Keesokan pagi, Budiman menelephonku biar bergabung dengannya di Singapore untuk berbicara dengan mitranya. Dengan pesawat sore saya terbang ke Singapore. Di Changi Airport, Budiman sudah menanti untuk membawaku ke Hotel.
“Sehat, Ja?” kata Budiman sambil memeluk ku erat.
“Sehat, Bud. Terima kasih.”
“Nanti kita makan malam dengan mitraku. Jelaskan semua taktik sketsa pembiayaanmu. Dia yang akan membantu aku.”
“Gimana reputasinya?”
“Dia tidak pernah default. Aku sering gunakan jasanya.”
Aku mengangguk.
“Bagaimana keadaan ekonomi di Indonesia?” Kataku ketika di dalam taksi menuju Hotel.
“Semakin tidak jelas. Kenyataannya sekarang, kita terpuruk dan IMF mengendalikan kita sesukannya.”
“Man, kita harapkan IMF bisa mengatasi masalah ekonomi di luar kemampuan kita mengatasinya. Bukankah IMF yakni the last lending resource? Ketika index ekonomi tidak qualified menarik hutang maka IMF yakni satu-satunya resource. Ini forum multilateral yang anggotanya hampir semua negara termasuk negara kita. Ya kan?”
“Tapi Ja, kau lihatkan? Tidak ada yang kita sanggup dari forum multilateral itu. Lantas apa lagi yang harus ditunggu? Bubarkan mereka! Ini penting untuk kedaulatan bangsa dan negara ini. Ini yakni jihad melawan penjajahan!”
“Aku mengerti.”
“Ketahuilah bahwa negara kita sudah terjebak dalam konsep demokrasi yang melenceng jauh dari impian pendiri negara ini. Demokrasi liberal yang ada di abad reformasi kini telah menghilangkan indentitas kita sebagai bangsa. Bukan kemerdekaan yang kita dapat, tapi justru hidup kita dikendalikan Asing. Menjadi bangsa yang akan selalu dikerdilkan dan terjajah hingga mati.”
“Dari mana kau bisa hingga pada kesimpulan menyerupai itu, Bud?”
“The silent revolution.”
“Apa itu?”
“Itu yakni istilah yang digunakan IMF untuk merevolusi keuangan global. Tujuannya yakni biar semua negara di dunia tunduk pada kesepakatan Washington. Tidak ada lagi restriction dengan mengatas namakan nasionalisme dalam bentuk proteksi. Gerakan revolusi mereka berfokus pada proteksi penuh bagi negara maju untuk bisa memanfaatkan semua resource negara berkembang, dan proteksi bagi penemuan mereka lewat hak paten teknologi.
Sebetulnya The Silent Revolution yakni gerakan yang dibentuk oleh sekelompok elite di AS yang pro pasar bebas dengan konsep neoliberal. Namun perkembangan selanjutnya, menciptakan semua institusi yang berada di bawah pengaruhnya ikut memakai cara yang sama yaitu the silent revolution.”
Aku mendengarkan dengan seksama sambil berkerut kening. Berulang kali saya mengusap wajahku yang tiba-tiba terasa kebas dan kering.
“Gerakan ini diawali tahun 1980-an. Dijalankan secara sistematis. Merupakan gerakan berjamaah di semua level struktur sosial, yang bersatu dalam barisan neoliberal. Cirinya adalah: pertama, mereka tidak menghipnotis organisasi massa untuk menerima dukungan publik tapi mendekati komunitas terdekat dengan publik. Kedua, mereka menghindari polemik. Ketiga, lantaran sifatnya yang silent maka gerakan ini memakai cara-cara dunia intelejen. Atau lebih tegasnya, smart power.”
“Tapi, Bud, bukankah IMF akan keluar?”
“Aku tahu, bagaimanapun IMF niscaya akan keluar dari Indonesia. Tapi saya juga sanggup bocoran bahwa pemerintah sudah diyakinkan oleh team ekonomi di kabinet untuk memperpanjangnya dalam bentuk Post Program Monitoring hingga tahun 2007. Aku yakin publik tidak banyak tahu perihal ini. Kelak, sumber-sumber pendanaan dari luar negeri pun akan dilakukan secara diam-diam. Atau bisa saja dibungkus dengan segala kebijakan dan peraturan yang menciptakan rakyat semakin bingung, biar nantinya rezim bebas bergandengan tangan dengan kekuatan asing,” terang Budiman
“OK, Kembali ke silent revolution.”
“Ok, dalam rentang pergerakannya ia berhasil menciptakan perubahan signifikan. Kekuatan gerakan ini terwujud dalam bentuk demokratisasi, yang memungkinkan rakyat lepas dari partronnya yang selama ini berfungsi sebagai penangkal segala efek jelek ideologi asing.”
“Oh, begitu?”
“Ya. Pada tahap awal, gerakan ini berhasil menempatkan orang-orang kampus, pengusaha, artis, dan militer yang miskin pemahaman geopolitik dan geostrategik ke dalam lingkar kekuasaan. Orang-orang inilah yang kini aktif secara belakang layar mendekati ring-ring satu komunitas atau kelompok di tengah masyarakat.
Target mereka dalam jangka panjang, menciptakan gerakan buruh dan tani menjadi tumpul lantaran barisan terdepan mereka telah ditelikung lewat smart power. Gerakan agama baik yang formal maupun non formal juga telah mulai mereka lemahkan lewat tehnik laga domba, intimidasi, dan penyesatan opini publik terhadap lembaga-lembaga keagamaan.
Fenomena yang terjadi kini hanyalah awal dari gerakan ini. Euforia demokrasi dan kebebasan berbuat bagi wong cilik hanyalah sementara saja. Kelak akan dihabisi lewat silent revolution. Para aktifis buruh yang selama ini dekat dengan rakyat jelata akan dikerdilkan. Ormas dan kader Partai Nasionalis akan terpecah hingga terusan ke grass root semakin lemah. Ormas kampus tak kan lagi bergigi. Gerakan agama yang terdiri para intelektual Islam akan dijadikan materi cemoohan lewat kampanye demokrasi yang culas, dan penyesatan opini publik.
Hebatnya lagi, gerakan ini ada namun tidak teridentifikasi, bagaikan bayang-bayang. Ada tapi tidak meninggalkan jejak. Kita hanya sanggup mencicipi ketika hak-hak rakyat menjadi semakin terpinggirkan, sementara kepentingan abnormal semakin menerima ruang untuk meraup segala potensi dan sumber daya yang kita punya. Hanya soal waktu, sesudah semua kekuatan ruh antara nasionalis dan sosialis hancur, maka akan muncul kekuatan gres yang sesuai dengan platform mereka.
Pada ketika itulah, tidak ada lagi nasionalisme 45. Tidak ada lagi falsafah hidup Pancasila. Tidak ada lagi agama sebagai ruh berjuang untuk keadilan dan tidak ada lagi bunyi bagi kepentingan wong cilik sebagai ikon usaha kelas tertindas. Yang ada hanyalah bisnis bunyi untuk menjadi pemenang. Negara dan bangsa hanya akan menjadi problem bisnis semata. Sadarkah kau akan hal ini, Ja?”
“Oh, Tuhan...”
“Ja, Sewaktu kuliah saya yakni seorang mahasiswa idealis. Setelah tamat, saya eksklusif terjun bisnis. Lebih dari duapuluh tahun saya hidup sebagai pengusaha yang bergaul dengan elite kekuasaan. Sedikit banyak saya tahu benar bahwa keberadaan Soeharto sebagai penguasa orde gres tidak terlepas dari pertarungan dua kekuatan besar, yaitu grup Barat yang dikomandoi Amerika dan grup Timur yang dipimpin Uni Soviet. Sebuah perang yang dikenal sebagai ‘perang dingin’. Perang perihal efek kedigdayaan, tanpa kontak senjata.
Naiknya Soeharto dan jatuhnya Soekarno yakni kemenangan Amerika di Asia Tenggara atas paham komunis Uni Soviet. Sebagai bentuk kompensasi, Amerika dan Barat memberi dukungan penuh bagi Indonesia biar tidak terjebak dalam kemiskinan. Belajar dari pengalaman revolusi di Cina, bahwa kemiskinan menyuburkan tumbuhnya paham komunisme.
Karenanya tugas para ekonom Indonesia lulusan Amerika atau dikenal dengan nama Mafia Barkeley, juga tidak bisa dilepaskan dari kompensasi ini. Mereka membawa paham gres perihal paradigma pembangunan, yang sebelumnya hanya bertumpu pada kekuatan rakyat, atau disebut juga Berdikari. Paradigma mereka sederhana, yaitu perlunya suatu grant design pembangunan nasional yang akan mendorong terciptanya pertumbuhan ekonomi dan pemeretaan. Istilah ini dikenal dengan nama teori Rostow.
Teori ini juga yang digunakan di Korea Selatan, Malaysia, Thailand, Singapura, Taiwan, Turki dan negara-negara Artikel Babo yang tergabung dalam kelompok di bawah efek kekuatan AS-Barat. AS menyadari bahwa Negara yang berhasil mereka bebaskan dari efek komunis ini memiliki keterbatasan modal dan teknologi untuk bisa menggerakkan mesin ekonominya. Maka, aktivitas pemberian pendanaan dan teknologi pun menjadi pecahan tak terpisahkan dari politik luar negeri AS ketika itu.”
“Ya, Bud, saya tahu kita mendapatkan dana melimpah dari Amerika dan Eropa. Ada tiga koridor pinjaman yang mereka berikan, yaitu pinjaman melalui World Bank Group yang bersifat lunak. Pinjaman ini digunakan untuk pembangunan infrastruktur. Koridor kedua yakni pinjaman Mutlilateral melalui IGGI, bersifat grant dan sebagian lagi berupa pinjaman lunak berbunga 2,5% per tahun dengan jangka waktu duapuluh lima tahun. Dengan masa tenggang bebas bunga lima tahun. Pinjaman ini digunakan untuk memperkuat likuiditas APBN guna mensuplai dana ke publik untuk menumbuhkan sektor riel. Koridor ketiga yakni pinjaman bilateral, yang juga bersifat lunak dan sebagian berupa grant. Pinjaman ini ditujukan untuk mendukung pendanaan sektoral.”
“Benar, Ja. Apa yang diterima Indonesia, sama dengan apa yang diterima negara-negara lain yang tergabung dalam kekuatan pro-AS-Barat. Artinya apapun yang diberikan oleh pihak Amerika (barat) kepada Indonesia, baik berupa modal maupun teknologi, hakikatnya berkaitan eksklusif dengan politik luar negeri AS dalam konteks perang dingin. Inilah sejatinya platform hibah luar negeri mereka. There arn't no such thing as a free lunch.
Semua menyadari bahwa tidak ada sesuatu yang gratis. Tujuan dari politik yakni kekuasaan dan penguasaan resource. Istilah yang oleh Soekarno disebut dengan Neocolonialism, menyikapi perang politik Barat dan Timur. Kolonialisme atau penjajahan model gres yang tidak dalam bentuk fisik, tapi dalam bentuk ideologi. Itu sebabnya Soekarno kemudian membentuk Gerakan Non Blok untuk melindungi negara-negara yang gres merdeka, biar tidak terseret dalam arus perang hambar tersebut.
Ini terbukti ketika berada di bawah kepresidenan Soeharto, Indonesia terjebak dalam kekuatan AS-Barat. Ketika mendapatkan pemberian dari mereka, kita dipaksa menyerahkan natural resource kepada Amerika. Istilahnya yakni winner takes all. Meski begitu, Soeharto tidak begitu saja mengorbankan nasionalismenya, untuk sebuah kompromi politik.
Strategi global Amerika memang ampuh menguasai dunia. Jepang, Taiwan, dan Korea Selatan yang tidak punya cukup natural resource, dimanfaatkan SDM-nya untuk menjadi lebah pekerja guna memenuhi kebutuhan konsumsi Amerika yang rakus. Turki yang letaknya strategis antara Timur dan Barat dimanfaatkan sebagai pangkalan perang. Meksiko, Brazil, Argentina, Indonesia, Iran, dan Arab Saudi yang kaya natural resouce, dikuras habis untuk memenuhi kebutuhan materi baku mesin industri Amerika. Untuk mengamankan politik globalnya tersebut, Amerika memang sengaja memelihara para diktator dan monarki di negara-negara yang berada di bawah pengaruhnya. Termasuk pemberian militer yang tak terbatas, baik untuk persenjataan maupun training.
Setelah ‘perang dingin’ usai, politik luar negeri Amerika pun berubah. Kalau sebelumnya penguasaan resource lebih kepada penguasaan politik, selanjutnya yakni penguasaan pasar melalui sistem globalisasi. Melalui WTO yang didukung World Bank Group, memaksa negara pro Barat untuk mengakui globalisasi sebagai paradigma gres menuju abad pembangunan masa depan yang berkeadilan. Maka, paham demokratisasi dengan jargon Freedom, Peac, Equality pun dicanangkan ke seluruh dunia.
Sejak itu kampanye demokratisasi melalui agen-agen demokrasi lulusan Amerika, terus bergerilya membangun kekuatan pro demokrasi di seluruh dunia. Kampanye ini berhasil menciptakan Uni Soviet terpecah menjadi negara-negara kecil.
Soeharto menyadari, bahwa paska perang dingin, ia sudah mulai diasingkan oleh AS-Barat. Dia juga tidak lagi gampang mendapatkan pemberian pinjaman lunak. AS mulai memaksa Soeharto untuk mendapatkan paham demokratisasi berupa abolisi semua kebijakan subsidi kepada rakyat yang selama ini didanai dari pemberian luar negeri. Melepas semua kebijakan proteksi yang anti globalisasi dan pro kepada pengusaha lokal di bidang investasi, perdagangan, pariwisata, telekomunikasi dan keuangan.
Bantuan AS-Barat yang selama ini ditujukan untuk stabilitas keamanan regional telah beralih menjadi deregulasi semua sektor yang anti demokratisasi dan globalisasi. Soeharto bereaksi dan mencoba berkompromi dengan menciptakan kebijakan-kebijakan baru. Namun, aneka macam kebijakan yang dikeluarkannya dalam bentuk Paket Kebijaksanaan, tak kunjung memuaskan Amerika dan Eropa Barat. Di ketika bersamaan, negara-negara ASEAN lain coba berlindung di balik Soehato atas tekanan Amerika tersebut.
Puncak kekesalan Amerika dan Barat kepada Soeharto dan ASEAN yakni dijatuhkannya bom nuklir dalam bentuk gelombang hedge fund yang menciptakan mata uang negara-negara Asia Tenggara tumbang. Asia pun dilanda krisis ekonomi parah.” Kata Budiman berapi-api.
“Dan ongkos ledakan nuklir ini sangat mahal, yang menciptakan Robin Gobin tersingkir sebagai Menteri Keuangan Amerika. Dan menciptakan Smith Barney masuk dalam kubangan hutang long term investment debt sebesar USD 100 billion, yang kemudian dimerger dengan Solomon.” Kataku menambahkan.
“Cara Soeharto mengundang IMF yakni untuk menguji sistem yang dibangun oleh AS-Barat. Karena IMF merupakan forum internasional sebagai the last lending resource untuk menstabilkan perekenomian negara-negara anggota. Seperti sebelumnya, ia berhasil membantu negara-negara yang hancur paska perang dunia kedua.” Lanjut Budiman.
“Tapi ternyata IMF justru memaksa Soeharto mengikuti demokratisasi dan globalisasi secara utuh.” Sahutku.
“Permintaan IMF tidak sepenuhnya diterima oleh Soeharto yang tidak ingin mengorbankan nasionalismenya. LOI dengan IMF tidak diimplemetasikan. Dia justru mengancam IMF dan Amerika, dengan bahaya penempatan future option delivery beberapa blok minyak yang sudah dan belum digali sebagai financial guarantee atas kebijakan mata uang fixed rate. Beberapa forum keuangan internasional yang tergabung dalam combine collateral yang dikomandani oleh Deutch Bank bersedia menjadi underwriter. Cara ini dilakukan Cina dan terbukti berhasil sebagai alternative financial resource mereka.
Sebetulnya bahaya ini ampuh memaksa Amerika dan IMF untuk mengikuti Soeharto. Perundingan penyelesaian krisis sudah di depan mata, sama menyerupai Korea Selatan, Thailand dan Malaysia. Soeharto meminta biar IMF bertanggungjawab memberi pemberian lunak selama duapuluh lima tahun tanpa bunga untuk menutupi BLBI dan mengembalikan kepercayaan masayarakat terhadap perbankan. Karena sebetulnya kebijakan hutang luar negeri Indonesia bukanlah kebijakan rakyat, tapi kebijakan politik luar negeri AS untuk mengamankan stabilitas regional ASEAN dari bahaya komunis. Dan Indonesia sudah membayar lunas dengan terciptanya daerah ASEAN yang aman. Bahkan mengambil alih Timor Timur dari bahaya partai Fretelin yang pro komunis dengan ongkos yang sangat mahal. Makara jikalau pun kini terjadi krisis maka Amerika-lah yang harus bertanggungjawab.”
“Hmm… Tapi, sayang sekali sebelum semua itu terwujud, Soeharto keburu dijatuhkan kekuatan kelompok pro demokrasi AS yang lebih berpengaruh menguasai pandangan publik Indonesia.” Kataku parau.
“Ya. Sejak kejatuhan Soeharto dan kelompok pro demokrasi berkuasa, IMF bebas berbuat apa saja, hingga balasannya berhasil memaksa pemerintah untuk mendapatkan Letter of Intent dari IMF. Dan yang lebih parah lagi yakni menyetujui penyelesaian BLBI melalui Obligasi Rekap dan menyebabkan Otoritas Penyelesaian Utang bukan penyehat tapi malah pengobral aset negara kepada pihak asing.” Lanjut Budiman lirih
“Para pemimpin gres yang pro demokrasi tidak satupun dari mereka yang bermental negarawan. Terjebak dalam permainan politik tingkat tinggi. Dan ternyata komitmen IMF untuk melaksanakan pemulihan Obligasi Rekap tidak kunjung datang. Membuat rakyat murka dan menuntut IMF biar keluar dari Indonesia. Indonesia pun kian terperosok ke dalam jebakan hutang luar negeri yang tak kunjung sanggup diatasi, mengganggu kekuatan APBN untuk memberi dukungan sosial bagi kesejahteraan rakyat.”
“Benar, Ja. Untuk kau ketahui, Soeharto sebetulnya dibesarkan oleh Soekarno. Bahkan dalam memoarnya, Soeharto menyampaikan bahwa ia yakni pengagum Soekarno. Menganggapnya sebagai guru dan orangtua yang selalu dihormatinya. Meskipun keduanya sempat tak sejalan dalam kebijakan politik.
Tapi, bagaimanapun, Soekarno dan Soeharto memiliki satu kesamaan, yaitu nasionalisme keduanya yang kuat. Keduanya sangat besar hati dengan tanah airnya. Bila balasannya mereka berseberangan, itu lantaran perbedaan cara mereka mengasihi bangsanya. Soekarno maupun Soeharto memang tidak luput dari banyak kekurangan dan kesalahan. Namun itu semua tidak menghapus jasa mereka sebagai bapak pemersatu bangsa, hingga bisa berdaulat dan dihormati oleh bangsa lain.”
“Bagaimana dengan harta Soeharto di luar negeri?” Tanyaku untuk menegaskan apapun tindakan korup tidak bisa diterima walau jasanya banyak.
“Dalam sebuah pertemuan dengan salah satu banker di Singapore dan Swiss, aku pernah menanyakan secara pribadi perihal keberadaan dana Soeharto di negara mereka. Mereka menjawab bahwa itu hanya propaganda murahan. Tidak ada satupun rekening pribadi yang terhubung dengan Soeharto di sana. Kamu kan tahu, yang paling berharga di dunia ini yakni nyawa. Dan Soeharto tidak pernah percaya dengan dokter luar negeri perihal kesehatannya. Dia hanya percaya dengan dokter dalam negeri. Apalah soal uang. Memang ada rekening atas nama putra putrinya tapi itu hanya rekening bisnis legal yang jumlahnya tidak berarti dibandingkan dengan rekening pengusaha Artikel Babo.” Kata Budiman.
“Ya, bagaimanapun, yang niscaya ketika Soeharto menggantikan Soekarno, ia berhasil melaksanakan koreksi pendahulunya dengan memanfaatkan info internasional bukan untuk ikut hanyut dalam konflik perang hambar dan angkat bunyi keras. Tapi ia berhasil memanfaatkannya untuk kesejahteraan rakyat.” Sambungku kemudian.
“Ya, Ja. Di abad kini, pemerintah memang berganti dan rezim demokrasi membawa angin perubahan perihal kebebasan berpolitik. Tapi sejatinya negara justru makin terperosok ke dalam cengkeraman Multi National Corporation di bidang finansial, teknologi, industri, pertambangan dan distribusi. Di waktu bersamaan, hutang terus digali untuk membayar kewajiban hutang yang ditimbulkan kebijakan politk luar negeri AS-Barat pada rezim Soeharto, dan akhir kebijakan yang ditimbulkan oleh IMF sendiri. Karena janjinya untuk memberi dana segar, tak kunjung dipenuhi.”
“Kita tidak pernah mencar ilmu dari Korea, Jepang dan Malaysia yang bersatu ketika krisis terjadi, berbaris rapat menghadapi musuh bersama: AS-Barat. Kita justru ribut dalam negeri sendiri dan saling berebut kekuasaan. Akhirnya AS-Barat leluasa masuk membawa perangkap bagi para politikus amatir, untuk bisa merebut kekuasaan.” Kataku.
Kami berdua melamun untuk beberapa saat. Seakan tak ada lagi materi untuk di diskusikan. Aku dan Budiman sering berdikusi perihal banyak hal. Baginya, bertemu dan bersdiskusi denganku yakni obat stress. Dia merasa tidak pernah jauh dari kebenaran ketika ia lupa. Akupun senang berteman dengan Budiman lantaran dihadapanku ia tidak pernah berubah. Tidak ada topeng. Kami kadang berbeda pendapat namun bila waktu tiba sholat, kami akan sholat berjamaah.
Taksi yang kami tumpangi sudah hingga di Mandarin Hotel, Orchard. Budiman mengatur check in untukku dan memperlihatkan kunci kamar kepadaku. “Aku tunggu kau di café. Mereka akan tiba sebentar lagi.” Aku bergegas untuk bersiap-siap, bertemu dengan kawan Budiman yang berjanji untuk membantu mendapatkan credit line dari bank di Singapore.
Hanya 10 menit sesudah ganti pakaian di kamar hotel saya sudah berada di café. “Ja, mereka komitmen akan tiba bersama banker.” Kata Budiman dengan tersenyum. “Waw! Hebat!” Seruku. “Jadi kita bisa jelaskan eksklusif kepada Banker. Kalau mereka paham maka akan tinggal melanjutkan formalitas yang berafiliasi dengan paperwork.”
“Tepat sekali. Aku rasa tidak akan hingga satu ahad selesai.” Kata Budiman dengan yakin.
***
Benarlah, sesuai komitmen jam 7 mereka sudah datang. Mereka semua berempat. Dua yakni kawan Budiman dan dua orang lagi yakni banker.
“Jelaskan bagaimana rencana bisnis Anda?” Kata kawan Budiman tanpa basa basi. Inilah gaya Singapore dan Hong Kong. Selalu to the point. Akupun menjelaskan secara ringkas rencana bisnis yang kususun untuk memperlihatkan solusi pembiayaan bagi Budiman. Khususnya berkaitan dengan exit pelepasan saham kepada perusahaan raksasa dibidang pangan setelah lima tahun di restruktur. Semua dokumen yang berkaitan dengan apa yang kukatan, saya serahkan kepada kawan Budiman. Mitra Budiman menyerahkan dokumen itu kepada Banker. Salah satu Banker itu membaca dengan seksama.
Banker itu menatapku sesudah membaca dokumen yang saya serahkan, “Anda yakin bisa menyediakan SBLC untuk jaminan?”
“Yakin.” Jawabku mantap.
“Bagaimana bisa yakin?”
“Anda bisa hubungi sobat saya di Hong Kong,” kataku sambil menyodorkan business card milik Ester. Dia memperhatikan dengan seksama dan kemudian tersenyum kepadaku.
“Ok. Kami pastikan sanggup memperlihatkan Credit line.” Kata banker kepadaku. “Jadi kapan aplikasi kredit akan diajukan?” Lanjut banker itu menatap kepada kawan Budiman.
“Beri kami waktu hingga lusa. Karena besok kami harus mendirikan Special Propose Company untuk vehicle penarikan credit dari bank Anda.”
“Ok, kami tunggu.”
“Maaf berapa usang kredit bisa dicair?” saya bertanya kepada salah seorang Banker.
“Lima hari sesudah paper work lengkap dan SBLC kami terima dengan memuaskan sesuai system perbankan.”
“Bagaimana dengan Loan to value?” sambungku.
“90 %.” Kata banker itu tanpa ragu. Nampak sekali ia sudah berpengalaman menangani transaksi ini.
“Terima kasih. Deal yang sangat memuaskan.” Kata Budiman.
Aku eksklusif menelephon Ester di Hong Kong. Ester bahagia sekali mendengar kabar bahwa bank di Singapore bersedia memperlihatkan kredit. Dia berharap dalam seminggu selesai. Lusa ia akan terbang ke London. “Temani saya ya, ke London?” pinta Ester kita mengakiri pembicaraan di telephone.
Keesokan harinya saya menemani Budiman ke bank untuk rapat formal dan menyerahkan document yang berkaitan sketsa pembiayaan dan profil assetnya. Sorenya saya terbang ke Hong Kong untuk bertemu dengan Ester mempersiapkan recana ke London.
***
Cuaca Hong Kong di bulan Desember pada sore hari berkisar delapanbelas derajat celcius. Aku merapatkan leher jaket dan melangkah cepat ke koridor kedatangan Airport. Telephonku bordering. Nampak di layar cellphone tertera nama Ester.
“Jaka!” Seru Ester diseberang.
“Ya.”
“Kita sanggup masalah. Channel saya di London, menolak menyediakan SBLC untuk jaminan credit di Singapore,” kata Ester panik. Mendengar perkataanya, rasanya menyerupai disambar petir di siang bolong. Ada apa ini? Mengapa selalu ada kejutan dari Ester, di ujung jalan usaha dan selalu berakhir hampa?
“Aku harus ketemu dengan kamu,” kataku lemah.
“Baik. Langsung saja ke kantor. Aku tunggu ya?”
Dengan taksi dari bandara saya melaju menuju kantor Ester di Queen Road, di daerah central Hong kong. Sesampai di gedung kantornya, ia sudah menanti sempurna di depan loby.
“Kita bicara di sana aja,” kata Ester menunjuk café yang ada lantai dasar gedung kantornya..
“Ada apa sebenarnya?” tanyaku dengan wajah tegang. Bayangan nasip Budiman yang terjebak dengan aplikasi credit membuatku jengah. Apa jadinya bila gagal mendelivery SBLC?
“Kamu ingin tahu jawabannya?”
“ Ya, Please!”
“Ini ulah David. Dia sengaja menutup semua resource-ku. Akibatnya semua relasikuku menolak. Padahal sebelumnya gampang dan tidak ada masalah.” Ester resah dan saya lebih bingung.
“Dari mana kau tahu ini ulah David?” tanyaku.
“Kolegaku di London yang bilang itu. David minta biar jangan terlibat denganku jikalau tujuannya untuk membantu kamu, Jaka!”
“Hebat sekali si David itu?!” kataku geram.
“Jak, sudahlah. Engga usah dipikirkan soal David. Dunia keuangan itu kecil sekali. Dia berhak melaksanakan itu lantaran itulah cara ia menciptakan kau kembali ke dia.” Kata Ester memegang lenganku.
“Baiklah.” Aku menarik napas dalam-dalam. ”Kembali ke masalahku. Besok Budiman harus mengajukan credit ke Bank. Kamu kan tahu apa dampaknya bagi Budiman bila ia gagal delivery SBLC. Dia akan kehilangan uang membayar provisi kredit dan fee kepada mitranya di Singapore. Ini bukan uang kecil.” Kataku mengingatkan Ester bahwa kegagalan traksaksi ini berakibat jelek bagi Budiman. “Kami hanya punya waktu lima hari!”
Ester hanya diam. Wajahnya tegang. Dia merasa menyesal atau usulannya mengenalkanku kepada David. Aku berusaha tenang. Bagaimanapun ini sudah terjadi. Tapi kemana lagi langkah harus diayunkan?
“Jak!” seru Ester. “Kamu tahu kan, Tomasi?”
“Ya. Aku tahu. Ada apa dengan dia?”
“Tadi saya menelephonnya di Swiss. Dia komitmen akan membantumu menyediakan SBLC. Tapi kau harus ikut platform dia.”
“Apa platform dia?”
“Dia tidak cerita. Dia akan jelaskan sendiri kepadamu.” Kata Ester nampak putus asa.
“Kamu mau bicara dengan dia, Jak?” Aku mengangguk. Jari-jari lentik Ester mencari sebuah nomor Tomasi dalam handphone-nya. Aku menunggu dengan cemas. Aku melirik jam tangan dan waktu menunjuk pukul lima sore, waktu Hong Kong. Dari balik beling café di gedung megah itu, saya melihat kemudian lalang kendaraan glamor yang berjalan tertib di jalan raya. Beberapa pejalan kaki berjalan cepat-cepat pada trotoar yang berpagar pertokoan mewah. Betapa pongahnya Hong Kong di mataku sore itu. Dan saya kembali menghembuskan nafas berat, sekedar mengurangi tekanan yang menyesak di dada.
“Tom, ini Jaka, ada di depanku. Bisakah bicara eksklusif dengan ia soal rencana kau membantunya? Nih bicara!” Ester menyerahkan cellphone-nya padaku.
“Jaka. Gimana kabarnya?” sapa Thomasi di ujung telephon.
“Kabar baik, tapi sedikit ada masalah. Kamu sudah tahu kan, masalahnya?”
“Ya, saya paham masalah kamu. Aku akan bantu sebisanya.” Kata Tomasi terkesan tegas.
“Tom, saya tahu kau akan bantu. Tapi, apakah kita masih punya waktu? Karena besok saya harus delivery SBLC ke bank di Singapore. Maaf, benar-benar waktu tidak berpihak kepadaku ketika ini.”
“OK. Segera kirimkan email semua data bank koordinat di Singapore. Dalam enam jam. saya pastikan akan delivery SBLC.” Kembali terdengar bunyi tegas Tomasi. Menandakan ia serius dengan kata-katanya.
“Oh, terima kasih, Tom. Terima kasih!”
“Setelah SBLC diterima oleh bank di Singapore, saya akan segera bertemu kau di Singapore. Ada hal yang harus kau lakukan untukku. Bisa, kan?”
“Bisa.” Jawabku cepat.
“Baik. Sampai jumpa di Singapore.”
Cellphone saya serahkan kepada Ester. “Kamu yakin, Tom akan menepati janjinya?”
“Entahlah! Tapi itulah satu-satunya impian kita. Ya kan?” kata Ester sambil menatap wajahku sendu.
“Hei! Ayo tersenyum!” Seruku sambil tersenyum ringan. ”Tidak ada yang perlu dikawatirkan. Aku engga mau liat kau stress. Mari berpikir positip. Karena itu doa sesungguhnya.” Ku elus pipi Ester dengan punggung jariku. Dia menempelkan pipinya di telapakku. “Aku terlalu mengkawatirkan kamu, Jak!”
“Ngomong-ngomong, kau terus berafiliasi dengan Tomasi semenjak terakir bertemu di Jakarta?”
“Ya. Kalau ia ke Hong Kong, Tomasi selalu menyempatkan diri untuk bertemu denganku.” Jawab Ester ringan.
“Oh. Makara kalian bersahabat ya? Pernah dating dengan dia?”
“Engga pernah. Kalaupun ketemu di café, ia selalu bawa temannya.”
“Kamu suka dia?” Selidiku.
“Maksud kamu?”
“Kamu mengasihi dia?”
“Engga!”
“Kenapa?”
“Sudahlah! Sampai ketika ini, hanya kau laki-laki di hatiku. Tapi tak pernah bisa kujangkau untuk menjadi suamiku. Tapi menjadi sahabatmu merupakan berkah tak terbilang.”
“Terima kasih. Bagiku menjadi sahabat kau lebih dari segala galanya.”
“Aku tahu. Semoga kita selalu bersama.” Aku memeluk Ester. Dia membalas pelukanku dengan hangat, ”jangan pernah tinggalkan saya ya?” katanya berbisik.
Senja berlalu dengan kesan mendalam di hati. Malam menjemput dengan kelamnya yang damai. Kami berjalan kaki ke arah Wanchai. Hong Kong di bulan Desember pada malam hari mencapai suhu duabelas derajat celcius. Kulirik Ester yang nampak kedinginan di balik gaun blazernya. Kulepas jas dan kukenakan padanya untuk membalut badan Ester melawan dingin. Dia melingkarkan tangan ke pinggangku untuk menghangatkan tubuhku. Kami saling menjaga dan melindungi satu sama lain. Selalu begitu. Tanpa pernah bertanya mengapa dan selalu memberi sebelum diminta.
Kami menghabiskan malam di café di daerah Wanchai, Lokhard road. Menjelang dini hari saya berniat mengantar ia ke apartement tapi Ester menolak. “Aku ingin tidur di hotel kamu. Boleh ya?” Katanya.