Presidentil?

Memang tidak gampang menjalankan kekuasaan ditengah aneka macam kekuatan dengan kepentingan berbeda beda. Ada tiga group yang punya kepentingan terhadap posisi Jokowi. Golongan pertama yaitu mereka yang punya kepentingan business. Golongan ini dikenal dengan istilah “main dua kaki” Kanan kiri OK. Siapapun yang menang mereka mendapat laba lantaran keduanya mendapat bantuan dari mereka.  Golongan ini lebih lebih banyak didominasi mendekati elite Partai daripada Jokowi, alasanya semoga kerahasiaan sumbangan mereka tetap terjaga. Makara apa bekerjsama deal antara pengusaha dengan elite Partai , niscaya Jokowi tidak akan tahu.  Jokowi gres mencicipi kehadiran pengusaha itu dikala Partai bereaksi bila kebijakannya mengganggu kepentingan Pengusaha, termasuk bila menteri pilihannya tidak sesuai dengan kehendak pengusaha. Golongan kedua yaitu pihak negara gila yang punya kepentingan terhadap geostrategisnya. Pihak negara gila bisa mendekati Partai secara eksklusif namun juga bisa mendekati Jokowi secara tidak eksklusif yaitu melalui NGO yang bekerjasama dengan  asing. Bantuan mengalir tidak hanya dalam bentuk uang tapi juga info dan konspirasi media massa. Golongan ini akan bereaksi bila kepentingannya geostrategisnya terganggu. Group ketiga yaitu Ormas keagamaan. Keberadaan ormas bekerjsama tidak sepenuhnya berada disemua pihak namun bisa saja ada dimana mana. Ormas agama biasanya bekerjasama dengan salah satu partai pendukung. Mereka akan bereaksi negative bila kementerian Agama diberikan kepada pihak lain atau ada kebijakan yang merugikan umat islam.

Ya, benar bahwa dalam sistem demokrasi liberal ibarat Indonesia ini, tidak ada kekuasaan didapat tanpa "biaya". Semua proses menjadi RI-1 itu memakan ongkos sangat mahal. Semua pihak yang terlibat baik melalui hartanya, pengaruhnya, ketokohannya, tenaganya, berhak mendapat reward dari terpilihnya seseorang mendapat kekuasaan. No such free lunch. Jadi bila penetapan calon anggota kabinet terkesan lambat maka itu bukanlah lantaran cermin perilaku Jokowi pribadi. Itu yaitu cermin wacana Jokowi yang tidak bebas memilih perilaku layaknya presiden dalam sistem presidentil. Group yang ada dibalik terpilihnya ia sebagai Presiden sedang menuntut belahan sharing nya. Mereka ingin ikut berperan memilih siapa yang pantas menjadi Menteri. Karena maklum saja bahwa Partai itu diisi oleh orang orang yang sudah terikat dengan commitment kepada pihak lain. Tentu commitment ini harus dijaga dan di delivery. Kalau tidak maka Partai akan ditinggalkan "pendukungnya" dan ini tidak bagus untuk hubungan jangka panjang. Jokowi sadar itu tapi Jokowi bukanlah produk Partai yang murni. Ia seorang anak bangsa yang berlatar belakang wiraswasta yang melamar ke Partai untuk menjadi pemimpin. Tidak ada jaminan ia akan sukses di Partai namun ia harus siap berkorban. Dia telah berkorban dan ia mendapat miliknya. Partai berhak namun Jokowi lebih berhak. Mengapa? hak partai pernah dipakai namun dua kali gagal menempatkan Ketua Umum sebagai presiden. Ini fakta. 

Setelah menjadi Presiden,Jokowi yaitu milik semua pihak. Jokowi hanya ingin menunjukkan reward kepada para pendukungnya dalam bentuk natura. Bahwa misi keberadaan partai berjuang untuk kepentingan orang banyak sanggup direalisasikan dengan menunjukkan kemakmuran dan kesejahteraan kepada rakyat. Dan itu harus dengan kerja keras dan amanah. Jokowi hanya ingin memastikan siapapun termasuk pengusaha yang mendukungnya mendapat keadilan distribusi kesempatan dan modal untuk lahirnya masyarakat mandiri. Jokowi ingin pastikan kepentingan geostrategis gila tidak mengorbankan Indonesia, dan lantaran itu perlu adanya kemitraan yang adil. Agar semua komponen masyarakat mencicipi kehadiran negara untuk dibelanya kebenaran, dilaksanakannya kebaikan dan tegaknya keadilan. Hanya ibarat itu balas kebijaksanaan yang harus ditunaikannya. Kalau lantaran sikapnya itu ada pihak yang merasa dirugikan maka itu yaitu resiko yang harus dihadapinya. Ingat bahwa tidak ada keputusan yang bisa menyenangkan semua pihak namun Jokowi harus berada disemua pihak. Jangan salahkan Jokowi bila ia harus berdamai dengan Prabowo dan menaruh hormat kepada SBY. Jangan salahkan Jokowi bila ia "berbicara" face to face dengan ARB.Jangan salahkan Jokowi kalau secara membisu diam ia bersahabat dengan elite PKS. Dia paham bahwa sistem demokrasi menyediakan ruang palka untuk dialogh dan kompromi lantaran tidak ada satupun yang ingin chaos. Tidak ada satupun yang ingin kapal NKRI ini karam. Semua ingin berlayar dengan cuaca teduh dan langit cerah.

Karenanya jangan salahkan Jokowi bila dengan santun memakai tangan KPK menolak susunan kabinet yang diinginkan Partai dan koalisi. Jokowi hanya inginkan kepastian bahwa siapapun yang menjadi menteri maka tidak ada lagi kaitannya dengan partai. Menteri harus dan hanya patuh kepada Presiden, dan Presiden patuh kepada kehendak rakyat dan konstitusi. Ini harus clear! Jadi dengan situasi tersebut maka kita sebagai rakyat harus cerdas. Apapun reaksi sumbang dari elite partai , media massa ( bisa saja lantaran pesanan dari asing) maupun ormas atas kebijakan atau perilaku Jokowi maka itu semua lantaran kepentingan mereka tergangu. Itu aja. Itu sebabnya Jokowi membutuhkan Kabinet yang diisi oleh orang yang bersih. Logikanya sederhana bahwa bila orang yang berada pada posisi puncak namun rekam jejaknya higienis maka ia memang terlatih untuk menjadi petarung,setidaknya bisa mengalahkan dirinya sendiri. Tentu tidak sulit baginya bertarung melewati tantangan yang berat melalui cara yang smart tanpa menciptakan pihak lain merasa dirugikan namun kepentingan nasional tidak dikorbankan. Mengapa? Walau sistem negara kita menganut presidentil dimana  penguasa tunggal pemerintah dan negara yaitu President namun dengan diamandemen nya Undang-Undang Dasar 45 kekuasaan itu terdisitribusi secara sistematis sesuai dengan trias politika. Berdasarkan UUMD3 Partai yaitu penguasa di DPR. Melawan Elite Partai sama saja melawan DPR. Team yang "bersih" akan bisa menjaga keseimbangan semua pihak. 


Sumber https://culas.blogspot.com/

Artikel Terkait