Keadilan Yang Tidak Adil ?

LHI telah ditetapkan sebagai terpidana lewat keputusan pengadilan Tipikor. LHI dikenakan sanksi 16 tahun penjara dan seluruh hartanya disita untuk negara. Walau selama persidangan tidak sanggup dibuktikan secara materi LHI melaksanakan perbuatan sesuai dakwaan jaksa. Karena memang tidak ada bukti ( Uang dan saksi kunci ) beliau melakukan. Tidak ada bukti beliau memakai kekuasaannya sebagai pimpinan PKS untuk menghipnotis menteri Pertanian yang kader PKS. Kesalahannya  LHI hanya satu yaitu beliau berteman baik dengan pelaku yang terbukti secara bahan melaksanakan suap yaitu Fathanah. Ya, KPK selalu menang di pengadilan. Tidak ada istilah SP3 untuk masalah yang ditangani KPK. Setiap orang yang dinyatakan tersangka maka beliau akan berakhir menjadi terpidana. Saya termasuk murka dan benci dengan siapapun yang berlaku korupsi sebab mereka bukan hanya mengkhianati negara tapi juga mengkhianati Tuhan. Mereka juga mengkhianati nilai nilai kemanusiaan yang harus mereka berdiri dihadapan keluarga dan masyarakat sebagai makhluk yang berjulukan manusia. Kalaulah keputusan sanksi untuk LHI ada demi keadilan maka saya harus berpuas diri kepada KPK. Artinya cita cita reformasi untuk lahirnya masyarakat madani , masyarakat plural yang cinta perdamaian, kebaikan, kebenaran dan keadilan akan terjelma. Tidak perlu dirisaukan jikalau hingga sekarang korupsi terus terjadi sebab hanya duduk kasus waktu, itu akan habis dengan sendirinya seiring semakin kerasnya KPK bersikap. Yang jadi pertanyaan ialah apakah KPK benar diadakan sesuai amanah reformasi untuk tegaknya keadilan bagi rakyat dari para pelaku korupsi? Mengapa saya bertanya menyerupai itu ? 

Teman saya seorang  andal telekomunikasi yang juga dosen ITB pernah diminta oleh pengadilan sebagai Saksi terdakwa kasus  Antasari. Teman ini  bukan orang yang doyan berpolitik dan tidak peduli soal intrik politik. Makara sanggup dipastikan beliau akan menjadi saksi andal yang bekerja sesuai dengan keahliannya tanpa sanggup didikte sebab alasan apapun. Kesaksiannya sangat memilih untuk menghubungkan Antasari dengan insiden maut Nasruddin, dimana satu satunya bukti ialah adanya SMS dari  Antasari yang mengancam Nasruddin. Tugas sahabat ini ialah menunjukan SMS itu benar berasal dari Antasari. Hasil penelitiannya bersama team, menunjukan bahwa SMS itu tidak pernah ada. Bukti SMS yang diajukan Jaksa ialah palsu. Seharusnya dengan bukti itu,  Antasari harus dibebaskan dari segala tuntutan. Apalagi berdasarkan sahabat saya yang pengacara bahwa selama proses persidangan tidak sanggup dibuktikan kekerabatan Antasari dengan maut Nasruddin. Itu semua hanya keterangan dari banyak sekali saksi yang dihadirkan jaksa dan dari itu dongeng dibangun untuk  memperlihatkan keyakinan kepada hakim bahwa tersangka dengan meyakinkan melaksanakan tindakan pidana dan patut dieksekusi seberat beratnya. Dakwaan jaksa ialah pembunuhan berencana dan dijerat dengan Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo Pasal 55 ayat (1) ke-2 kitab undang-undang hukum pidana pasal 340 dengan bahaya sanksi maksimal sanksi mati. Yang risikonya hakim menetapkan sanksi 18 tahun penjara.

Ustad Abu Bakar Baasyir (ABB) dijatuhi sanksi 15 tahun sebab dakwaan melaksanakan kejahatan terorisme. Selama persidangan tidak ada satupun bukti secara bahan yang  sanggup menjadikan  ABB sebagai terpidana. Semua bukti hanyalah berasal dari saksi yang kemudian dihubungkan hubungkan dengan ABB untuk memperlihatkan keyakinan kepada hakim bahwa ABB memang pelaku teroris. Benarkah begitu ? Teman aktifis yang selalu hadir dalam persidangan ABB menyampaikan bahwa dakwaan jaksa sangat lemah. Satu satunya yang mengaitkan ABB dengan teroris Aceh ialah adanya pembicaraan empat mata antara ABB dengan Dulmatin untuk melaksanakan training militer di Aceh. Padahal almarhum Dulmatin ditembak mati sebelum dimintai keterangannya. Bagaimana saksi yang sudah meninggal yang tidak pernah memperlihatkan keterangan BAP sanggup dijadikan bukti dipengadilan. Satu satunya kesalahan  ABB ialah beliau memang pernah berafiliasi dengan orang orang yang terlibat tindakan teroris dan makar namun itu dalam kapasitasnya sebagai Ustadz atau ulama yang mengharuskan beliau bertemu dengan banyak sekali orang. Kalaupun hingga orang terpengaruh dengan dakwahnya perihal keharusan menegakan syariat islam dalam kehidupan bernegara maka itu bukanlah kejahatan. Karena beliau memberikan keyakinannya berdasarkan agama yang diakui syah oleh republik ini. Tapi keyakinan ABB dijadikan dasar keyakinan Hakim untuk menyebabkan beliau terpidana teroris.

Ada cerita, ini kisah konkret tahun 80an. Seseorang diseret oleh warga penghuni komplek perumahan kekantor polisi sebab kepergok ada diatas genteng rumah orang dimalam hari. Walau tidak ada barang bukti ditangan bahwa beliau mencuri namun sudah cukup alasan bagi orang ramai beliau ialah pencuri. Setidaknya beliau patut diduga melaksanakan pencurian. Patut diduga saja sudah cukup membuat orang pesakitan. Begitulah hokum dinegeri ini. Dihadapan polisi, tersangka mengakui bahwa benar beliau ada diatas genteng rumah orang dimalam hari dan terpaksa mengakui patut diduga itu. Namun apa yang terjadi dipangadilan? Ditangan seorang pengacara yang idealis, tersangka ini bebas murni. Mengapa ? Ada satu pertanyaan dari terdakwa kepada hakim dan hakim tidak sanggup menjawabnya, apa bukti bahwa beliau mencuri? Karena ini dakwaan mencuri maka harus ada bukti barang curian. Tanpa bukti barang curian maka dakwaan itu batal demi hokum. Kesaksian tanpa bukti justru membatalkan kesaksian itu sendiri. Jaksa gagal menyediakan barang bukti dihadapan hakim sebab memang belum terjadi pencurian. Satu satunya bukti kesalahan tersangka hingga patut diduga mencuri ialah beliau berada diatas atap rumah orang dimalam hari. Tapi logika realita bukanlah logika aturan untuk menyebabkan seoran terpidana. Ada falsafah aturan yang hampir semua mahasiswa fakultas aturan diwajibkan untuk menghapal Azas Indubio Proreo  “Lebih baik membebaskan 1000 orang yang bersalah daripada menghukum satu orang yang tidak bersalah”. Artinya Lebih baik membebaskan orang yang diragukan bersalah daripada terlanjur menghukum orang tidak bersalah. Prinsip aturan ini sudah ada semenjak zaman Nabi.

Philosopi aturan menyerupai dongeng diatas tidak berlaku bagi LHI, Antasari dan ABB. Mereka dijadikan tersangka sebab “patut diduga” dan sehabis itu mereka menjadi terpidana sebab proses persidangan yang berhasil membuat opini sehingga memberikan “keyakinan“ hakim bahwa terdakwa bersalah. Baiklah, itu sistem aturan di republik ini dimana Hakim punya kebabasan untuk bersikap. Andaikan masalah LHI, Antasari, ABB dijadikan jurisprudence untuk masalah Bank Century, Hambalang maka dipastikan akan banyak elite politik dari penguasa yang masuk penjara. Karena walau tidak terbukti secara bahan namun secara “meyakinkan” sanggup dibuktikan dari sisi sosial kehidupan mereka yang berkuasa, yang pribadi menjadi Orang  Kaya Baru yang bergelimang dengan kemewahan. Tapi aturan Indonesia hanya berlaku untuk yang bukan penguasa, dan kepada penguasa,  hukum harus berjalan dengan azas Indubio Proreo. Seorang perwira militer absurd  yang bertemu dengan saya dalam program wine party menyampaikan bahwa Amerika dan Australia sangat kecewa dengan perilaku Megawati yang lemah terhadap Terorisme terbukti Abu Bakar Baasyir (ABB) dijatuhi vonis sanksi ringan. Namun AS sangat gembira dengan rezim SBY sebab sanggup membungkam ABB dengan sanksi berat dan sekaligus merusak gambaran gerakan islam fundamentalis di Indonesia. Mereka ( AS dan Australia ) puas terhadap hasil peradilan masalah LHI sebab LHI bukan hanya mengganggu ambisi AS dan Ausralia menguasai pasar daging di Indonesia tapi juga LHI ialah orang yang masuk dalam gerakan bawah tanah usaha islam international. Walau untuk itu harus menyebabkan Antasari sang ketua KPK sebagai terpidana sebab mencoba menguak konspirasi mereka menempatkan puppet sebagai pemimpin terpilih negeri ini...

Sumber https://culas.blogspot.com/

Artikel Terkait