Jalan Hidup...


Awan bergerak halus bersama embun pagi. Sinar matahari pagi menerobos membiaskan warna warni dibalik gumpalan awan. Embun bergerak lambat dan kesudahannya jatuh ketanah, menyuburkan bunga , memperlihatkan warna kepada semua. Mei tiba lebih dulu dibukit itu. Dia , menyerupai biasa dengan mata sipitnya tersenyum indah di gurat lesung pipinya. " Aku sudah tak sabar untuk disunting. Tahukan, kamu. " Mei nampak manja. Membuat saya tak pernah puas memandangnya. 

Aku gelengkan kepala “ Aku harus berhenti kuliah. Ini membosankan. Aku tidak butuh titel. Tidak Mei. Harapanmu hampa.” Itu kataku. 

Kulihat Mei melongo dalam keterkejutannya. Dia hendak murka tapi  ia terlalu sayang padaku. Dia hanya menahan kecewanya dengan menundukkan kepala.  Apakah Mei sehabis ini akan pergi meninggalkanku. Mungkinkah itu ? oh, Jangan Mei. Kalau kau benar benar mencintaiku , tolong juga maklumi pilihanku. Ya, kan. Mei tetap diam. Benarlah sehabis membisu nya beberapa saat, diapun pergi. Tinggal saya sendiri. Banyak hal yang ingin kujelaskan kepadamu , Mei tapi apakah kau sanggup mengerti. Tentu kau sanggup mengerti alasannya yaitu kau cukup cerdas dan memahami perasaanku terdalam. Benar katamu bahwa jadi sarjana dan kemudian jadi PNS yaitu pilihan yang aman. Dan lagi Pegawai negeri yaitu profesi mulia dan hanya segelintir orang saja yang sanggup mendapatkan kesempatan untuk menjadi seorang pejabat. Masalahnya saya tak ingin menjadi segelintir orang itu ? Aku ingin menjadi orang kebanyakan. Tentu banyak profesi yang sanggup dikatakan mulia. Bukan hanya PNS. Mei seakan membantah itu. Seperti dialogh ku sebelumnya dengannya.

“ Ya Hidup sebagai pengusaha juga tidak lebih buruk. Memang tidak sehebat PNS tapi setidaknya penghasilannya lebih besar dibandingkan PNS dengan sepuluh tahun pengalaman kerja. Kita sanggup bebas dan merdeka untuk tidak dibawah kendali orang. Apakah ada yang lebih baik hidup ini selain kemerdekaan itu sendiri. ? “

"Memulai bisnis bukan hal yang  mudah. Siapa kamu? Kamu terlahir dari keluarga miskin. Jangan terlalu bermimpi.Hadapi kenyataan” Itulah yang selalu diulang ulang oleh Mei. 

Mei selalu cerdik memojokanku. Walau Mei banyak membaca buku namun ia tetap sanggup berpikir dengan akalnya sendiri. Keliatannya ia tidak terpengaruh apapun dari banyak bacaannya. Dia mengagungkan Kapitalis dan juga sosialis. Kalau dalam prakteknya menyimpang maka yang salah yaitu manusianya sendiri. Samahalnya , apakah kita sanggup menyalahkan Tuhan yang menurunkan agama kalau kenyataannya insan beragama lebih jahat dibandingkan orang tak beragama, bahkan lebih jahat dibandingkaan binatang.

Tapi pikiranku sudah bulat. Berhenti kuliah. Mungkin Mei juga berhenti menjadi kekasihku. Sakit dan sangat menyakitkan kehilangan orang yang dicintai hanya alasannya yaitu perbedaan prinsip. Bukankah cinta itu alat ampuh untuk saling memaklumi dan meredam perbedaan, apalagi soal prinsip. Ya, keliatannya hubunganku dengan Mei tak lebih kekerabatan percintaan ala kapitalis. Selagi tidak menguntungkan sesuai pemikirannya maka kekerabatan tak perlu dilanjutkan.  Aku yakin Mei tidak akan merasa berdosa , apalagi kecewa kalau harus menjauh dariku.  Tapi bagaimana denganku ? 

Benarlah sehabis itu, akupun terlupakan oleh Mei. Dia pergi mencari laki-laki lain, laki-laki yang sanggup mengerti rencana dan harapannya.  Aku tak ingin lagi mencari perempuan lain. Aku ingin menjadikan bisnis ku sebagai istri pertamaku. Kalaupun ada perempuan yang bersedia menjadi istriku maka itu yaitu istri keduaku. Tak akan kunilai perempuan calon istriku menyerupai banker menilai kelayakan proyek yang harus ideal dan feasible. Tidak. Tapi saya tetap tak sanggup melupakan Mei. Melupakan mata sipitnya. Ya sudahlah. 

***
Awan diatas sana, dari waktu ke waktu selalu saja begitu. Dan setiap burung yang melintasi pagi yang sama. Kusaksikan segenap alam yang mengepungku di sesaki bayang-bayang lembayung. Aku duduk di cafe menatap keluar kehamparan kehijauan taman Sheraton Shanghai Pudong. Dari arah samping kulihat perempuan bermata sipit dalam kecantikan wajah senja tiba menghampiriku. 

”Kau…” desisku tertahan ketika menatap perempuan bermata sipit itu pertama kali sehabis 30 tahun tak bersua. Telunjukku tiba-tiba layu ketika sosoknya kian menyergam di antara tiupan angin dan kabut yang menderu. Mei , sekarang ada dihadapanku. Ya Mei ku. Tatapan mata kami begitu teduh. Begitu lembayung. Butir-butir air mata Mei menepi di antara kelopak. Berderai di pipinya yang ranum. Jatuh satu-satu diembuskan angin. Bagai tempias gerimis, butir air mata itu menyelam di genangan bola mataku yang terdedah sedari tadi. Mei memelukku dan merebahkan kepalanya didadaku. Hangat. Aku hanya membisu tanpa ada keberanian membalas pelukannya. Aroma rambutnya menciptakan kelaki lakian ku sedikit bangkit. Bukan itu, tapi itu aroma yang dulu pernah hadir dalam hidupku...dulu sekali. Kutatap kedua bola matanya bergantian. Sorot matanya masih nyalang. Berbunga-bunga. ”Kusaksikan di bola matamu, kita ada dalam pergumulan masa kemudian yang tak kunjung diam.” ucapku perlahan dan tertahan. Mei tersenyum. Mengangguk beberapa kali. Bola matanya mengisyaratkan sesuatu yang lebih dari sebuah sapaan mesra. Manja

Aku berkaca di bola matanya yang bening. Masih begitu bening. Aku menatap diriku dalam tiupan angin petang bagai alunan gazal yang lembut. Sayatan biola renta yang mendayu-dayu. Aku merasa sudah begitu tua. Tapi sapa lembut Mei bagai mengelupaskan kerutan-kerutan di keningku.

”Apa yang masih kau ingat?” bisiknya dengan irama rendah. Menyayat-nyayat.
Mataku kian terbuka lebar ketika menyaksikan banyak lukisan, kata-kata, rekaman, dan irama berloncatan dari bola matanya. Tiap helaan napasku bagai memutar kenangan di sebuah layar seluloid yang usang. Warnanya lembayung kecoklatan. Sudah terlalu lama rekaman-rekaman tersebut mengendap di bola mata itu.

Di shanghai, pudong pagi ini di animo semi, 30 tahun kemudian, kami bersua. Bak seekor burung yang bersayap lembayung pula terbawa angin yang mengantarkan dirinya padaku. Dan saya pun bagaikan sebuah ranting kayu mendedahkan diri daerah berhinggap bagi dirinya. Tentu saja, ia agak lelah alasannya yaitu bertahun-tahun terbang menembus gumpalan awan dan tabir masa silam yang tertinggal jauh.

”Kau nampak masih berlum terlalu tua…” sapanya.

”kau juga masih tetap cantik ?” Kataku. 

Ia menggeleng. 

”Aku tidak muda lagi.…” katanya dengan senyumnya yang dulu. Tak berubah.

”Semua kita menua, Mey” sambutku meyakinkan ia semua orang menua namun persahabatan tak akan lekang oleh waktu.

”Aku kangen, kamu. Kangen sekali..?” ucapnya mengangkat alis kiri yang kian memperlihatkan kemanjaan yang pernah kurasakan di masa-masa yang sudah terlewati.

”Kau masih suka melukis, Mey…” kataku menunduk.

”Sudah lama saya tinggalkan kegemaran itu. Lukisan hidupku sendiri tidak pernah sanggup menuntaskan lukisan terakhirku…” ucap Mey

“ Ada apa Mey? Apa yang terjadi dalam 30 tahun ini? tanyaku dalam hati. Tatapan matanya yang teduh menangkap tanda-tanya itu. Ia menjawab tanpa ragu-ragu. Segalanya begitu bening. Bagaikan titisan gerimis yang jauh di sebuah telaga jernih yang menguraikan riak-riak kecil menjadi not angka dan nyanyian.

”Kau masih menyukai lagu “ always on my mind ?” tanya Mei menatap helai-helai rambutku yang mulai di selingi uban abu-abu.

”Iya… masa kemudian dan masa kini, sama saja bagiku….”

Giliran ia terpekur.

”Aku masih ingat semuanya. Sebuah kehampaan yang menciptakan hatimu terluka. Aku tak banyak tahu apa maknanya waktu itu. Aku hanya seorang anak gadis yang gampang memalingkan diri dari siapa saja. Aku merasa bagai seekor burung berbulu keemasan yang boleh terbang sesukanya. Dan saya tak pernah hinggap di ranting mana pun. Aku hanya terbang dan terbang…” kata Mei dengan bunyi tertahan kerinduan dan air mata.

”Tentu kau sudah melupakan ku…”

”Iya..tepatnya 20 tahun semenjak berpisah dengan mu. Namun sehabis itu setiap bangun tidur pagi, wajahmu terus terbayang, hingga kini…”

”Aku baik baik saja, Mey?”

Mey mengangguk. 

Kemolekannya memukauku kembali. Kemolekan yang bertapis kematangan jiwanya. Ia memang sudah tidak muda lagi.

”Aku pernah jadi pramugari di usia mudaku,” tuturnya mengenang.

”Kau telah terbang begitu jauh. Melintasi awan, langit, gunung, kenangan, batu, hujan, lelaki… dan…”

”Jangan sebut itu…” tiba-tiba suaranya agak keras sambil meletakkan telunjuknya di bibirku. Aku terperanjat. Sentuhan lembut itu bagai menguliti diriku. 

Kami sama-sama terdiam. 

Ia bercerita perihal masa lalunya. Ia pernah menikah dengan seorang dokter pilihannya, tentu.. Punya sorang anak laki laki dan suaminya itu. 

”Aku sekarang sendiri…” tuturnya mulai berterus terang.

”Aku amat bersimpati…” sambutku lemah-lembut.

”Ada banya laki-laki tempatmu berlabuh. Selalu ada untuk mu Mey ?” ucapku dengan tersenyum

Mei  merunduk. Diam. 

”Aku tiba ke sini sekedar berlibur dan menghibur diri. Akhirnya takdir mempertemukan kita lagi disini." 

Kami kembali terdiam. Kemudian terdengar bunyi Mei dengan lembut " Ceritakan perihal kamu. Aku ingin tahu...boleh kan ”

" Aku memulai hidupku dengan sangat keras. Berkali kali saya membangun perjuangan berkali kali juga jatuh. Namun jatuh atau bangun ,tidak menciptakan saya berubah. Ya, saya tidak punya pilihan alasannya yaitu memang no way return. Aku harus terus melangkah. Aku menikmati proses hidup ku bagaikan ulat berusaha keluar dari kepompong untuk menjadi kupu kupu yang indah. Hambatan dan kegagalan tidak menciptakan saya kalah dan lelah tapi semakin menciptakan saya bijak. Bisnis tidak menciptakan saya bangga. Tidak. Namun dengan bisnis yang ada, setidaknya saya di perlukan oleh istri dan anakku, orang tuaku, keluarga besarku, serta sahabatku. Aku beharap lima tahun lagi saya pensiun,  Mey." 

”Sekarang…?” sela perempuan itu.

”Masih menyerupai itu. Selalu begitu. Aku bagaikan garis datar saja. Walau kehidupanku bergaul dengan banyak orang mahir tapi saya tetap menyerupai dulu.Tidak ada yang berubah.Tak pernah sanggup meninggi. Aku tak sanggup terbang menyerupai dirimu…”

”Setinggi-tinggi burung terbang… akan merendah juga suatu ketika. Seperti diriku kini…”

Aku duka alasannya yaitu melihat Mey ku nampak lelah dan menua..

”Kau senang kan?” tanya Mei kepada ku. 

Kutatap wajahnya. Ada goretan kelelahan dan tentu impian akan pertemuan ini. Apa yang harus kukatakan kepada dia? Kepada Mei ku .. Dan inilah jawabku perihal senang itu,

“ Kalau senang dalam persepsi kita dulu, tentu beda sekali. Di usia ku sekarang saya tak mau lagi berpikir memaknai senang itu apa. Aku hanya ingin mengisi sisa hidupku dalam realitas hidupku. Karena inilah sebaik baiknya untuk ku. Apapun pilihanku telah kucoba lakukan namun yang terjadi ternyata kehendak Allah juga yang berlaku. Kita hanyalah hamba Alllah yang diberi kiprah melewati rentang waktu menyerupai scenario Tuhan. Kamu bertemu dengan seorang dokter sesuai pilihanmu dan kesudahannya menjanda. Akupun melangkah sesuai pilihanku sebagai pengusaha, dan kesudahannya ingin cepat pensiun. Lelah "

Mei menunduk. 

“ Memang tidak seharusnya kita bertemu kalau harus berpisah namun juga tidak seharusnya di sesali yang telah terjadi. Mahal sekali pelajaran hidup kita. Sementara sang waktu terus bergerak kedepan. Rambut semakin memutih dan gigi semakin goyah. Langkahpun semakin lemah. Tak ada cara terbaik dalam hidup ini kecuali mendapatkan semua ini dengan nrimo alasannya yaitu Tuhan. Dan bersiap siap untuk pulang keharibaanNya. “ Kata Mei.

Aku tersenyum , ia mendapatkan pesan tersirat dari pertemuan kami. Tentu Allah yang mengatur ini semua sehabis rentang waktu 30 tahun terpisah. Untuk memperlihatkan balasan atas rahasia pilihan hidup kami dulu ketika remaja. Kita memang bebas menentukan yang kita suka namun Allah pun bebas menentukan. Nasip jelek yang terjadi, tak senang dan menderita, bukanlah alasannya yaitu pilihan kita tapi alasannya yaitu kita tidak pernah nrimo mendapatkan kenyataan itu.


Sumber https://bukuerizelibandaro.blogspot.com/

Artikel Terkait