Pada suatu hari di masa ke-7, dua orang Madinah bertengkar. Yang satu Muslim dan yang satu lagi Yahudi. Yang pertama mengunggulkan Muhammad SAW ”atas sekalian alam”. Yang kedua mengunggulkan Musa. Tak sabar, orang Muslim itu menjotos muka Si Yahudi. Orang Yahudi itu pun tiba mengadu ke Nabi Muhammad, yang memimpin kehidupan kota itu. Ia ceritakan apa yang terjadi. Maka Rasulullah pun memanggil Si Muslim dan berkata: ”Janganlah kamu unggulkan saya atas Musa. Sebab di hari simpulan zaman semua umat jatuh pingsan, dan saya pun jatuh pingsan bersama mereka. Dan akulah yang pertama bangun dan sadar, tiba-tiba saya lihat Musa sudah berdiri di sisi Singgasana. Aku tidak tahu, apakah ia tadinya juga jatuh pingsan kemudian bangun sadar sebelumku, ataukah beliau yaitu orang yang dikecualikan Allah”.
Riwayat ini dikutip dari Shahih Muslim, Bab Min Fadla’il Musa. Dalam buku Abd. Moqsith Ghazali ," Argumen Pluralisme Agama", hadis itu dituturkan kembali sebagai salah satu pola pandangan Islam perihal agama yang bukan Islam, khususnya Yahudi dan Kristen. Buku ini di endorsement KH A Mustofa Bisri. Moqsith, sosok tenang dan alim yang mengajar di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah ini, tiba dengan pendirian yang kukuh: Islam yaitu ”sambungan—bukan musuh—dari agama para nabi sebelumnya”, yang sering disebut sebagai agama-agama Ibrahim. Ia mencoba membongkar sumber-sumber klasik dan modern dalam banyak sekali bahasa: Arab, Inggris, dan Indonesia. Ia berkeyakinan bahwa “pluralisme agama adalah keniscyaan agama Tauhid” yang didukung oleh segudang argumen keagamaan dari banyak sumber primer, dan dengan banyak sekali perspektif keilmuan Islam. Buku ini “sebagai pikiran cerdas, bernuansa, reflektif dan mencerahkan mengenai wacana pluralisme”.
Karya ini tadinya yaitu disertasi untuk meraih gelar Doktor Bidang Tafsir dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah. Judulnya yaitu “Pluralitas Umat Beragama dalam al-Qur’an: Kajian terhadap Ayat Pluralis dan Tidak Pluralis”. Hanya dikala hendak dibukukan judul diubah menjadi “Argumen Pluralisme Agama: Membangun Toleransi Berbasis Al-Qur’an”. Perbedaan lain yaitu terselipnya embel-embel sub kepingan mengenai perkawinan beda agama yang tidak ada dalam disertasi. Buku ini tak sekadar wacana dan pernyataan alasannya kobaran ghirah keberagamaan atau semangat pembaruan, tapi merupakan hasil kerja keras penelitian. Penelitian secara ilmiah perihal sesuatu yang bahwasanya atau seharusnya bukan menjadi masalah. Tapi, bagi mereka yang mengakibatkan kemapanan sebagai mazhab, mungkin yang ditulis Muslim muda, Abd Moqsith Ghazali, ini dianggap baru, bahkan mengagetkan. Terlepas dari itu, argumentasi tesis dalam buku ini meyakinkan kecuali tentunya bagi mereka, yang sekali pun bersahabat dengan kajian keislaman, memiliki hambatan mental (mental block) tertentu. Bagi saya, karya ini yaitu sebuah kegigihan akademik yang bernilai tinggi dan niscaya punya jangkauan jauh.
Tapi yang bagi saya menarik yaitu kata-kata Muhammad SAW yang dikutip di sana: ”Janganlah kamu unggulkan saya atas Musa”, dan, ”aku tidak tahu…”. Kini kata-kata itu tenggelam. Kini sebagian ulama merasa di atas Rasulullah: mereka merasa tahu keunggulan diri mereka. Mereka akan membenarkan Si Muslim yang memukul Si Yahudi. Mereka bahkan mendukung aniaya terhadap orang yang ”menyimpang”, dan melaksanakan teror demi jihad. Saya sering bingung. Satu kalimat suci terkadang sanggup menciptakan orang jadi lembut, tapi satu kalimat lain dari sumber yang sama sanggup menghalalkan pembunuhan. Saya yakin agama tidak menciptakan orang berbeda paham untuk bertengkar,apalagi bau bau darah. Tapi mengapa terjadi? Mungkin pada mulanya bukanlah agama. Agama, ibarat banyak hal lain, terbangun dalam ambiguitas. Dengan perut dan tangan, ambiguitas itu diselesaikan. Tafsir pun lahir, dan kitab-kitab suci berubah peran, dikala insan mengubah kehidupannya. Yang suci diputuskan dari bumi. Pada mulanya bukanlah Sabda, melainkan Laku.
Tapi juga benar, Sabda punya kesaktiannya sendiri sehabis jadi suci; ia sanggup jadi awal sebuah laku. Kekerasan tak meledak di sembarang kaum yang sedang mengubah sejarah. Ia lebih sering terjadi dalam sejarah Yahudi, Kristen, dan Islam: sejarah kepercayaan yang berpegang pada Sabda yang tertulis. Pada gilirannya kata-kata yang direkam beku dalam huruf itu menghendaki kesatuan tafsir. Tapi perbedaan itu memang sudah takdir. Dan sesungguhnya perbedaan itu yaitu rahmat. Namun bagi sebagian yang tidak mendapatkan ini maka muncul pertikaian yang tak sudah. Ini merupakan cobaan bagi orang beriman bahwa pada jadinya hidup tenang itu lebih dekat kepada ketaqwaan.
Sumber https://bukuerizelibandaro.blogspot.com/