Memburu Harta (13)

Malam itu, lamunanku kembali tertuju pada Fernandez. Seseorang yang kuharapkan bisa menjadi kunci pembuka misteri transaksiku. Aku mencoba mengingat segala sesuatu perihal laki-laki Meksiko itu. Siapa tahu, ada petunjuk yang tersirat dari persahabatan kami selama ini. Di kamar kerja yang terletak di sebelah kamar tidur, saya menebar semua dokumen di atas meja. Satu-persatu dokumen dari dalam tas kecil dari Susi, ku baca. Sudah hampir enam jam semenjak pukul tujuh, sehabis makan malam bersama istri, saya belum juga menemukan sesuatu yang berarti dari tumpukan dokumen itu.
“Bang,” terdengar bunyi istriku lembut. Aku terkejut, menyadari ia sudah ada di belakang, memegang bahuku mesra. 
“Abang kelihatannya sibuk sekali?”
“Eh, iya sayang.” Aku menyambut lembut sentuhan tangan istrinku di bahu.
“Istirahatlah, sudah pukul satu pagi.” Istriku menatap sambil tersenyum.
“Tidurlah duluan, nanti saya nyusul.”
“Oh iya, Bang. Nilai Lia bagus semua. IPK Rizki juga naik, kini sudah di atas 3.”
Aku tersenyum. “Itulah nikmat luar biasa pemberian Tuhan. Kita dikarunia belum dewasa yang cerdas dan berbudi pekerti yang baik. Itu semua berkat Mama yang hebat mendidik mereka.”
“Bukannya mereka memalsukan Papa sebagai teladan?” sergah istriku sambil memelukku dari belakang.
“Mamalah yang mencetak mereka ibarat apa yang Papa mau,” kataku sembari mencium kening istriku. “Nah, tidurlah sekarang. Sebentar lagi papa nyusul ya..”
“Iya deh Bang,” kata istriku kemudian berjalan keluar. Sebentar kemudian, ia masuk kembali dengan secangkir kopi susu untukku. Dia meninggalkan satu ciuman sebelum jadinya pergi ke kamar untuk tidur.
Tiba-tiba saya menemukan sebuah dokumen yang unik. Tidak ada satupun kalimat dalam dokumen itu yang saya mengerti. Bahkan saya tidak tahu bahasa apa yang dipakai.  Apa maksud Fernandez menyimpan dokumen ini dalam kawasan pribadinya? Dan apa sebetulnya yang dicari oleh Fernandez di Indonesia yang berujung pada kematiannya? Inilah misteri yang membuatku penasaran. 
Satu demi satu kalimat dalam dokumen itu kuketik di search engine. Berharap mendapatkan sedikit info perihal isi dokumen. Di era internet ibarat sekarang, tidak ada informasi yang tak sanggup di akses. Walau begitu banyak jumlah situs yang bertebaran di internet, namun berkat sistem pencari situs atau search engine memungkinkan setiap orang sanggup menemukan informasi yang dicarinya dengan mudah. Hanya dalam hitungan detik, dengan menulis singkat pokok kalimat yang hendak dicari, maka search engine akan menuntun orang tersebut ke situs yang hendak dituju. 
Setelah melewati banyak sekali situs, jadinya saya menemukan sebuah situs yang menarik perhatianku. Begitu di-clik, nampak di layar komputer sebuah arsip email dari seseorang berinisial “Catty_ohh”. Kelihatannya Catty_ohh sengaja menampilkan isi emailnya dalam situs terbuka supaya sanggup di-search orang lain. 
Isi emailnya sangat singkat, “ada tiga pilihan untuk Anda. Yaitu: pertama, mendapatkan situasi jelek dengan apa adanya dan berusaha larut dalam situasi tersebut. Kedua, mencari orang lain untuk bekerja sama melawan situasi dan yang ketiga yaitu masa bodoh.” Di kalimat terakhir ada kata-kata yang persis sama, ibarat yang tertulis dalam dokumen. Namun hanya sepotong kalimat yang dibiarkan terlacak search engine.
Segera saya membuka webmail dan mengirim email ke seseorang berinisial Catty_ohh itu. Aku hanya mengirim pesan singkat dan menyebutkan sepenggal kalimat yang ada di dalam dokumen. Berharap pesan ini akan menarik perhatian Catty_ooh. Sambil berdoa supaya keesokan harinya saya akan menerima response sekaligus titik temu bagi misteri ini. Aku pun membaringkan badan di samping istriku sambil memeluk tubuhnya  yang sedang terlelap.
***
Paginya, saya terjaga agak siang dan terlambat sholat subuh. Dengan langkah berat saya menghampiri ruang kerjaku untuk membuka webmail. Ada pesan masuk, satu jam sehabis saya kirim email. Dan pengirimnya yaitu Catty. 
Apakah kita bisa bertemu? Saya ada di Taipe, sekarang. Kalau Anda bisa tiba ke Hong Kong hari ini, maka saya juga akan terbang ke Hong Kong. Salam, Catty. 
Di bawah namanya juga tertera nomor telepon internasional. Tanpa pikir panjang, saya pribadi membalas email tersebut. 
Saya pastikan hari ini berangkat ke Hong Kong. Sampai ketemu.
Aku menutup webmail. Lalu segera mandi, berkemas-kemas berangkat ke airport. Istriku sudah pergi sedari pagi kepasr. Dalam perjalanan ke airport saya mengirim pesan singkat kepada istriku, bahwa saya pamit pergi ke Hong Kong. Istriku menjawab singkat, hati-hati ya sayang..
Aku tersenyum. Itulah yang kusukai dari istriku. Selalu menaruh kepercayaan penuh, dan memberi santunan tanpa pernah mempertanyakan alasan untuk setiap tindakan. Dalam hati saya bergumam, I do love you!
***
Entah sudah berapa kali saya menjejakan kaki di Hong Kong. Lebih dari 3 tahun sehabis krisis moneter saya banting setir dari pangusaha pabrikan menjadi konsultan keuangan. Bisnis ini membuatku selalu bersinggungan dengan institusi keuangan yang ada di Hong Kong. Hong Kong yaitu financial resource  utama bagi negara-negara Asia. Hampir semua pembisnis tahu bahwa Hong Kong yaitu magnet, financial center untuk mendapatkan solusi pembiayaan. 
Tapi kedatanganku kali ini, tidak untuk bertemu dengan forum keuangan. Aku tidak akan menghubungi Ester. Karena benarlah Tomasi, bahwa transaksi ini beresiko bagi Ester yang memiliki posisi formal sebagai pejabat bank. Aku tiba untuk sesuatu yang belum jelas. Untuk mencari informasi dari seseorang yang hanya kukenal lewat email. Sebagai pembisnis, saya sadar sekecil apapun peluang, harus dikejar. Ini yaitu perilaku standar bagi semua pengusaha untuk keluar dari ruang sempit dan gelap yang dihadapi. Begitu pula Aku. Berharap mendapatkan setitik cahaya yang akan membantuku menemukan jalan keluar.
Dalam sebuah kafe yang terletak di Hotel Marriot Hong Kong, saya duduk menghadap ke arah loby utama hotel. Aku memperhatikan setiap perempuan yang masuk. Wanita yang kutunggu yaitu Catty, yang melalui telepon menyebutkan ciri-cirinya. Dia mengenakan blazer  biru dengan kerah berenda putih dan menenteng tas warna hitam. Di tengah penantian, saya dikejutkan oleh getaran dari telepon seluler.
“Hai. Saya Catty. Anda di mana?” terdengar bunyi lembut dari seberang.
“Saya ada di kafe. Di samping lounge executive,” jawabku.
“Ok. Saya ada di arah jam tiga pada posisi Anda.”
Aku menoleh ke samping. Nampak perempuan anggun berdiri tidak begitu jauh dariku dengan pakaian persis ibarat yang disebutkan di telepon. 
“Saya pikir Anda akan masuk dari lobi utama,” kataku ketika menghampiri Catty. “Kenalkan, nama saya Jaka.”
Wanita itu mendapatkan uluran tanganku sambil tersenyum. “Saya Catty Liem,” sahutnya memperkenalkan dirinya. “Saya masuk dari Mall, di samping hotel ini.”
Aku memperhatikan sekilas, Catty Liem berusia tidak lebih dari tiga puluh tahun. Tapi justru terlihat anggun dan dewasa. Bisa berbahasa Inggris dengan sangat baik. Wanita ini nampak terdidik dan mungkin terlahir dari keluarga kalangan atas, bisik hatiku menyimpulkan.
“Bisakah kita duduk sekarang?” tanya Catty membuyarkan lamunan.
“Oh, iya, tentu. Mari silahkan.” Aku menarik kursi, mempersilahkan Catty duduk.
“Anda anggun sekali,” pujiku  tiba-tiba, tanpa kusadari.
“Terima kasih untuk pujiannya. Anda juga luar biasa. Saya taksir, usia Anda tidak lebih dari empat puluhan,” sambung Catty balas memuji.
“Maaf. Tapi usia saya sudah di atas empat puluh,tepatnya 41” jawabku sambil tersenyum.
“Oh ya?” Nampak otot-otot wajah Catty tertarik, seakan tidak yakin dengan jawabanku.
“Seharusnya Anda menulis buku perihal hidup sehat dan tips abadi muda. Saya yakin akan menjadi best seller,” Catty tertawa ringan memperlihatkan sederet gigi putih yang sehat terawat.
Aku tertawa kecil menanggapi celotehnya, “Anda bisa saja. Anak saya yang tertua, kini kuliah di universitas dan yang bungsu sudah berusia empat belas tahun.”
“Wow! Luar biasa. Anda sangat beruntung sebagai ayah. Tentu putra-putri Anda juga sangat gembira pada ayahnya.”
“Ah, biasa saja,” kataku singkat. “Bagaimana dengan Anda?”
“Usia saya tigapuluh lima tahun. Saya bekerja di perusahaan investasi di Lugano.”
“Oh ya? Tadinya saya yakin usia Anda tidak lebih dari tigapuluh tahun.”
“Anda selalu pandai memuji,” kata Catty dengan tersenyum.
Wanita yang ada di hadapanku sangat ramah. Suasana menjadi sangat santai dan akrab. Seakan kami sudah saling kenal selama bertahun-tahun.
“Baiklah. Apa yang mengharuskan kita bertemu? Mungkin ada sesuatu. Tapi apapun itu, saya sudah sangat beruntung sanggup berkenalan dengan Anda,” kataku dengan hati-hati supaya tidak merusak suasana.
“Ok. Saya memang sengaja menempatkan pesan dengan kalimat itu di internet supaya terindeks search engine. Berharap suatu dikala nanti ada seseorang mencari tahu perihal kalimat itu. Hampir dua tahun semenjak saya menuliskannya, gres kini saya mendapatkan respon. Dan itu tiba dari Anda.”
“Apakah saya boleh tahu, apa makna kalimat itu?”
“Sebelumnya, saya harus memastikan, bahwa Anda benar-benar memegang dokumen yang memuat lengkap kalimat tersebut.” Suara Catty terdengar pelan. Sepertinya tak ingin ada orang lain yang ikut mendengar.
“Apakah ini yang Anda maksud?” Aku mengatakan copy document yang ada di tanganku.
“Apa Anda punya aslinya?”
“Tentu. Ada di kamar saya. Bukan hanya ini, tapi ada beberapa dokumen lagi,” jawabku sambil memperhatikan Catty yang sibuk membaca copy document tersebut. 
Tiba-tiba Catty menatapku dengan seksama. Air mata mengambang di pelupuk matanya. “Hanya ada satu kata yang sanggup saya sampaikan kepada Anda.”
“Apa itu?”
“Takdir!”
“Takdir?” kataku dengan mimik bingung.
“Tuhan mungkin mengirim Anda ke dunia ini untuk mendapatkan takdir sebagai warrior pelawan ketidak-adilan di muka bumi.”
“Saya tidak mengerti?”
“Sebaiknya kita bicara di kamar Anda,” bisik Catty yang membuat saya terkejut. Seriuskah perempuan ini? Bukankah perempuan ini gres mengenalku?
“Apakah Anda tidak keberatan saya ke kamar Anda?” sambung Catty lagi, membuat Aku tidak bisa berkata. “Tidak!” saya segera berdiri dan membimbing Catty menuju lift.
Di dalam kamar hotel.
“Dari mana Anda mendapatkan dokumen ini?” tanya Catty seolah tak percaya, ketika saya memperlihatkan dokumen aslinya.
“Fernandez.”
“Ramon Fernandez,” tebak Catty menyebut nama lengkapnya.
“Bagaimana Anda bisa tahu nama lengkapnya?” ganti saya yang terkejut.
“Saya mengenal Fernandez, delapan tahun lalu. Kami berkenalan lantaran kesamaan visi dan misi. Kedatangnya ke Indonesia yaitu untuk memburu dokumen Decade Asset. Data dari perpustakaan menuntunnya untuk tiba ke Indonesia.” Catty terdiam. Kemudian berdiri dari kawasan duduknya, air matanya berlinang. 
“Saya kehilangan kontak dengannya lebih dari empat tahun. Itulah sebabnya saya membuat pesan singkat di internet, berharap ada seseorang yang sanggup memberi saya jawaban. Karena hanya Ramon dan saya yang tahu perihal potongan kalimat itu. Dengan adanya dokumen ini di tangan Anda, maka selesailah kiprah Ramon. Dapatkah saya bertemu dengan dia? Di mana ia kini dan siapa Anda sebetulnya?” Catty membalikkan badan dan menatapku. Bekas air mata masih terlihat di pelupuk matanya.
“Sayang sekali...”
“Maksud Anda?”
“Anda tidak akan pernah bertemu lagi dengan dia.”
“Mengapa?”
“Dia sudah meninggal empat tahun lalu. Seseorang telah membunuhnya.” Aku berhenti  meneruskan kalimatku, dikala melihat perempuan itu mulai limbung dan terduduk di kawasan tidur.
“Oh Tuhan!” Catty menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan. Kemudian menengadah ke atas, ibarat menerawang sesuatu yang tak pernah akan ia mengerti. “Mengapa begitu banyak korban. Sampai kapan ini akan berakhir?” tubuhnya berguncang dan tangisnya pecah.
Aku tidak mengerti apa yang sedang terjadi. Mengapa Catty bicara soal korban? Siapakah Catty bekerjsama dan ada apa di balik pembunuhan Fernandez? Bertemu dengannya justru membuat misteri ini semakin membingungkan.
Tak ingin semakin larut dalam kebingungan, saya pun memulai cerita. “Oh, ya. Saya menemukan semua dokumen ini dari seorang teman perempuan Ramon. Wanita itu sempat mengambil barang milik pribadi Ramon sebelum melarikan diri sehabis kejadian kematiannya.” Catty mendengar dengan seksama meski matanya tetap berkaca-kaca. Aku melihat dirinya begitu terpukul dengan kematian Ramon. 
“Saya bukanlah siapa-siapa. Saya juga tidak tahu apakah dokumen ini berharga. Yang niscaya awalnya saya hanya ingin bertemu dengan Fernandez untuk mencari tahu alamat seseorang yang dulu pernah ia kenalkan kepada saya,” lanjutku.
“Siapa yang Anda maksud?” tanya Catty.
“Tomasi.”
“Tomasi Gonzales?” Lagi-lagi Catty menyebut nama lengkap lelaki yang saya cari. Dan kukira, Catty juga mengenal Tomasi. “Anda mengenalnya?” Tanyaku antusias.
“Tentu,” jawab Catty tegas.
“Di mana ia sekarang?” saya bertanya lagi, tak sabar ingin segera bertemu dengan Tomasi.
“Tewas! Dia dibunuh di kamar hotelnya di Moskow. Setahun yang lalu.” Air mata Catty kembali mengambang di pelupuk mata. Mendengar informasi sedetail itu, saya merasa ada kekerabatan Istimewa antar keduanya. Aku pun meneruskan pertanyaan, “sejauh mana Anda mengenal Tomasi?”
“Dia suami saya,” jawab Catty sambil memalingkan wajah.
“Oh, maafkan saya,” kataku refleks, sambil mengatakan tisu kepada Catty yang tak kuasa lagi menahan air matanya.
Suasana menjadi hening. Aku membiarkan Catty, hanyut bersama perasaannya. Aku merasa berdosa telah membuat perempuan ini mengingat sesuatu yang sangat menyedihkan. Selang beberapa saat, Catty kembali melihat dokumen yang tergeletak di atas meja. Dia membaca lembar demi lembar dokumen tersebut.
“Dengan semua dokumen ini, saya rasa kematian Ramon tidak akan sia-sia,” sebut Catty tenang. Sepertinya ia sudah kembali tegar. Matanya yang masih merah, menatapku kembali. “Apa yang Tomasi lakukan pada Anda?”
“Tomasi memperkenalkan saya dengan seseorang berjulukan Chang. Orang itu kemudian mengatakan mandat kepada saya untuk mengelola asetnya yang ditempatkan di suatu Bank di Eropa. Tapi sehabis saya kelola melalui transaksi 144 A SEC dengan hasil yang sangat luar bisa, ternyata aset yang ditempatkan sebagai jaminan trading tadi dinyatakan tidak syah oleh The Fed. Akibatnya rekening hasil trading saya, di-block berdasarkan sistem yang mereka buat. Anehnya tidak ada bukti ataupun keterangan yang menyatakan bahwa saya telah melaksanakan penipuan lantaran aset tidak syah. 
Ketika somasi aturan saya ajukan, hingga hari ini tidak ada jawaban apapun dari pihak pengadilan. Alasannya tidak satupun forum keuangan di mana transakasi itu dilakukan, bersedia menjadi saksi atau mengakui keberadaan transaksi itu. Inilah yang membuat saya bingung. Apalagi belakangan ada dua pihak yang bersedia memberi kompensasi, bila saya mau menuruti cita-cita mereka. Di satu pihak menginginkan saya maju, di lain pihak minta saya mundur. Ini, kan aneh? Saya tidak berharap banyak dari semua kecacatan ini, kecuali hanya ingin tahu kebenarannya. Itu saja.”
“Apa yang dilakukan oleh Tomasi yaitu hal biasa dari taktik untuk mengacaukan sistem yang memang harus kami hancurkan,” kata Catty memulai dongeng dengan mimik serius. 
“Tidak terbilang jumlah orang ibarat Anda yang ditempatkannya dalam permainan ini. Namun memang tidak satupun dari mereka yang berani membawa duduk kasus ini ke pengadilan. Kecuali Anda. Apalagi, di tangan Anda kini ada dokumen yang bisa membuat seluruh sistem peradilan dan keuangan global terguncang.”
“Oh! Bagaimana mungkin?” tanyaku takjub.
“Tahukah Anda,” kata Catty sambil memegang lembar dokumen. “Dokumen ini mengambarkan suatu fakta bahwa ada kelompok tertentu yang menjadikan bangsa Amerika dan Eropa Barat sebagai penipu besar secara sistematis, dan perampok harta negara-negara dunia ketiga yang tercatat dalam decade asset di bawah aturan trustee. Ketika Perang Dunia Kedua usai, Amerika membawa seluruh harta rampasan perang dalam bentuk emas, platina, dan permata yang ada di Cina, Jepang, dan Eropa.
Setelah itu mereka mengumumkan, bahwa mata uang mereka, Dollar dijamin dengan emas. Tidak ada perlawanan atau bantahan dari negara lain, lantaran pemenang perang berhak mendapatkan semuanya, termasuk hukum. Maka supply Dollar dalam bentuk pinjaman lunak mengalir deras ke negara-negara yang hancur lantaran perang. Seperti Jepang, Eropa, dan Taiwan untuk rekonstruksi, pemulihan pasca perang.
Kemudian ketika Nixon menjadi presiden, Amerika melepaskan mata uangnya dari emas. Persoalannya, ketika itu seluruh dunia sudah sangat bergantung dengan kekuatan mata uang Dollar. Yang menjadi pertanyaan kini adalah, apakah uang yang terlanjur beredar itu sama dengan jumlah emas yang pernah dijadikan jaminan? Dokumen ini akan menjadi bukti dan bantahan keculasan mereka!!” dongeng Catty berapi-api. Ia tampak begitu geram. Sepertinya ada sesuatu yang sangat mengusik emosinya.
“Seharusnya verifikasi sistem terhadap aset itu sudah cukup jadi bukti keabsahannya. Tidak ada lagi alasan bagi the Fed untuk menolak hasil forfeiting trading kegiatan saya.” 
“Itu saya tidak tahu. Yang jelas, Tomasi telah menggiring Anda ke dalam trading surat berharga di luar koridor Bank International for Settlement.  Dia memiliki saluran kedalam pedagangan surat berharga melalui Federal Reserve System,  dengan instruksi privatnya, untuk bisa memakai decade asset.”
“Lantas, mengapa tidak ada satupun pihak perbankan yang terlibat, meminta supaya saya mengatakan instruksi rahasianya? Mereka hanya bilang bahwa dokumen asset itu tidak syah.”
“Memang benar! Itu pecahan dari cara mereka menjaga kerahasiaan transaksi. Juga salah satu cara untuk menguji sejauh mana kebenaran posisi Anda sebagai pihak yang mewakili pemilik aset. Melalui sistem data base, Anda sanggup membuka posisi dari keadaan terkunci menjadi unlock hanya dengan memasukkan instruksi diam-diam dari dokumen tersebut di screen.”
“Oh!”
“Dan untuk Anda ketahui, bahwa instruksi aset yang Anda pegang kini yaitu yang terbesar dari seluruh dokumen aset yang ada. Ia mewakili 90% dari total aset, yang kini dipegang segelintir orang. Dokumen yang kini ada di depan kita yaitu instruksi atas aset tersebut!”
“Di mana letak kodenya?” tanyaku sambil memperhatikan setiap lembaran dokumen yang ada.
“Saya tidak tahu. Tapi dengan dokumen ini kita bisa menemukan instruksi rahasianya.”
“Hm.. Lantas, bagaimana sistem sanggup mengakui validitas instruksi itu? Tentu ada seseorang yang sudah mengatur instruksi tersebut dalam sistem, sehingga bisa digunakan pihak lain supaya sanggup mengaksesnya.”
“Benar. Tapi seseorang itu sudah tidak ada. Dia meninggal dalam kejadian pembunuhan bersejarah. Rahasia itu terkubur bersama jasadnya. Sementara Amerika, tidak bisa mendesain ulang sistem tersebut lantaran sudah terlanjur menjadi sistem yang diakui, semenjak emas dijadikan jaminan mata uang Dollar. Mendesain ulang sistem, akan menghancurkan sistem itu sendiri yang akan mengakibatkan runtuhnya kepercayaan terhadap mata uang itu.”
“Apakah mereka tidak bisa membuat alat untuk melacak dan menemukan instruksi aksesnya?”
“Sampai hari ini mereka gagal. Walaupun mereka telah membuat alat canggih pencari instruksi dengan jutaan prosesor yang bisa bekerja secara paralel. Tapi belum memperlihatkan hasil.”
“Benar-benar instruksi yang rumit,” saya menggelengkan kepala.
“Ya! Seakan kecanggihan alat modern masa 21 ini tidak berarti sama sekali.”
“Kalau tidak salah, dokumen yang ada di tangan kita ini, pernah juga dimiliki seseorang. Ia juga menempatkan kodenya kedalam sistem. Benarkah itu?”
“Benar sekali! Tapi yang kini ada di tangan kita ini asli. Sementara orang itu hanya mendapatkan salinannya.”
“Siapa yang menyalin?”
“Dia yaitu pendiri negara Anda. Pejuang kemanusiaan kelas dunia dan terbesar dalam sejarah peradaban modern, demi melawan ketidak-adilan.”
“Itu juga sebabnya mengapa Ramon tiba ke Indonesia?” kataku mencoba mengambil kesimpulan.
“Nah, kini Anda sudah mulai memahaminya,” puji Catty tersenyum indah. “Transaksi Anda dan dokumen sandi yang ada di tangan kita ini, akan merubah tatanan dunia menjadi lebih adil. Kita harus berjuang untuk kemanusiaan, menegakkan keadilan di muka bumi. Apa pun hasilnya nanti, kepada Tuhan kita berserah diri.” 
“Mulia sekali tujuannya,” saya mulai terpengaruh semangat Catty yang menggebu-gebu. “Tapi, bolehkah saya tahu dari mana Anda tahu semua ini?”
Catty berdiri dan menghadap ke jendela.  Mimik wajahnya tiba-tiba berubah. Sepertinya, ada emosi yang bergemuruh di hati yang susah payah ia tahan. Ditatapnya mataku kemudian berkata, “keluarga dari ayah saya yaitu salah satu pendiri bank terkemuka di Eropa, kawasan di mana aset ini disimpan. Ibu saya berkebangsaan Taiwan dan tetap tinggal di sana hingga sekarang. Kakek dari ibu saya ini sangat dekat dengan saya di bandingkan cucunya yang lain. Dia berpesan, supaya saya berjuang menebus kesalahan keluarga dengan mengungkap kebenaran aset-aset ini semua. Keluarga kami dahulu tidak berhasil. Karena, di samping aset itu sudah tidak ada lagi tanggapan perang, juga dokumen orisinil aset itu hilang ketika terjadi perang dunia kedua.
Makanya kakek mengharapkan, supaya saya mencari dokumen aset itu hingga kapanpun. Kaprikornus ini soal kehormatan keluarga untuk menjaga amanah mereka yang pernah menitipkan hartanya kepada keluarga kami. Saya bersyukur mendapatkan Tomasi sebagai suami yang setia mendukung obsesi saya ini. Tapi sayang ia pun harus menebus ini dengan nyawanya.” Kata-kata Catty terhenti. 
“Saya harap Anda mengerti apa yang saya rasakan. Atau bahkan meneruskan ambisi pendiri negara Anda untuk menggerakkan revolusi melawan ketidak-adilan. Hidup memang duduk kasus pilihan. Setiap pilihan, ada resikonya dan pilihan ini memang tidak akan mudah,” sambungnya.
“Sekarang saya mengerti maksud Anda perihal takdir. Anda benar. Ini yaitu takdir yang harus saya jemput. Hidup sekali harus berarti atau mati,” kataku menimpali dengan semangat. 
Catty menyambutku dengan senyum, kemudian menjulurkan kelingking tangannya kepadaku, “janji ya?” serunya sambil menjepit jari kelingkingku. Ini cara khas orang Taiwan dikala ingin mengikat janji.
“Ok. Katakan dari mana kita harus memulai?” tanyaku serius. Penuh semangat.
“Pertama, kita harus memecahkan makna di balik dokumen ini untuk mendapatkan instruksi tersebut. Tapi ini memang tidak akan mudah.”
“Bagaimana bila saya diskusikan dengan pemilik aset yang tertera dalam dokumen yang kini terkunci?”
“Tepat sekali. Tapi sebaiknya Anda cukup membawa salinan dokumennya saja,” kata Catty sambil menunjuk salah satu dokumen di atas meja.
“Mengapa?”
“Demi keselamatan Anda. Ketahuilah, semua dokumen yang kini ada di tangan Anda ini sangat bernilai. Tanpa ini, tidak ada artinya dokumen aset itu. Jangan lupa, Ramon membayar dengan nyawanya untuk mendapatkan dokumen sandinya.”
“Ya, saya mengerti.”
“Ok. By the way, kelihatannya saya harus segera kembali ke hotel,” Catty melirik jam di tangannya. “Senang bertemu dengan Anda.”
“Apakah saya boleh mengantar Anda hingga ke hotel?”
“Terima kasih. Tidak usah. Anda harus istirahat. Selamat malam.”
Di depan pintu kamar, Catty membalikan badan dan berkata, “Jaka, saya tidak ingin nasib Ramon dan Tomasi terjadi padamu. Hati-hati dan jaga kerahasiaan ini rapat-rapat. Jangan diskusikan duduk kasus ini kapada orang lain, bila Anda tidak yakin ia yaitu orang yang tepat.” 
“Saya mengerti.” 
Kemudian Catty berlalu dari hadapanku. 
Jam telah menujukan pukul dua dini hari, saya belum juga sanggup memejamkan mata. Pikiranku masih terngiang kata-kata Catty. Dalam lamunan, ketika saya menunduk untuk membuang isi asbak rokok ke kawasan sampah, tanpa disadari sikutku menyenggol gelas yang berisi teh dan tumpah membasahi meja. Sebagian dokumen yang ada di atas meja terkena air. Bertambah lagi keterkejutanku, dikala saya melihat perubahan warna pada kertas yang terkena air. Lambat namun pasti, kertas yang terkena air membentuk goresan pena dalam bahasa Arab dan Cina. Sangat aneh. Sementara goresan pena yang tadinya tertera sebelum kena air, kini menghilang. Aku sanggup membaca goresan pena itu lantaran saya memang pernah mencar ilmu goresan pena Arab. Beberapa lembar Artikel Babo bertuliskan karakter Sansekerta. 
Dengan seksama kubaca baris demi baris kalimat dalam dokumen tersebut. Aku terkesima. Ternyata dokumen ini mengatakan data atas keberadaan aset dalam bentuk jumlah, nama pemilik, tahun penempatan dan nama kawasan penempatan aset. Luar biasa. Tapi di mana instruksi asetnya?
Akhirnya semua lembar dokumen itu kulumuri dengan air. Kini semua sanggup terbaca dengan jelas. Salah satu dokumen tersebut menceritakan proses penempatan aset tersebut. Di pecahan simpulan dan di bawah dokumen itu tertera nama Ahmed Khalik, Istanbul. Ada goresan pena yang memancing tanda tanya, Di dalam ada terang dan di luar ada kegelapan. Berjalanlah ke arah timur dan jangan melihat ke belakang. Karena di timurlah kawasan matahari terbit. 
Kalimat ini tampaknya tidak ada hubungannya dengan dokumen. Tapi mustahil ada kalimat sia-sia dalam dokumen sepenting ini. Aku yakin, niscaya ada maksud lain di balik kalimat tersebut. Ingin rasanya menelpon Catty untuk menceritakan duduk kasus ini, tapi kuurungkan. Khawatir akan membangunkannya dari lelap. Beberapa menit kemudian, telepon selularku tiba-tiba berdering.
“Hai, Jak.”
“Ya, Catty. Kebetulan sekali, sebetulnya saya ingin menelpon tapi khawatir mengganggu.”
“Aku tidak bisa tidur,”  Catty melongo sesaat, tampaknya bangun dari kawasan tidurnya. “Iya, ada apa, Jak?”
“Sesuatu telah terjadi dengan luar biasa, dikala dokumen itu terkena air, muncul goresan pena baru. Kini saya bisa membaca dokumen itu.”
“Oh ya? Besok pagi saya ke kamar Anda.”
“Saya tunggu.”
“Ok. Bye.”


Sumber https://bukuerizelibandaro.blogspot.com/

Artikel Terkait