Idiologi...?

Bulan ini ada dua helatan besar dari PDIP dan Garindra.  PDIP melaksanakan Rakernas dan Garindra mengadakan Kongres. Kedua partai ini percaya dengan idiologi sosialis. Namun Garindra tidak secara vulgar menyampaikan dirinya sosialis. PDIP, juga PKS meng claim sebagai partai idiologi. Sementara yang Artikel Babo terkesan malu malu menyebut idiologinya namun semua asanya sejalan dengan Pancasila. Walau semenjak jatuhnya Soekarno, idiologi kita berjalan diatas sistem kapitalis namun tidak pernah diakui secara formal bahwa kita penganut kapitalisme. Kita hanya pengekor kapitalisme. Ini dapat dimaklumi alasannya yakni kapitalisme yakni paham yang hampir sebagian besar negara didunia mengikutinya, khususnya sesudah Uni Soviet (USSR) yang sosialis komunis tumbang. Bahkan dianggap sebagai ”akhir dari sejarah” (the end of history) dan puncak dalam pemikiran insan , bantu-membantu dengan Demokrasi Liberal di bidang politik. Apakah benar demikian?. Jauh sebelumnya seorang Marxis liberal, Ralph Milliband, mengingatkan bahwa kapitalisme merupakan fondasi yang sangat rentan bagi demokrasi, alasannya yakni konflik dan pertentangan yang inheren dalam masyarakat kapitalis. Ternyata benar Milliband, pada tahun 2008 paska jatuhnya pasar keuangan AS akhir krisis mortgage, Alan Greenspan sebagai otoritas moneter Amerika selama 18 tahun memimpin the FED berkata dihadapan dewan perwakilan rakyat Amerika ( the House Committee on Oversight and Government Reform US) bahwa krisis terjadi alasannya yakni idiologi kapitalis yang digunakan Amerika dalam menerapkan kebijakan ekonominya. Dia sangat tertekan dengan kenyataan ekonomi AS gulung tikar alasannya yakni itu. Orang banyakpun sadar bahwa capitalism menipu dan tentu mengorbankan peradaban kasih sayang. Capitalism closed file.

Kehebatan tesis sekular perihal idiologi ternyata hanya menghasilkan paradox. Capitalisme hanya melahirkan negara pemodal dan kesannya pengusaha yang diuntungkan. Sosialisme hanya melahirkan negara partai dan kesannya elite dan darah biru yang diuntungkan. Teman saya berkata  bahwa ia tidak yakin PDIP akan konsisten dengan idiologi Marhaen atau sosialis nasionalisme. Terbukti ketika PDIP berkuasa tahun 2003 , pada dikala itu tak berdaya menahan arus besar merubah Undang-Undang Dasar 45 yang sosialis menjadi bersifat kapitalis. Yang demokrasi pancasila menjadi demokrasi liberal. Bagaimana dengan Partai Islam atau Partai berbasis ormas Islam? Sama saja. Mereka juga tidak paham apa yang mereka perjuangkan dengan berdirinya partai membawa jargon Islam. Terbukti para elite itu bicara kepada kadernya dari atas hingga ke akar rumput perihal Islam arabian yang langsung yang justru di Timur Tengah sendiri tidak pernah solid dan tampil memimpin perubahan kecuali keributan pecahnya kesatuan umat. Selebihnya nama partai hanyalah nama tapi bekerjsama mereka yakni forum bisnis dengan pemegang saham yakni mereka yang mendirikan partai. Sampai kapanpun selagi mereka hidup, nama partai itu tidak dapat dipisahkan dengan nama para pendirinya.  Ya semacam perusahaan keluarga yang dipimpin secara kekeluargaan dengan business menjual delusi kemakmuran biar rakyat menentukan dan jikalau dipercaya rakyat memimpin mereka akan berkreasi atas dasar pragmatism,yang penuh dengan kalkulasi transaksional.

Kini, orang ingin hal yang realistis,katanya, Agama apapun baik, selagi tidak bicara halal dan haram. Idiologi apapun baik selagi menghormati pemodal, selagi orang kaya tetap kaya dan yang miskin tak perlu marah. Selagi penguasa tetap nyaman dengan kekuasaan dan keculasannya. Selagi pasar tetap menyerap produksi dengan harga melangit.Selagi orang ramai boleh bebas bicara walau tak perlu didengar dan diperhatikan. Selagi orang bebas menyerap gosip dari mana saja walau tak dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya. Ini semua tak lain akhir idiologi tak bermakna idiologi. Semua teraktualkan sebagai sebuah tesis pragmatisme atau dalam bahasa mesranya asas bisnis!. Kalau sosialisme menguntungkan modal untuk membangun perkebunan dengan contoh PIR, membayar upah murah maka sosialisme itu lebih baik dibanding kapitalisme tapi tak baik jikalau sosialisme memaksa bank membiayai sektor pertanian dan UKM kecuali para konglomerasi. Bank berlabelkan islam lebih baik jikalau itu cara gampang pooling fund tanpa harus pusing dibebani Reserve Requirement dan Capital Adequatie Ratio. Kapitalisme lebih baik jikalau semua BUMN tak lagi rugi dan memaksa semua rakyat harus membayar dengan harga mahal. Kapitalisme baik jikalau sumber daya alam mengundang modal dan tekhnologi abnormal untuk mendatangkan pajak bagi negara. Tapi hasilnya apa? Berjalannya waktu , Amerika semakin menggunung hutangnya, Indonesia juga begitu. Jepang terjebak dalam spiral crisis. China terjebak dengan pertumbuhan kelas menengah yang stuck. Orang banya tak lagi mencicipi kebebasan alasannya yakni semua tak lagi bebas kecuali ada uang. Money is the second god in the world , kata mereka putus asa.

Saya rasa idiologi bagi kaum sekular yakni cara smart memperbudak insan lewat pemikiran yang dijejalkan oleh filsup otopis. Orang sadar tak ingin lagi diperbudak. Ideologi hari ini telah mati, telah berganti dengan pragmatisme. The game is over.Namun ini tidak disadari oleh Parpol Islam atau partai berbasis ormas Islam. Mereka masih asyik dengan mastur politik perihal Islam namun gagal menunaikan misi rahmatanlilalaminItulah mengapa Islam harus tampil sebagai sebuah solusi nyata, bukan dalam bentuk politik pedoman tapi dalam bentuk perilaku mental atau tabiat islami bagi siapa saja yang beragama Islam. Karena dalam Islam, system yakni tabiat itu sendiri atau yang disebut dengan tabiat mulia. Filsafat ekonomi islam dengan tegas  menempatkan Tuhan sebagai titik awal dan titik simpulan dari semua permasalahan ( QS 2:156). Islam tidak mengenal istilah capitalism atau socialism. Namun dapat saja ia ibarat sosialis dan juga kapitalis. Atau istilah mesranya pragmatism islami. Ekonomi dalam islam yakni sistem ekonomi Akhlak, yang menempatkan kebenaran, kebaikan dan keadilan diatas segala galanya. Sumber kebenaran , kebaikan, keadilan itu bukan hanya didasarkan pada norma norma budaya dan nalar insan saja tapi menurut titah Illahi yang diteladankan oleh Rasul. Jadi mengapa tidak gunakan pragmatism yang islami? apapun itu baik asalkan sesuai kata Allah.Mungkinkah? semoga...

Sumber https://culas.blogspot.com/

Artikel Terkait