Indonesia ?

PADA pertengahan kala ke 18, seorang yang menjelajah kepulauan ini—dan melihat penghu­ni­nya yang berkulit sawo matang menyerupai orang Polinesia—bertanya kepada diri sendiri: Apa nama insan ini? Apa nama kepulauan yang mereka diami? Kemudian pengelana Inggris itu, George Samuel Windsor Earl, memutuskan: ”Indu nesia”. Tapi segera ia berubah pikiran. ”Malayanusia” lebih baik, katanya. Ternyata sebutan ini pun tak lama. Seorang rekannya, James Logan, menentukan nama ”Indonesia”. ”Indonesia” semenjak itu memasuki sejarah. Dalam The Idea of Indonesia: A History dari R.E. Elson (sebuah buku yang terbit pada 2008 dan membentuk dokumen paling lengkap wacana gagasan kebangsaan kita), dikisahkanlah bagaimana nama itu hidup dengan saga sendiri. Nama ternyata tak hanya jadi penanda. Nama bukan hanya dibentuk dan dikonstruksi. Ia juga mengkonstruksi. Nama mengukuhkan sebuah identitas. Tapi nama tak seluruhnya lahir dari niat menciptakan konsep. Orang tak cuma menyebut ”Indonesia” dengan sebuah definisi. Nama bukan indeks yang abstrak. Robot dalam film Star Wars diberi label ”R2D2”, tapi kesannya kita mengingatnya sebagai si ”Artuditu”. Label itu jadi nama, saat yang menyandangnya hidup, bergerak, menampakkan emosi, berperilaku manusia. Nama menyarankan adanya personifikasi, menyerupai gamelan disebut ”Kyai Tunggul”. Ia menghadirkan sebuah imaji di kepala kita, menyebabkan semangat atau rasa gentar, gugup atau harap harap cemas

Nama ”Indonesia” juga seakan akan sesosok person. Ia tak hanya menandai sebuah tempat. Ketika Bung Karno menyebut pidato pembelaannya di depan mahkamah kolonial ”Indonesia menggugat”, nama itu mengacu ke sesuatu yang menderita sakit alasannya yaitu ketidakadilan, tapi juga mengidamkan sebuah hari esok yang bebas. Tak begitu terang batas ”sesuatu” itu, tapi ia mengandung energi yang dahsyat yang menciptakan Bung Karno berani masuk sel penjara dan banyak perjaka tak gentar mengorbankan diri. ”Indonesia” telah jadi sebuah ”penanda kosong” ala Laclau. Tak ada yang dengan sendirinya bisa secara tuntas dan penuh mengisikan sebuah makna ke dalamnya. Yang terjadi hanya: masing masing orang atau pihak memaknainya, dengan bersaing atau bersengketa. Buku Elson yaitu riwayat pengisian ”penanda kosong” yang berbunyi ”Indonesia” itu. Bagi para peneliti antropologi pada kala ke 19, dari Prancis, Inggris, Jerman, dan Belanda, ”Indonesia” yaitu sebuah konsep mudah buat kerja. Tapi orang Belanda umumnya tak memahami ini. Salah seorang dari mereka di sidang Volksraad berpendapat, nama ”Indonesia” lebih cocok untuk merek cerutu. Sebaliknya bagi para perjaka yang tiba dari tanah jajahan ke Nederland. Di tanah absurd itu tumbuh rasa kebersamaan tersendiri, baik di kalangan yang tiba dari Aceh maupun Ambon, yang keturunan Cina atau Jawa. Dari kebersamaan itu, nama ”Indonesia” jadi sederet suara yang mempersatukan, dan dengan persatuan itu mereka menuntut kemerdekaan. Mula mula mereka tak menyetujui membentuk cabang Budi Utomo (karena terbatas ”orang Jawa”). Mereka membentuk ”Indische Vereniging” (IV). Kemudian jadilah ”Indonesisch Verbond van Studeerende” (IVS).

Para politikus kolonial yang konservatif menyerupai H. Colijn mencoba mengatakan bahwa persatuan Indonesia mustahil, alasannya yaitu perbedaan suku dan ras yang ada. ”Indonesia” bagi orang orang ini hanya ilusi. Tapi pandangan ini tak berjejak. Dalam sebuah pertemuan IV, perjaka dari Minahasa, G.S.S.J. Ratu Langie, menegaskan perlunya ”persaudaraan” pelbagai suku dan ras di ”Indonesia”. Buku Elson juga mencatat, dalam sebuah pertemuan IVS pada 1920, putra mahkota Kesultanan Yogyakarta menyebut diri sebagai ”seseorang yang dalam batas tertentu mewakili orang Jawa, dan dengan demikian juga penggalan dari Indonesia”. Lalu ia pun menutup pidatonya dengan seruan, ”Hidup Indonesia!”Dari sejarah itu tampak, saya kira, yang paling berhasil mengisi makna ”Indonesia” yaitu dua tokoh sebuah partai radikal, Indische Partij.Yang pertama Suwardi Suryaningrat, yang kelak jadi Ki Hajar Dewantara. Dalam majalah Hindia Poetra yang diterbitkan kembali pada 1919, penggagas itu menyatakan: ”… orang Indonesia yaitu siapa saja yang menganggap Indonesia tanah airnya, tak peduli apakah ia Indonesia murni ataukah ia punya darah Cina, Belanda, dan bangsa Eropa lain dalam jasadnya.”Yang kedua yaitu E. Douwes Dekker, yang lalu dikenal sebagai Setiabudi. Aktivis berdarah Eropa ini menulis surat terbuka ke Ratu Wilhelmina pada April 1913: ”Bukan, Paduka Yang Mulia. Ini bukan tanah air Paduka. Ini tanah air kami….”

Dan saat dua sobat seperjuangannya, Cipto Mangun­kusumo dan Suwardi, ditangkap dan dibuang oleh pemerintah kolonial, ia menulis, dengan rasa sedih, tapi dengan sikap teguh: ”Kami berdiri, bukan hanya… berdampingan satu sama lain, tapi juga di dalam satu sama lain.”Kata kata Suwardi dan Dekker terbukti jadi kenyataan 100 tahun kemudian, pada hari ini. Indonesia bukan sekadar multi kultural, tapi juga inter kultural: tiap orang jadi Indonesia alasannya yaitu memasukkan kebudayaan yang lain ke dalam dirinya. Sebab Indonesia bukanlah ke bhineka an yang bersekat sekat menyerupai dalam rezim apartheid. Indonesia yaitu sebuah proses yang eklektik, bercampur, berbaur dengan bebas.Dengan itu, Indonesia, si ”penanda kosong” ini, mengimbau siapa saja tak putus putusnya, menggerakkan ”kami” jadi ”kita”. Ia tak pernah sempit. Ia hidup dalam ruang dan waktu, tapi ia terasa tak berhingg @

Sumber https://culas.blogspot.com/

Artikel Terkait