Pertemuan dengan Catty meninggalkan kesan tersendiri bagiku. Di mataku, Catty yaitu seorang perempuan yang tegar. Meski orang-orang terdekatnya harus meninggal akhir perburuan aset ini, tapi ia tak gentar untuk terus melangkah dan pantang putus asa. Hanya dengan mengandalkan search engine ia pun berharap menerima informasi yang bisa membantunya menemukan kebenaran. Sembari berharap biar menemukan orang yang tepat, yang punya kesamaan visi dengannya. Memang dalam hidup ini jika tak bisa menuntaskan masalah sendiri, maka harus mencari orang lain untuk gotong royong menyelesaikan. Manusia satu sama dengan nol. Dan dua sama dengan satu. Catty tak pernah ragu dengan tekadnya. Maka ketika menerima respon dariku, ia rela terbang melintasi negara biar bisa bertemu denganku. Dari sini, nampak terang bahwa ia sangat serius. Ceritanya ihwal dosa para leluhurnya terhadap aset ini tentu bukanlah kata-kata manis belaka. Tapi ia juga buktikan dengan sikapnya.
Tapi, saya masih belum bisa menangkap dengan terang masalah yang dihadapi. Apa sebetulnya yang membuat Catty selalu gagal memanfaatkan aset ini. Benarkah ada kekuatan lain yang lebih hebat menghadang niatnya. Lantas mengapa Tomasi hingga berani mengambil resiko dengan nyawanya? Begitu juga dengan Fernandez yang bertahun-tahun ada di Indonesia. Mengapa pula Tomasi begitu gampangnya memberiku kepercayaan dengan mengirim cash collaeral dalam bentuk SBLC dan kemudian memperkenalkan diriku dengan Chang sebagai pemilik asset? Lalu soal Chang, mengapa gres kini Chang kisah soal keberadaan tim yang akan membantunya menuntaskan masalah aset ini? Mengapa Chang tidak pernah kisah sebelumnya. Kalaulah saya tahu dari awal, bahwa aset ini bermasalah tentu Aku tidak akan mengambil resiko yang begitu besar. Apalagi ongkos ini semua tidaklah murah.
Sedari tadi saya masih termangu memandang ke luar jendela. Banyak hal yang kupikirkan. Untuk sementara saya tidak akan membuka informasi ihwal pertemuanku dengan Catty kepada Chang. Aku juga tidak akan menceritakan soal dokumen Fernandez yang ada di tanganku. Aku hanya ingin melihat perkembangan situasi.
Entah mengapa saya memikirkan Ester. Aku merindukannya. Sedang apakah ia kini? Hanya sejengkal dari hotelku yaitu kantor kawasan ia berkarir. Cukup dengan sentuhan jariku di layar telephone selular, saya sanggup mengirim pesan singkat dan dalam 15 menit ia sudah ada dalam dekapanku. Tapi segera saya urungkan. Sejak pertemuan dengan Tomasi di Singapore, saya mengganti nomor handphone biar Ester tidak punya jalan masuk terhadapku. Dan lamunanku terbuyarkan oleh getaran telepon selular. Aku segera mendapatkan telpon itu.
“Selamat Pagi, Jaka,” terdengar bunyi Chang di seberang.
“Pagi.”
“Di mana posisi Anda sekarang?”
“Marriot Hotel, Hong Kong.”
“Ok. Dalam satu jam, team saya akan bertemu dengan Anda. Kami segera ke sana sekarang.”
“Ok. Bye.”
Aku teringat janji untuk bertemu pagi ini dengan Catty Liem. Dia tidak ingin pertemuannya dengan team Chang, dihadiri pihak lain.
“Catty,” sapa saya melalui telpon selular.
“Ya..” Catty menjawab santai.
“Pagi yang cerah ya?”
“Tentu..”
“Pertemuan kita ditunda hingga nanti ada informasi dari saya, bisa?”
“Apa ada yang salah?”
“Tidak ada. Hanya saja, team Chang ingin segera bertemu.”
“Oh, ok. Saya akan tunggu waktu yang tepat untuk kita.”
“Ok. Bye.”
“Bye, Honey…”
Catty memanggilku Honey? Dadaku berdesir ketika mendengar sebutan itu. Aku tersenyum ketika menutup telepon selular.
Di ruang business center Hotel Mariot, Chang tiba dengan teamnya. Tak satupun dari mereka mengenalku. Chang kemudian memperkenalkan mereka satu persatu. Huang, seorang profesor di bidang Sospol. Yu, phd di bidang financing and banking. Wu, andal IT dan system computerize jaringan. Xiau Lien, perempuan cantik, andal di bidang banking law. Aku tersenyum membalas salam hormat dari setiap mereka yang di perkenalkan.
“Kami sudah mempelajari masalah Anda,” kata salah satu dari mereka. Ia berjulukan Huang, profesor Sospol. Berwajah teduh dan matang, dengan bahasa Inggris yang sempurna.
“Masalah yang kita hadapi yaitu kekuatan raksasa yang ingin menguasai dunia melalui acara demokrasi. Mereka memiliki kekuatan dana raksasa dari transaksi yang penuh rekayasa. Inilah yang harus kita hentikan,” sambungnya.
“Demokrasi?” tentu bukan kata gres di telingaku. Tapi, kata-kata Huang, membuat Aku bertanya, apa kekerabatan transaksinya dengan demokrasi?
“Ya. Promosi demokrasi secara sistematis akan mengintegrasikan dunia dalam satu jaringan kekuatan, demi terciptanya tatanan dunia gres menyerupai yang mereka inginkan.”
“Oh, begitu.”
“Kamu sudah tahu kan?” lanjut sang profesor. “Sebagian orang menganggap bahwa sistem demokrasi yaitu sistem terbaik untuk mendistribusikan kebaikan, kebenaran dan keadilan. Saya tidak sedang mempermasalahkan demokrasi sebagai sebuah pandangan gres atau nilai, lantaran memang kami dalam praktiknya konsisten dengan sistem komunis yang katanya anti demokrasi. Tentu kritikan saya ini akan dianggap bias.
Tapi yang harus kau tahu, bahwa sistem demokrasi ini, bukanlah menyerupai nilai-nilai demokrasi sesungguhnya yang bicara ihwal kedamaian, kebebasan, dan kesetaraan. Demokrasi kini ini, hanyalah alat untuk mendukung lahirnya tiran baru. Sebuah rezim yang ingin menguasai dunia dalam satu genggaman.
Ia merupakan salah satu belahan dari acara neoliberal yang memungkinkan dunia terintegrasi menjadi wilayah privat. Tak ada lagi ideologi dan budaya sebagai perekat rakyat, biar tetap dalam barisan teratur. Tapi semuanya direkayasa biar mengarah kepada kepentingan kapitalisme global. Pada waktu bersamaan, ia juga meminggirkan semangat nasionalisme, semangat kebersamaan, dan semangat kasih sayang. Yang ada hanyalah individualisme. You win you take all!
Demokrasi bicara ihwal kebebasan. Secara teori, ia sangat tepat sebagai kendaraan elite kapitalis menuju era neoliberal. Sebagai sebuah sistem politik bentukan dari neoliberal, demokrasi akan memindahkan tanggung jawab sosial dan ekonomi negara kepada rakyat. Artinya hal yang berkaitan dengan sosial dan ekonomi harus dipisahkan dari struktur pemerintahan. Pemerintah hanya akan jadi semacam portal, intermediasi.
Karenanya jangan kaget banyak negara tak berdaya menghadapi tuntutan neoliberal. Seakan tangan pemerintah telah dirantai, tidak lagi bebas melindungi rakyat yang lemah akhir persaingan kapitalis. Itu lantaran publik dan pemerintah sudah direkayasa oleh demokrasi.
Demokrasi yang kita mimpikan hanya ada dalam konsep yang melangit namun tak pernah membumi. Ia hanya sebuah teori, dan pemerintah hasil pemilu bermetamorfosis menjadi pemerintahan oligarki atau plutokratis. Yang terjadi kini, demokrasi bukannya menyerupai konsep idealnya. Dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat. Tapi dari pasar, oleh pasar dan untuk pasar.”
“Begitu naifnya,” potongku.
“Ya. Makanya tidak heran, dalam masyarakat yang masih lekat dengan budaya yang pluralis tak simpel menjadikan demokrasi sebagai sebuah cara mengelola kekuatan masyarakat. Dengan bagan bentukan demokrasi, antar kekuatan dalam masyarakat itu akan diadu domba, dibenturkan hingga menimbulkan kekerasan di tengah masyarakat.
Pada ketika itulah demokrasi ditegaskan sebagai sebuah solusi ihwal sebuah paradigma, bagaimana pluralisme itu seharusnya dikelola. Segala hal yang jelek ihwal rezim adikara selalu dihembuskan tiada henti. Namun kenyataannya demokrasi menjadi masalah yang membosankan, melelahkan, menghabiskan energi, mahal, bersikap ganda dan tak pernah mencapai tujuan idealnya.
Jangan kaget bila lambat laun demokrasi akan menimbulkan apatisme di tengah masyarakat. Mereka mulai merindukan kepemimpin yang berpengaruh untuk membela rakyat yang lemah dari kekuatan kapitalis. Dan tentu mereka tidak peduli bila pemimpin yang berpengaruh itu seorang otoriter. Niat baik pribadi pemimpin lebih diperlukan dari pada distribusi kekuasaan yang melembaga namun hakikatnya tak lebih dari segerombolan pemeras yang dilegitimasi oleh undang undang.”
“Lantas bagaimana promosi demokrasi itu dijalankan, sehingga kini menjadi ikon modernitas bernegara di dunia? Padahal, tujuan aslinya yaitu menjadikan dunia dalam bundar kekuasaan mereka.”
“Sebetulnya ini dimulai pada era presiden Ronald Regen. Pada tahun 1982, Reagen atas rekomendasi dari the American Political Foundation, meluncurkan pendirian sebuah LSM yang tugasnya menjadi clearing house bagi seluruh upaya-upaya Promosi Demokrasi di seluruh dunia. Organisasi ini diberi mandat untuk mempercepat pembangunan infrastruktur demokrasi di seluruh dunia.
“Luar biasa!” seruku. “Benar-benar direncanakan dan dikerjakan dengan sistematis.”
“Itulah yang harus kita waspadai. Karena semenjak ketika itu, organisasi clearing itu tak pernah kehabisan energi untuk mengintervensi kebijakan sebuah negara yang dianggap tidak sesuai dengan sistem poliarki atau demokrasi berorientasi pasar. Untuk menjalankan mesin organisasinya, mereka gotong royong partai Republik dan partai Demokrat, Dewan Bisnis dan lain-lain, untuk jangka waktu yang usang dipimpin oleh pebisnis kakap, Carl Gershman.”
“Bagaimana dengan pendanaan kampanye itu?” tanyaku yang mulai larut dalam emosi untuk mengetahui lebih jauh. Aku tertarik lantaran ulasannya disampaikan dengan menarik sekali.
“Dari segi pendanaan, organisasi clearing itu mendapatkan dana dari pemerintah Amerika Serikat, ada juga dari beberapa donatur, dan LSM yang mempromosikann pasar bebas. Dengan dana tersebut Promosi Demokrasi digerakkan. Mereka mendukung publikasi kaum terdidik dengan menerbitkan jurnal. Jurnal ini, gagasan mengenai kesetaraan, demokrasi dan pasar bebas, diekspor ke seluruh dunia dan menerima penghargaan sangat tinggi di kalangan akademisi di negara-negara target. Jumlah dana yang mengucur memang besar. Tapi yang lebih penting, sesudah lebih dari duapuluh tahun beroperasi, kebijakan Promosi Demokrasi ini, telah berubah menjadi sebuah industri global dengan omzet multi-milyaran dolar.
Organisasi clearing itu bukan satu-satunya forum yang diserahi tanggung jawab untuk Promosi Demokrasi. Ada tiga level organisasi politik yang bertugas mendesain, membiayai, melaksanakan kegiatan operasional, dan menghipnotis kebijakan negara target.
Pertama, level tertinggi aparatur negara AS. Seperti Gedung Putih, Departemen Luar Negeri, Departemen Pertahanan, dinas intelijen CIA, dan cabang-cabang kekuasannya di negara lain. Pada level ini, seluruh kebutuhan untuk melaksanakan intervensi politik melalui kebijakan Promosi Demokrasi pada suatu negara atau wilayah tertentu, harus disinkronkan dengan kebijakan militer, ekonomi, diplomasi, dan dimensi-dimensi lain.
Level kedua yaitu distributor pembangunan internasional AS, USAID, dan beberapa cabang departemen Luar Negeri yang memperoleh kucuran dana ratusan milyar dolar. Level ketiga, yaitu organisasi-organisasi AS yang menyediakan grant – dengan maksud membiayai, mengarahkan, dan menjadi sponsor politik – bagi organisasi-organisasi yang berada di negara sasaran intervensi. Organisasi-organisasi ini boleh jadi telah berdiri sebelumnya, kemudian melalui acara Promosi Demokrasi diinkorporasikan ke dalam desain kebijakan luar negeri Amerika Serikat.
Atau bisa saja lembaga-lembaga itu diciptakan sebagai sebuah kesatuan dari lembaga-lembaga yang telah ada. Lembaga-lembaga ini bisa berupa partai politik lokal beserta koalisinya, kelompok mahasiswa dan perempuan, liga petani, kelompok hak asasi manusia, serikat buruh, intelektual, forum swadaya masyarakat, media massa, asosiasi-asosiasi sipil, lembaga-lembaga bisnis profesional, dan sebagainya.
Di lapangan, dalam pembagian kerja dengan jaringan intervensi politik, setiap distributor Promosi Demokrasi ini bekerja pada bidang garapan yang telah ditentukan. Di sektor masyarakat sipil, jaringan kerja intervensionis ini melaksanakan penetrasi dan mengontrol kelompok masyarakat di negara target. Kelompok-kelompok lokal ini seringkali diundang jalan-jalan ke AS, di mana mereka memperoleh pemahaman lebih bahwa dirinya yaitu independen dan non-partisan. Kelompok-kelompok lokal ini juga memperoleh serangkaian pertolongan teknis, konsultasi, dan pakar untuk memperkuat partai politik dan masyarakat sipil. Jaringan kerja intervensi ini juga melaksanakan serangkaian pembinaan dan workshop mengenai pendidikan sipil, pembinaan media, dan sebagainya.”
“Benar-benar acara yang sangat sistematis untuk menguasai dunia. Apakah ini tidak disadari oleh negara-negara yang kini menjadikan jargon demokrasi untuk menerima legitimasi kekuasaan dari rakyat?” kataku geram. Sekarang saya mulai mengerti alasan mereka memintaku untuk terus menghadapi transaksi ini dan tetap dengan posisinya.
”Sebetulnya mereka mengetahui dan menyadari bahaya itu. Tapi mereka di buai dengan kekuasaan dan uang untuk menjadi pemenang dalam setiap pemilu. Sangat menyedihkan bila sebagian besar negara yang mendapatkan paham demokrasi tersebut, pada kesannya harus mendapatkan tekanan untuk mengeluarkan kebijakan yang tidak pro rakyat miskin.”
Aku terdiam. Semua yang hadir juga ikut membisu dengan pandangan fokus kepada Huang.
“Nah, saya berharap Anda bisa berada gotong royong kami untuk menuntaskan kasus ini. Apapun taruhannya harus kita hadapi. Ini menyangkut nasib miliaran penduduk planet bumi yang terjebak dalam sistem yang tidak adil,” kata Huang yang kini menatapku tajam. “Apakah Anda bersedia bergabung dalam team kami?”
“Ya saya siap,” kataku tanpa ragu. Ini yaitu pilihan yang harus ku jalani.
“Terima kasih,” kata Huang menjabat tangan kemudian merangkulku. “Anda kini resmi menjadi sobat kami, kamerad,” sambung Huang.
Kemudian, satu persatu yang hadir juga menyalamiku dan merangkul hangat dengan senyum penuh semangat.
“Kami akan membayar semua biaya yang pernah Anda keluarkan untuk transaksi ini dan juga ada kompensasi untuk Anda. Tolong beritahukan nomor rekening Anda. Private Investment Company kami di Hong Kong akan mengatur proses transfer,” kata Yu.
Aku terkejut bercampur girang, “Baiklah. Terima kasih,” jawabku antusias.
“Mulai hari ini, saya minta Anda melapor semua langkah yang Anda lakukan kepada kami. Miss Lin akan bertindak sebagai penghubung Anda dengan kami. Tolong jangan gunakan email untuk komunikasi antar kita. Cukup gunakan telpon selular dari kami, lantaran teknologi ini tidak bisa disadap oleh Amerika. Oh ya, Miss Lin juga bertindak sebagai sekretaris dalam team ini,” kata Huang sambil melirik Miss Lin.
“Baik. Bagaimana jika kita kembali pada situasi terakhir yang terjadi di Swiss?” kataku mulai masuk pada inti persoalan. “Jelaskan kepada saya. Mengapa pihak The Fed tidak mengakui keberadaan aset Anda. Padahal ketika diverifikasi semuanya sah dan legal?”
“Sulit menjelaskannya,” jawab Yu menanggapi pertanyaanku.
“Tapi, untuk Anda ketahui bahwa kami bekerjsama telah melaksanakan ini lebih dari tuju kali transaksi. Semuanya dengan hasil yang sama. Ditolak ketika hingga di babak akhir. Hanya saja, kali ini ada perbedaan fundamental yaitu Anda berada dalam posisi yang berpengaruh dan berani mengajukan gugatan. Itulah sebabnya team ini kemudian dibentuk.”
“Ok. Mengapa ada penolakan?”
“Dokumen aset itu kami peroleh dari pewaris harta salah satu keluarga dinasti yang pernah berkuasa di negeri kami. Lebih dari empatpuluh tahun, segala upaya telah kami lakukan untuk menuntut hak atas aset tersebut tapi selalu gagal.
Mulai tahun 1984 kami tak lagi menempuh cara konvensional melalui jalur hukum. Kami mencoba masuk dengan memanfaatkan sistem moneter yang dicreate oleh The Fed system. Kami pun mulai mengirim orang-orang terbaik kami ke sentra pasar uang Amerika menyerupai Swiss, New York, Luxemburg, Singapore, Canada, dan London untuk melaksanakan infiltrasi ke dalam sistem mereka. Dengan impian bisa menemukan cara yang tepat untuk mengambil alih hak kami.”
“Saat itulah kami mulai memakai System Information Technology,” Wu mulai angkat bicara lantaran memang ia andal bidang IT.
“Melalui jalur intelijen, kami berhasil membuat jaringan untuk membuat pretender kami masuk dalam keanggotaan Euroclear, DTCC, dan Cleartream. Tentu kami menyediakan modal tunai biar kami diterima oleh sistem tersebut. Harapan kami, dengan diterimanya kami sebagai member maka jalan masuk untuk masuk ke sistem pun akan terbuka.
Tapi, ternyata di dalam sistem itu ada beberapa tingkatan keanggotaan. Masing-masing tingkat harus melewati access code. Level tertinggi yaitu keanggotaan yang berafiliasi dengan decade aset. Dan hingga kini kami belum berhasil.”
Aku teringat perbincanganku dengan Catty. Kaprikornus yang dibutuhkan yaitu acces code biar sanggup menguasai kepemilikan aset secara sistem. Inilah pertarungan yang harus dilalui.
“Jadi penempatan saya sebagai mandatori yaitu dalam posisi sebagai pretender. Mengapa harus saya dan mengapa tidak Anda sendiri?”
“Tepat sekali. Untuk Anda ketahui, team kami telah memanipulasi sistem mereka biar dokumen kami tidak mengalami penolakan ketika dilakukan verifikasi. Karenanya kami mustahil terlibat pribadi dalam transaksi ini,” kata Yu menjawab pertanyaan Aku.
“Secara aturan kami telah mendaftarkan somasi atas aset ini semenjak tahun 1962. Makanya bila kami terlibat dalam sistem mereka niscaya akan ditolak oleh otoritas keuangan Amerika.”
“Oh! Kaprikornus diam-diam, Anda semua terlibat di belakang saya hingga pada tahap mendapatkan dukungan credit dari Global Asset Management.”
“Ya,” jawab Huang tegas, kemudian tersenyum penuh arti. “Sekarang Anda telah menjadi team kami. Kita akan selalu bersama dalam situasi apapun,” sambungnya.
“Kalau begitu, sebaiknya pertemuan ini kita akhiri hingga di sini,” lanjut Huang. Semua team berdiri serentak dan menjabat tanganku.
“Siapakah kalian sebenarnya?”
“Kami yaitu yayasan Naga Kuning,” jawab Huang.
“Ada kaitannya dengan pemerintah Cina?”
“Tidak ada. Secara formal kami bergerak di bidang sosial kemanusiaan,” jawab Xiau Lien.
Aku menangkap kejanggalan istilah ‘formal’. Tapi ia tidak ingin membahasnya lebih jauh.
Mereka pergi meninggalkan ruang rapat Hotel Merriot. Segera saya mengirim pesan singkat kepada Catty biar tiba ke kamarku.
Pertemuan dengan team Naga Kuning membuatku merasa telah masuk ke dunia lain. Dunia yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Dari pembicaran tadi, saya mulai mengetahui bahwa uang memang bukanlah segala-galanya. Tapi lebih dari itu, ia yaitu alasan untuk sebuah misi menegakkan keadilan. Yaitu ketika ada sekelompok orang yang sangat berkuasa dan tak tersentuh untuk melaksanakan apa saja, mengakumulasi dana yang tidak ada hubungannya dengan teori ekonomi lantaran akibat. Ini yaitu kejahatan teorganisir yang melebihi kejahatan ala kolonialisme kala 19 dan 20. Ini yaitu era gres penjajahan yang sangat canggih di mana uang berputar tanpa terlacak dan berkembang secara dahsyat melalui cyber system. Hanya orang bebal dan masa ndeso yang tidak menyadari fakta ini.
Benarlah kata Catty bahwa keberadaanku yaitu takdir dari Tuhan yang harus ku syukuri dengan berjuang tak kenal lelah.