Masalah sampah bukan hanya soal ruang tetapi juga problem iklim global, alasannya ialah daerah pembuangan sampah mengeluarkan gas rumah beling yang ampuh ketika sampah membusuk. Pembakaran limbah secara alami membuat polutan, terutama karbon dioksida. Satu metrik ton CO2 per metrik ton limbah. Lebih terdengar mengerikan ialah satu metrik ton limbah pada kesannya akan menghasilkan 60 meter kubik metana ketika terurai. Bahaya sekali sampah itu jikalau dalam jumlah besar. Makanya kota Modern dimanapun memikirkan bagaimana mengatasi sampah kota. Ada dua cara untuk mengatasi ini. Pertama pengomposan tanpa limbah dan mendaur ulang semua yang mungkin telah dibuang ke TPA. Kedua, aben sampah untuk mengubahnya menjadi listrik. Dengan teknologi maka kedua hal itu dilakukan bersamaan
Ada dua alternatif proses pengolahan sampah menjadi energi. Pertama, melalui proses biologis yang menghasilkan biogas. Kedua, melalui proses thermal yang menghasilkan panas dalam konsep WTE ( waste to energy). Gimana konsepnya ? Dalam konsep WTE, energi bukanlah ‘outcome‘ utama yang diharapkan, melainkan pereduksian volume sampah itu sendiri. Jadi, untuk mereduksi sampah, PLTSa akan memakai pemusnah sampah (incinerator) modern yang dilengkapi dengan peralatan kendali pembakaran dan sistem monitor emisi gas buang yang terus-menerus, yang nantinya akan menghasilkan energi listrik. Jadi, PLTSa ialah insinerator pemusnah sampah yang hasil pembakarannya dikonversi menjadi tenaga uap untuk menggerakkan generator pembangkit listrik.
Tadinya di China, kebanyakan limbah dibuang ke daerah pembuangan sampah. Tumpukan sampah begitu besar. Pernah di Shenznen TPA yang sudah menggunung itu runtuh dengan memakan korban tidak sedikit manusia. Ini sangat berbahaya bagi lingkungan dan manusia. Di Shenzen tahun 2016 sudah mulai dibangun sentra TPA menjadi PLTSa yang di kelola secara modern dilengkapi dengan Industri daur ulang. PLTSa ini akan menampung sampah 5000 ton perhari. Proyek PLTSa modern ibarat di Zhenzhen itu ada 300 unit yang sedang dibangun di seluruh China. Dan yang di shenzhen ialah yang terbesar didunia. Proses pembangunan itu berlangsung selama 4 tahun. Tahun 2020 semua proyek itu sudah rampung. Ini merupakan total solusi bagi China dalam mengatasi problem sampah.
Tetapi bukan hanya sebatas industri pengolahan sampah, juga mengakibatkan PLTSa ini sebagai object wisata pendidikan lingkungan. Walau TPS ialah daerah datangnya ratusan truk sampah setiap hari namun anda tidak akan melihat tumpukan sampah di permukaan tanah. Truk masuk ke ruang basement dan membuang sampah itu diatas konveyor yang pribadi membawa keruang proses penyortiran sampah organik dan bukan organik. Sampah yang bukan organik di daur ulang. Sampah organik dibakar untuk memanaskan ketel dan menggerakan turbin menghasilkan energi listrik untuk kota. Pusat pengolahan sampah itu dilengkapi dengan tenaga surya. Ada 44.000 meter persegi panel surya di atap. Bila tadinya sampah sebagai problem dan biaya namun sekarang di China Sampah sebagai sumber pendapatan Daerah.
Bagaimana dengan Indonesia ? Sejak Era SBY sudah ada visi untuk mengeloa sampah sebagaimana UU Pengelolaan Sampah No.18 tahun 2008 dan UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup No.32 tahun 2009. Namun tidak ada realisasi. Sesuai Perpres No.18/2016 di Era Jokowi sudah ditetapkan Provinsi DKI Jakarta, Kota Tangerang, Kota Bandung, Kota Semarang, Kota Surakarta, Kota Surabaya, dan Kota Makassar sebagai kota yang akan memakai waste to energy. Namun, Perpres ini telah digugat oleh 15 individu serta 6 LSM ke Mahkamah Agung dan pada tanggal 2 November 2016, Perpres ini telah dibatalkan alasannya ialah bertentangan dengan UU 32/2009 dan UU No 36/2009. Namun kemudian pemerintah memperbaiki hukum soal PLTsampah ini dengan pengetatan terhadap pengendalian dan filter emisi gas buang yang terus-menerus.
Khusus untuk DKI, kala Ahok sudah dibentuk design pembangunan waste to energy di Bekasi dan Sunter. Namun khusus yang di Bekasi Ahok tidak ingin menyerahkan pengelolaanya kepada perusahaan yang ditunjuk oleh Pemerintah Daerah Bekasi. Ahok ingin menunjuk pribadi Jakro atau BUMD DKI yang kelola. Tahun 2017, PT. Jakro dan Fortum Power and Heat Oy dengan bagan BOT telah melaksanakan groundbreaking PTLTsampah di Sunter. Tahun 2018 di Bantar Gebang, PT Jakro dan BPPT juga telah membuat pilot proyek Waste to Energy. Entah gimana kelanjutannya…?
Sumber https://bukuerizelibandaro.blogspot.com/