Memburu Harta (8)


Pukul tujuh pagi, Ester sudah pergi ke kantor. Dia berjanji akan menemuiku waktu makan siang. Aku tawarkan breakfast tapi di tolaknya. Dia buru-buruu alasannya ialah harus masuk kantor pagi-pagi. Katanya, beliau ada akad dengan klient-nya. Pukul sepuluh pagi ketika saya di restoran untuk breakfast, telpone celllularku bergetar.
“Jaka.Terimakasih untuk kerja kerasmu.” Terdengar bunyi Budiman sumringah.
“Mengapa kau bilang menyerupai itu, Bud? Kita ialah sahabat. Sudah seharusnya kita saling membantu.”
“Ya, Jak. Aku tahu,” kata Budiman terdengar riang. “Barusan saya sanggup kabar dari Banker, mereka sudah terima SBLC yang dikirim memakai SWIFT 760.”
“Apa?!” teriakku. ”SBLC sudah diterima? Benarkah  itu?” sambungku dengan bunyi meninggi.
“Ya! Hari ini officer bank akan melaksanakan verifikasi dan confirmasi. Bila memuaskan, maka dipastikan tiga hari lagi kredit cair. Terima kasih, Ja. Kamu menyelamatkan hidupku.”
Usai berbicara, saya segera menelphone Ester. ”Ester, Singapore sudah mendapatkan SBLC. Tomasi memenuhi janjinya.Terima kasih, Honey.”
Thanks God. Aku bahagia mendengarnya.”
“Besok saya berangkat ke Singapore.”
“Pastikan besok kau berangkat. Ingat, kau sudah akad dengan Tom.”
“Ya! Pasti saya datang.”
“Bagus.” Kata Ester denga riang. “Besok saya sanggup kiprah ke Beijing. Apabila  Tom masih di Singapore hingga weekend, saya akan terbang ke Singapore menemanimu.”
“OK. Aku tunggu ya. Bye, Ja.” 

***
Tomasi sudah menghubungiku untuk bertemu dengannya di Hotel Hyat Singapore. Pertemuan hari ini mengingatkanku pada kehangatan persahabatan dengan Fernandez, Tomasi dan Ester ketika liburan di Bali, beberapa tahun lalu. Kali pertama bertemu, saya melihat Tomasi sebagai sosok laki-laki Itali yang sama sekali tak layak disebut pengusaha. Style busana, postur tubuh, wajah serta potongan rambutnya yang selalu up to date, membuatnya lebih pantas jadi peragawan. Bukan pengusaha yang umumnya konservatif, dan bentuk badan yang, yah.. ala kadarnya. 
Namun dalam sebuah perjalanan ke Bali bersama Fernadez, saya bisa memastikan, Tomasi ialah seorang businessman yang hebat. Tomasi punya saluran ke jaringan berskala international dibidang financial. Akses yang tak semua pengusaha bisa tahu, apalagi bisa memperoleh jalur khususnya. Ketika keluar dari elevator, Tomasi melangkah ringan ke arahku yang sudah menantinya di loby.
Postur tinggi kekar, dengan jas mahal tergantung di tangan. Langkah kakinya mantap dan tatapannya lurus ke depan. Dan tak lupa, wajahnya selalu berhias  senyum. Aku pun balas tersenyum. Tomasi sama sekali tidak berubah. Dia menyerupai seorang peragawan yang jadi pengusaha. Atau pengusaha dengan style peragawan. Entahlah! 
“Senang bertemu lagi denganmu, Ja,” sapa Tomasi sambil menyalamiku erat.
“Ya. Terima kasih telah tiba ke sini. Seharusnya saya yang tiba ke Lugano,” kataku basa-basi.
“Ah,  tidak ada masalah. Kebetulan saya memang ingin mengajak kau bisnis.”
Pelayan lounge tiba memperlihatkan minuman. Tomasi memesan coffee dan saya mengangguk, memesan minuman yang sama.
“Bisnis apa?” tanyaku sambil tersenyum. “Sepertinya lagi ada yang hebat, ya?”
“Tidak ada yang hebat. Semua bisnis kini serba virtual dan kelihatannya semakin asing untuk bisa dipahami.”
“Apa maksudmu?”
“Pada dua dekade terakhir ini, telah terjadi deregulasi  pasar finansial besar-besaran, lengkap dengan dihilangkannya batas-batas perpindahan kapital antar negara dan antar sektor usaha. Salah satu misalnya ialah dihapuskannya peraturan Glass-Steagal AS yang melarang forum keuangan terlibat pribadi dalam aktivitas perbankan investasi dan perbankan komersial. 
Dampaknya, aktivitas spekulatif secara besar-besaran pun merebak, yang menciptakan sektor keuangan atau finansial menjadi sektor yang paling menguntungkan dalam ekonomi global. Spekulasi sektor keuangan menjadi demikian menguntungkannya sehingga selain dari aktivitas tradisional menyerupai simpan pinjam serta transasksi saham dan ekuitas, pada tahun 1980-an dan 1990-an muncullah bentuk-bentuk instrumen finansial yang lebih canggih, menyerupai futures,  swap,  dan option-derivatives,  di mana keuntungan diperoleh bukan dari perdagangan aset melainkan dari spekulasi dan asumsi risiko perihal nilai aset.” Tomasi menghentikan kata-katanya. Kemudian memperhatikanku dengan seksama. 
“Daya pikat sektor finansial dibandingkan dengan sektor-sektor ekonomi lain menyerupai perdagangan dan industri, terbaca terperinci dari data statistik. Di simpulan tahun 1990-an, volume transaksi harian pasar pertukaran luar negeri, mencapai angka 1,2 trilyun dolar. Setara dengan besarnya nilai transaksi perdagangan dan jasa pada semester itu. Transaksi sehari sama besar dengan satu semester,” lanjut Tomasi.
“Nah, dengan hujan uang pada sektor spekulatif, dan kebanyakan uang tiba dari luar AS, maka banyak perusahaan-perusahaan swasta industri, semakin menggantungkan pembiayaannya pada kredit dalam jumlah besar dan penjualan saham, ketimbang dari keuntungan yang diperoleh. Ketergantungan ini makin menebal di simpulan 1990-an, masa-masa simpulan presiden Clinton. Boom finansial ini menimbulkan ledakan aktivitas penanaman modal global, yang jadinya bermuara pada kelebihan kapasitas di mana-mana.
Pada simpulan 1990-an angka-angka indikator tampak sangat mencolok. Industri komputer di AS meningkat 40% per tahun, jauh di atas proyeksi demand tahunannya. Industri otomotif dunia hanya bisa menjual 74 persen dari kapasitas produksinya sebesar 70,1 juta kendaraan beroda empat per tahun. Saking banyaknya penanaman modal di bidang sarana telekomunikasi global, sehingga seluruh lalu-lintas dalam jaringan fiber-optic dunia gres menempati 2,5 persen dari total kapasitas jaringan tersebut,” kataku
“Luar biasa. Kamu memang pantas disebut sebagai consultant kelas dunia,” matanya berbinar. “Sektor eceran juga mengalami hal yang sama. Raksasa-raksasa eceran menyerupai K-Mart dan Wal-Mart mengalami kekurangan kawasan untuk barang-barang mereka. Terjadilah suatu fenomena, ‘kelebihan pasokan’ hampir di semua hal,” Kata Tomasi berapi-api.
“Pada akhirnya, perdagangan delusi ada batasnya. Alam aktual memperlihatkan kegagahannya dan mengintervensi dunia usaha pada tahun 2000, menimbulkan koreksi dan hilangnya kekayaan investor sebesar 4,6 trilyun dollar AS di Wall Street. Jumlah ini, berdasarkan Business Week adalah separuh dari Produk Domestik bruto AS, dan 4 kali jumlah kehilangan pada crash tahun 1987. Dengan di perparah oleh wabah dot.com, maka ekonomi AS mengalami resesi akut pada tahun 2001.
Dan alasannya ialah keadaan aktual sudah begitu usang ditutupi oleh topeng delusi kekayaan selama itu, maka butuh waktu lebih usang untuk mangatasi ketidak-seimbangan struktural yang telah terbangun. Itupun kalau memang mau diatasi.” Sambung Tomasi. Ia meneguk kopi yang hampir dingin. Kemudian meletakkannya kembali dengan gelisah. Sepertinya beliau sedang memikirkan sesuatu, entah apa.
“Lantas di mana tesis ekonomi selama ini yang katanya merupakan konsep kemakmuran itu?” sambungku. 
“Jak, tahukah kamu, suka tidak suka, konsep fatwa ekonomi yang digunakan oleh dunia, terlahir dari otak-otak Yahudi.”
“Ups, iya. Tepat sekali! ” seruku seketika. 

“Adam Smith, kelahiran Skotlandia tahun 1723. Dia menulis buku-buku populer menyerupai The Theory of Moral Sentiments dan An Inquiry into the Nature and Causes of the Wealth of Nations atau The Wealth of Nations. Adam Smith dikenal sebagai bapak perdagangan modern dan memberi instruksi menuju perdagangan global. Ia menentang Merkantilism. Ia menginginkan terbentuknya perdagangan yang bebas dari segala hukum pemerintah. 
Kemudian pada 1772, lahirlah David Ricardo, yang menjadi ekonom hebat di zamannya, juga praktisi di London Stock Exchange. Setelah membaca buku The Wealth of Nations, beliau sangat termotivasi untuk menentang segala bentuk perlindungan pemerintah. Namun tetap menganjurkan keadilan sosial dari kebebasan pasar melalui policy pajak. Sebagaimana tertulis dalam bukunya yang diterbitkan 10 tahun sehabis beliau wafat. Buku itu berjudul Principles of Political Economy and Taxation,” sambung Tomasi mantap. Kelihatannya beliau juga sangat menguasai sejarah perkembangan ilmu eknomi ini.
“Sejatinya, bagaimana pun juga, prinsip ekonomi akan tetap berafiliasi dengan kebebasan, walau diselipi dengan kebijakan Negara. Tapi apa artinya sebuah kebijakan bila prinsipnya tidak dirubah?” Kataku “Dan Alfred Marshall yang dilahirkan di London pada tahun 1842, tampil membawa ilmu ekonomi dalam matematika. Dia dikenal sebagai orang yang bisa membawa ekonomi sebagai sebuah sains, dan bukan filsafat menyerupai yang dijelaskan Adam Smith dan Ricardo. Dia berusaha menghindarkan ekonomi dari ranah politik. Bukunya yang populer ialah Economics of Industry dan Principles of Economics, dua buku yang menjadi literature wajib mahasiswa Ekonomi. 
Teorinya merupakan adonan dari supply and demand curva, marginal utility dan marginal production. Teori Marshall ini mencapai puncaknya ditangan John Maynard Keyness yang dilahirkan pada tahun 1883. Kenyness juga yang mendorong biar pemerintah aktif melaksanakan intervensi pada kebijakan moneter dalam rangka mengatasi imbas dari resesi ekonomi. Artinya Keyness lebih menekankan pasar yang regulated. Bukunya yang populer ditulis pada tahun 1935 berdasar pengalaman great depression, ialah General Theory of Employment dan Interest and Money. " Sambungku.
" Kemudian muncul Milton Friedman. Dia lahir pada tahun 1912. Dia membaca buku Kenyness untuk mengoreksi Keyness. Dia menentang pasar yang regulated dan juga menentang intervensi pemerintah di bidang moneter. Idenya itu ditulis pada tahun 1962 dalam buku yang sangat terkenal, Capitalism and Freedom. Inilah dasar perlunya demokratisasi ala liberal. Tak lain sebagai prasyarat berjalannya ekonomi liberal, demi terwujudnya sistem capitalisme and freedom milik Friedman. 
Ini artinya kebebasan usaha di bidang investasi, perdagangan, keuangan dan lain-lain harus terjamin, biar campur tangan pemerintah dalam aktivitas ekonomi riil semakin berkurang. Pada tahun 1976, Friedman memenangkan Nobel Prize di bidang Ilmu Ekonomi, dengan tesisnya perihal prinsip korelasi antara jumlah uang beredar dan inflasi. Dia mengatakan pidato pada tahun 1988 untuk mahasiswa Cina yang dianggap menjadi kepingan dari reformasi ekonomi Cina. Friedman hingga kini dikenal sebagai bapak ekonom capitalism dan penggagas lahirnya neoliberal.” Kata Tomasi menguatkan.
“Ya. Keyness telah dikoreksi oleh Friedman dan jadinya Friedman-lah yang mengakibatkan Amerika Serikat terjerat dalam resesi berulang dari masa kemasa. Di tengah situasi vulnerable  itulah ekonom bermain main dengan tesis. Ketika jatuh mereka mulai melirik Kenyness kembali untuk masuk dalam ekonomi yang regulated namun tetap ogah berpaling dari capitalisme. 
Benar-benar sistem yang kacau dan menjanjikan masa depan yang suram. Dalam situasi menyerupai inilah para ekonom akan berbeda pandangan. Inilah akhir bila agama dibelakangi. Akhlak mulia mengabur. Sudah cukup lelah kita semua dengan segala prahara yang tak perlu terjadi akhir keculasan dan kebodohan diri sendiri,” kataku coba mengakhiri.
Tomasi tersenyum mendengar kesimpulan yang berakhir pada perlunya agama. “Kamu tak pernah berubah. Selalu pada jadinya meminta dunia kembali kepada agama.”
“Kita sama-sama mengetahui bahwa semua tesis perihal ekonomi yang selama ini dijadikan pijakan masyarakat sekular, berasal dari ilmuwan Yahudi. Sementara kami percaya apa kata kitab suci, bahwa Tuhan telah menegaskan, Islam itu agama yang tepat dan komprehensif. Kami juga tidak menolak sekularisme asalkan tidak bertentangan dengan agama yang kami yakini. Kami siap berdialog dan mungkin berguru dari kaum sekular,” kataku.
Kami melamun sejenak. Seakan saling memahami apa yang kami diskusikan namun tetap berbeda. Beberapa detik sehabis itu, Tomasi bertanya, “bagaimana perkembangan urusanmu di bank Singapore?”
“Ya! Sangat tepat dan memuaskan!” Jawabku senang.
“Bagus.”Tomasi menyambut gembira.”Apakah kredit line sudah cair?”
“Minggu depan sudah cair.”
“Bagus!” Serius Tomasi. “Nah sekarang, kau tahu bahwa SBLC itu cash colateral. Apapun yang terjadi, simpulan tahun SBLC itu akan di collect apabila kau gagal bayar utang ke bank. Benar, kan?”
“Benar!”
“Apakah kau sudah punya exit bila simpulan tahun kau gagal bayar utang  ke bank?”
“Belum ada. Aku hanya punya exit dalam lima tahun. Aku sudah sampaikan kepada Ester soal ini.”
“Kalau begitu, resiko ada padaku. Resiko pasti!” Kata Tomasi dingin.
“Aku tak mau memberi akad padamu, Tom. Aku pastikan belum ada solusi atas ini. Maafkan saya kalau kau harus menanggung resiko. Tapi bagaimanapun saya akan minta clients-ku menyerahkan assetnya  untuk kau pegang sebagai jaminan bahwa dalam lima tahun beliau akan bayar plus bunga.”
“Aku ada solusi!” Tomasi tampaknya tidak tertarik dengan usulanku menyerahkan jaminan asset Budiman. 
“Katakan.”
“Bisakah saya medapat 20% dari total kedit line yang clients kau terima?”
“Untuk apa 20% itu?” Tanyaku bingung.
“Aku punya exit taktik dengan masuk ke leverage  jadwal pasar uang di bawah kuridor 144 A  SEC. Uang 20 % itu akan saya pakai untuk bayar collateral fee dari pemegang asset yang mau mengatakan mandat untuk kau masuk dalam leverage  jadwal di Eropa.”
“Aku?! Mengapa harus aku?” Aku bertanya sekaligus terkejut dengan pernyataan Tomasi.
“Kamu hebat create credit line. Aku butuh kamu, Jaka.”
“Tapi aku  tidak  punya koneksi di bank Eropa.”
“Aku punya koneksi yang akan membantu kau mengakses perbankan di Eropa.”
“Aku  butuh team.”
“Aku akan sediakan team untuk kamu. Mereka punya reputasi  untuk pekerjaan itu.”
“OK walau belum saya bicarakan dengan clientku, tapi saya yakin beliau akan sepakat menyediakan 20% dari credit  line. Dan saya yakin tidak mengganggu anggaran clients untuk membayar utangnya. Karena asumsi hair cut yang kubuat sangat konservatif. Clientsku akan bisa perundingan dengan otoritas apabila ada uang di tangannya. Toh semua resiko kau yang tanggung sekarang.” Kataku.
“OK. Pastikan rencana ini sukses. Karena kalau gagal maka simpulan tahun SBLC itu akan di collect. Karena kamu  tidak punya sumber keuangan membayarnya. Tapi kalau berhasil kau bisa dapatkan profit dari leverage program. Profit itu bisa digunakan untuk melunasi hutang dan SBLC selamat dari call.”
“Paham.Tom.”
“Bagus!”
Kami mengakiri pertemuan itu alasannya ialah Tomasi ada akad untuk bertemu dengan relasinya. Sebelum berpisah, Tomasi berkata kepadaku dengan nada terkesan dingin, “Ja, tolong jaga kerahasian deal kita termasuk kepada Ester.”
“Mengapa Tom?” saya heran mengapa harus dirahasiakan? Deal apa ini?
“Apakah kau menyayangi Ester?”
“Ya!”
“Kalau begitu percayalah padaku. Jangan bicara apapun kepada Ester. Kamu kan tahu sifat Ester. Dia terlalu perlindungan kepadamu. Aku mengkawatirkan beliau larut dengan transaksi yang akan kita create.
“Aku tidak mengerti, Tom.”
“Aku memberimu cash collateral. Itu jumlah yang tidak sedikit. Apakah kau kira itu mudah? Apakah itu kurang cukup menciptakan kau percaya kepadaku? Ingat Ja, kita dekat dan sama-sama mengharapkan yang terbaik untuk Ester. Ya kan?”
“Aku paham Itu. Tapi belum bisa mengerti.”  
“Kamu akan mengerti sehabis kita bertemu di Swiss.”
“Baiklah, Tom.” Kataku dengan berat.
“Bagus. Ingat pesanku, ya? Mulai kini tutup komunikasi dengan Ester.” 
Aku hanya diam. Ada apa ini? Mengapa saya harus kehilangan Ester sehabis menyelamatkan sahabatku Budiman? Selama ini Ester telah membantuku untuk menyelamatkan komitmenku kepada Budiman. Dia selau mengkawatirkanku. Sangat halus memperlakukanku. Dia yang tak henti menantiku menyentuhnya tanpa kehilangan kesabaran.  Dia yang selalu ada untukku. Yang selalu terjaga dari lelap tidur bila saya menelephonya. Kini saya harus menjauh darinya hanya alasannya ialah kepentingan exit strategy dari penyediaan cash collateral oleh Tomasi.
Aku berada di persimpangan jalan. Apakah saya harus mengikuti saran Tomasi atau melupakannya? Aku tidak bisa mengabaikan saran Tomasi. Karena walau saya jarang bertemu dengannya namun beliau ialah sobat yang tiba di dikala saya terjepit  dan berkorban untuk itu.  Akhirnya saya menyadari bahwa dalam medan pertempuran kita tidak bisa memenangkan semua lini. Kadang kita harus mengorbankan banyak lini untuk meraih kemenangan dalam peperangan. Setiap usaha butuh pengorbanan. Aku yakin Ester akan mengerti keadaanku bila saya kehilangan kontak dengannya.  Aku yakin beliau percaya bahwa saya tidak akan pernah melupakanya apalagi meniggalkanya.  Semoga bila semua ini telah berakhir, saya sanggup bertemu kembali dengan Ester. 
Sebelum berpisah, Tomasi kembali mengingatkanku untuk tiba ke Swiss. Dia juga berjanji akan mempertemukaku dengan seseorang yang akan memberiku mandat aset sebagai collateral,  biar bisa menerima akomodasi credit untuk masuk ke pasar uang. 


Sumber https://bukuerizelibandaro.blogspot.com/

Artikel Terkait