‘hanya’ 18 orang dan luka-luka 53 orang. Namun dari hasil pemeriksaan tim pencari fakta, SONTAK (Solidaritas Nasional untuk kejadian Tanjung priok), diperkirakan sekitar 400 orang tewas, belum terhitung yang luka-luka dan cacat. Tapi menurut sahabat saya yang selamat dari tembakan tentara menyampaikan jumlah korban ribuan. Karena semua mereka yang duduk di jalan yang panjangnya lebih dari 2 KM mati di tembaki oleh senjata mesin.
Seminggu sehabis itu, saya sedang ikut pengajian rutin di Masjid dikawasan Benhil di tangkap oleh aparat. Sempat mencicipi 7 hari ditahan tapi rasanya ibarat 7 abad. Karena 7 hari tidak ada hari tanpa siksaan. Semua tahanan saat di periksa baik laki-laki maupun perempuan harus telanjang. Satu sama lain saling menyaksikan temannya disiksa. Dalam hati saya berdoa semoga ini tidak lagi terjadi kepada anak cucu saya. Semoga Allah memperlihatkan ruang bagi anak cucu saya berjuang tanpa harus mendapatkan kezoliman ibarat ini.
Sampai dua tahun sehabis kejadian pembantaian itu, suasana Tanjung Priok begitu mencekam. Siapapun yang menanyakan kejadian 12 September, menanyakan anak atau kerabatnya yang hilang, akan berurusan dengan aparat. Bahkan selama dua tahun itu terjadi penangkapan kepada kader kader dakwah yang militan.
Hal yang menciptakan saya tidak pernah lupa dengan sahabat itu ialah saat kami di Penjara. Dia meminta saya untuk berzikir dengan zikir Nabi Yunus saat didalam perut ikan Paus, Laa ilaaha illa anta. Subhaanaka, innii kuntu minaz zhaalimiin. Mengapa? Dengan kejadian ini jangan cepat berbaik sangka bahwa kita di posisi yang benar sehingga pantas mati sahid, jangan berprasangka bahwa perilaku kita benar dan di ridhoi Allah sehingga pantas masuk sorga. Apapun petaka itu ialah cara Allah mengingatkan kita bahwa ada kesalahan yang kita perbuat. Samahalnya saat Rasul kalah dalam perang Uhud.
Benarlah , dua hari saya tidak pernah berhenti berzikir di dalam hati dengan doa nabi Yunus , bahkan saat di periksa. Keesokannnya saya di bebaskan begitu saja,teman saya juga. Ada ribuan yang masih ditahan dan tidak tahu bagaimana nasipnya. Tidak ada satupun ormas islam yang ada diluar bergerak untuk membela segelintir kami.Tidak ada.
Sejak itu saya dan sahabat menentukan fokus dengan hidup kami. Belakangan saya tahu sahabat itu menjadi pengusaha perkapalan yang sukses. Tahun 2002 saya bertemu dengan sahabat ini di Singapore. Dia berkata bahwa ternyata doanya saat dulu di penjara terkabulkan. Apa doa itu? semoga Allah memperlihatkan zaman kebebasan kepada generasi anak anaknya memperjuangkan keyakinannya dan merubah system negara sesuai syariah islam tanpa harus bergelimang darah. Saya tersenyum alasannya ialah doanya sama dengan doa saya.
Kini era reformasi. Berkah tak terbilang bagi generasi muda untuk ambil potongan dalam perubahan kearah yang lebih baik,khususnya kearah usaha tegaknya keadilan. Di era reformasi ini semua golongan dan agama punya hak yang sama untuk menjadi pemenang. Jangan hingga fanatisme menciptakan kekuatan syiar islam meredub alasannya ialah sifat keras hati, dengan menebarkan kebencian kepada mereka yang berbeda. Demokrasi harus di sikapi dengan cerdas.
Berjuang tidak sanggup seketika sukses. Semua kita harus berproses. Setidaknya mari merubah paradigma dalam berdakwah. Syiar islam harus di tebar tidak hanya melalui corong masjid dan demo tapi juga di lantunkan dalam karya nyata, bagaimana menjadi unggul dalam putaran waktu melalui jadwal kemandirian ekonomi di tengah masyarakat. Membina mereka keluar dari lubang kemiskinan melalui pendekatan Tauhid semoga kerja keras, kerja cerdas, kerja tulus di maknai sebagai ibadah. Melalui jadwal dakwah karya nyata, lambat laun kepemimpinan Islam di rasakan rakyat untuk tertib dalam barisan shap , menjadi sekumpulan lebah yang hanya memperlihatkan manfaat bagi semua. Hanya dengan dakwah ibarat itu, proyek sosial islam yang mengusung rahmat bagi semua akan teraktualkan sebagaimana Rasul mencontohkan di Madinah ratusan tahun lalu.
Berjuang tidak sanggup seketika sukses. Semua kita harus berproses. Setidaknya mari merubah paradigma dalam berdakwah. Syiar islam harus di tebar tidak hanya melalui corong masjid dan demo tapi juga di lantunkan dalam karya nyata, bagaimana menjadi unggul dalam putaran waktu melalui jadwal kemandirian ekonomi di tengah masyarakat. Membina mereka keluar dari lubang kemiskinan melalui pendekatan Tauhid semoga kerja keras, kerja cerdas, kerja tulus di maknai sebagai ibadah. Melalui jadwal dakwah karya nyata, lambat laun kepemimpinan Islam di rasakan rakyat untuk tertib dalam barisan shap , menjadi sekumpulan lebah yang hanya memperlihatkan manfaat bagi semua. Hanya dengan dakwah ibarat itu, proyek sosial islam yang mengusung rahmat bagi semua akan teraktualkan sebagaimana Rasul mencontohkan di Madinah ratusan tahun lalu.