Saya tidak mempermasalahkan bila PKB bergabung dengan PDIP sebagai mana hal yang sama dilakukan oleh Nasdem dan Hanura. Mengapa? PKB didirikan oleh Gus Dur yang dikenal sebagai pejuang pro demokrasi kala Soeharto. PKB tidak ada relasi struktural dengan NU dan Nahdlatul Ulama (NU) sebagai forum sudah mengambil perilaku yang tegas yaitu khittah yang secara sederhana berarti bahwa NU sebagai Ormas tidak bersinggungan langsung dengan politik praktis. Kalau dibaca anggaran dasar PKB maka jelaslah asas PKB ialah Pancasila, bukan islam.Jadi berkoalisinya PKB dengan PDIP itu atas dasar platform politik. Makanya ketika pra syarat koalisi yand ditetapkan PDIP / Jokowi ialah tidak ada bagi bagi kekuasaan kecuali jadwal kerjasama maka semua setuju. Mengapa ? Ya alasannya ialah platformnya sama. Siapapun yang duduk di kabinet niscaya akan menjalankan platform tersebut. Kaprikornus tidak penting siapa dari partai apa. Yang penting yang berkualitas. Makanya ketika PKS merapat dan berharap korsi, langsung ditolak oleh PDIP. Begitu juga ketika PAN merapat ke PDIP yang menginginkan Hatta sebagai wapres langsung ditolak oleh PDIP. Begitupula dengan Golkar. Ya alasannya ialah PKS, PPP, PAN , Golkar mempunya platform ( asas) yang berbeda ( walau banyak kesamaannya ) dengan PDIP. Kaprikornus masuk akal saja kalau PKS,PAN, PPP, Golkar meminta jabatan di kabinet biar jadwal partainya sanggup dikawal. Namun negosiasi belum tuntas,Prabowo bergerak cepat untuk menarik mereka bergabung dalam koalisi gemuk.Maka yang terjadi , terjadilah. Inilah yang sangat saya sesali alasannya ialah saya pemilih PKS.
Namun bagaimanapun upaya PKS, PAN,PPP untuk berkoalisi dengan PDIP masih bisa diterima alasannya ialah asas Islam tidak jauh berbeda dengan nasionalis sosialis atau Pancasila. Mamang ada perbedaan platform antara Nasionalis sosialis dengan Islam namun jauh lebih banyak kesamaannya sehingga bisa berjalan seiring sejalan. Namun dengan Garindra , ini terang sulit diterima.Ini sama menyerupai air dengan minyak. Sulit bisa menyatu. Kalau kita baca literatur politik fatwa di Indonesia, platform politik nasionalis semacam Gerindra tidak bisa berkoalisi dengan PAN, PPP dan PKS yang kental dengan garis Islam. Makanya consultant politik ternama di Amerika yang CEO nya pernah menjadi Menteri Keuangan Amerika, juga wakil dari Gbobal Banker meyakinkan saya, bahwa mereka tidak melihat kompetisi politik di Indonesia menyerupai kompetisi idealisme. Mereka hanya melihat bahwa ini semua hanyalah business. Partai Islam yang merapat ke Garindra bukanlah alasannya ialah idealisme membela platform agama tapi untuk mendapat posisi harta dan kekuasaan.Ya menyerupai sharing stock dalam portfollio investasi. Makanya deal tercipta dengan gampang dan meluas, hingga merapatnya Golkar pun alasannya ialah deal business. Nah dengan adanya Joint venture business group ini maka apa jadwal sebetulnya dari mereka ?.Seorang sobat yang bekerja sebagai consultant strategic business di Hong kong menyampaikan bahwa ketika kini ini, sehabis adanya crisis global telah terjadi pergeseran nilai wacana neoliberal. Diperlukan kekuasaan dalam business concept yang dibangun atas nama nasionalisme namun orientasinya hegemony capitalism. Bagaimana?
Dengan adanya demokratisasi dan liberalisasi disemua sektor ternyata tidak semua baik untuk tujuan jadwal rezim capitalism yang dikelola oleh financial player. Kebebasan pasar juga ialah kebebasan investasi. Ternyata dinegara yang telah tumbuh demokratisasi juga tumbuh semangat bangkitnya keunggulan local dalam business dan investasi. Seperti di Rusia, ketika Komunis tumbang digantikan demokratisasi justru kekuatan lokal berperan lebih besar dibandingkan investor asing. Dalam kompetisi tekhnologi maupun rekayasa pasar , pemain lokal jauh lebih unggul dibandingkan investor asing. Hal ini juga terjadi di Amerika latin yang sehabis reform dan kehidupan politik sangat demokratis , mereka berhasil menasionalisasi investasi ajaib dengan menunjukkan kesempatan luas kepada kekuatan lokal untuk bersaing dengan platform baru. Dengan UU gres dibidang investasi , justru kekuatan ajaib sangat lemah untuk bisa bersaing dengan lokal. Sementara Barat ( eropa dan Amerika) justru semakin melemah akhir kemakan oleh arus kompetisi dari negara Asia dan Amerika latin yang begitu dinamis dan kreatif. Puncaknya ketika crisis global, justru yang paling besar korbannya ialah Barat. Rusia dan Amerika latin termasuk Indonesaia kondusif aman saja walau tidak seindah sebelum krisis. Belajar dari kasus Uni Soviet dan Amerika Latin, dan krisis glonbal , para capitalism melihat perlunya dilakukan pembiasaan terhadap referensi untuk penguasaan negara-negara yang kaya akan pasar dan SDA. Solusinya ialah perlunya pemimpin yang diktatorial dan Rezim yang berpengaruh untuk memastikan hanya strategic partner yang bisa menguasai SDA dan pasar dalam negeri. Harus ada kondisi yang memungkinkan kekuatan local lemah bersaing dengan ajaib ( strategic Parners ).
Apa artinya ini? Akan ada adjustment regulation untuk investasi di sektor Migas, Pertambangan mineral , Perkebunan Besar dan property, financial, IT, infrastruktur dimana hanya investor yang menjadi strategic partnership yang bisa mengiktui adjustment regulation ini.Tentu concept regulationya sudah dipersiapkan jauh sebelumnya oleh sang creator yang terafiliasi dengan global banker menyerupai Jp Morgan dll. Dalam referensi ini maka jargon nasionalisme sangat kental dikemukakan dalam bentuk retorika dan hukum namun dibalik itu memasung kekuatan lokal untuk bisa bersaing dengan investor asing. Contoh Block Mahakam harus dikuasai Pertamina.Itu aturannya yang sesuai dengan nasionalisme. Tapi untuk itu Pertamina harus menggandeng investor yang sudah ditetapkan kalau tidak Pertamina tidak akan mendapat sumber pembiayaan. Ketika Pertamina oke maka selamanya pertamina bekerja untuk asing. Percis penguasaan MIGAS di Arab Saudi, Kwait, Emirate Arab. Semua tambang harus diolah didalam negeri. Akan ada hukum sehinga smelter bisa terbangun, dimana pemilik smelter berhak membeli atas saham pemilik tambang, begitupula sebaliknya. Aturan ini hanya mungkin bagi investor ajaib untuk membangunnya dan mustahil lokal bisa sebagaimana yang telah diterapkan di Irak dan Kazakstan. Karena membangun smelter sudah sangat mahal , apalagi diharuskan membeli saham dari perusahaan tambang. Kaprikornus singkatnya ialah kekuatan capitalism memakai tangan penguasa melalui kelembagaan business untuk memudahkan mereka menguasai pasar dan SDA.
Menurut sobat saya, Indonesia sudah digarap semenjak empat tahun kemudian oleh Top Financial Player Mengapa? Awalnya mereka mengakibatkan PDIP dan Garindra sebagai sasaran namun ketika Jokowi di calonkan secara resmi sebagai Capres, dengan tegas Jokowi menolak business concept yang diajukan global banker melalui dubes Amerika. Kini hanya Garindra sebagai kawan Global banker. Membiarkan Indonesia menjadi sangat liberal tidak menguntungkan. Mereka, para capitalism itu, lebih menyukai bila Indonesia market regulated dan dikuasai negara melalui BUMN, sehingga hanya segelintir investor Strategics (Strategic Partnership) yang menjalin relasi dekat dengan BUMN saja yang diizinkan mengolah sumber daya. Dalam referensi ini, ujar sobat saya tersebut, akan bermunculan tokoh-tokoh yang menjual gosip “Nasionalisme” namun sebetulnya mereka ini tidak lain hanya boneka ajaib ( settlor ) untuk penguasaan aset secara eksklusif. Dan itulah mengapa Rothschild mendukung Prabowo sebagai Capres. Menjadikan Prabowo sebagai Presiden bagi Global Banker ialah proyek ambisius dan sangat memilih masa depan global para Top Financial Player , apalagi tahun depan akan ada CAFTA. Tentu tidak sedikit dana digelontorkan untuk membeli semua mereka yang mendukung proyek ini.Nah kalau Jokowi menang maka Indonesia akan sama seperti, Iran, Bolivia dan Venezuela.Tapi kalau Prabowo menang maka masa depan Indonesia akan sama menyerupai Irak, Kwait, Arab Saudi, Emirate Arab, Kazakhtan, yang hingga kapanpun tidak akan bisa mandiri. Silahkan tentukan pilihan anda.
Sumber https://culas.blogspot.com/