Banyak yang mempertanyakan keberpihakan pemerintah atas nasip etnis Rohingya, yang kini terpaksa eksodus keluar negeri dan tinggai kawasan pengungsian Pada dikala kini ada 12.000 pengungsi Rohingya yang ditampung di Indonesia. Indonesia paling banyak menampung pengungsi dibandingkan Malaysia dan Thailand. Menghadapi gelombang gres kedatangan kapal pengungsi yang terkatung katung di perairan Aceh,pemerintah bersikap terperinci sesuai dengan koridor Internasional. Mengapa ? sebab hak pengungsi dijamin oleh kesepakatan international. Karenanya ada dua hal yang dibutuhkan pemerintah kepada masyarakat Internasional dalam penanganan imigran Rohingya. Pertama, pemerintah mengharapkan komitmen masyarakat internasional untuk memberi tunjangan kepada imigran Rohingya dalam konteks pendanaan baik secara eksklusif ataupun melalui tubuh internasional menyerupai UNHCR atau IOM. Kedua, pemerintah mengharapkan tanggung jawab negara-negara yang mempunyai perjanjian duduk kasus pengungsi. Ada 45 negara, merekalah yang seharusnya mempunyai generousity (kemurahan hati) yang lebih untuk bersedia menunjukkan kawasan kepada imigran. Makara tidak sanggup dengan begitu saja menampung pengungsi. Misal dengan kebaikan hati kita menampung dan ternyata ada yang sakit atau meninggal. Ini sanggup saja jadi issue international bahwa Indonesia menelantarkan pengungsian. Tapi apabila ada dukungan internasional maka semua pihak punya perwakilan di kamp pengungsi dan apapun yang terjadi menjadi duduk kasus bersama sama.
Bagaimana perilaku politik resmi pemerintah terhadap duduk kasus Rohingya ini ? Indonesia akan selalu menunjukkan dukungan eksklusif kepada Myamar untuk keluar dari krisis. Apalagi dikala kini Myanmar yakni anggota ASEAN. Tentu lebih gampang diajak berdilogh. Tapi memang tidak gampang menyelesaikannya. Karena masalah etnis Rohingya di Burma yakni duduk kasus usang yang tak pernah tuntas diselesaikan oleh sejarah. Tapi konplik yang kini terjadi yakni akhir dari pertarungan kepentingan politik Negara besar yang ingin menguasai Myanmar secara tidak langsung. Apa pasal? Myanmar memang dikenal sebagai Negara kaya SDA, mencakup emas, berlian dan migas. Terutama ketika tahun 2004 ditemukan gas bumi di Shwe (emas) Blok A1-Teluk Bengal. Prakiraan deposit gas mencapai 5,6 triliun kubik yang tidak akan habis di eksploitasi hingga 30 tahun, maka sejak itulah bentangan pantai sepanjang 1.500 km antara Teluk Bengal - batas bahari Andaman, Thailand menjadi incaran Negara Negara seperti Cina, Jepang, India, Perancis, Singapura, Malaysia, Thailand, Korsel dan Rusia. Negara Negara terserbut bertarung mendapat konsesi untuk eksplorasi serta eksploitasi kecuali AS agak belakangan melalui Chevron (AS) dan Total, Perancis. Tapi yang paling agresip menguasai Myanmar yakni China dan kemudian Rusia. Kedua Negara ini bukan hanya menguasai konsesi minyak dan gas tapi juga terlibat aktif menunjukkan tunjangan peralatan militer kepada junta militer di Myamar, juga menunjukkan tunjangan dana tidak sedikit untuk pembangunan infrastruktur ekonomi.
Saat kini china sedang berambisi menuntaskan pembangunan pipa minyak sepanjang 2.300 km dari pelabuhan Sittwe, Teluk Bengal hingga Kunming, Cina Selatan. Depat dibayangkan cengkaram China akan Myanmar sangat kuat. Bila project ini selesai maka pasti seluruh impor minyak dari Timur Tengah dan Afrika cukup dipompa melalui Sittwe ke salah satu kilangnya di Kunming. Apabila proyek itu selesai maka geopolitik di Asia Tenggara bakal berubah, terutama dalam hal distribusi minyak. Ibarat memangkas jarak pelayaran sejauh 1.820 mil bahari , bahkan lebih dari sekedar memangkas jarak, modal transportasi import minyak Cina dalam jalur sangat kondusif dan lebih murah. Amerika dan Barat memang hanya penerima pasif ditengah hegemoni China dan Rusia terhadap Myanmar namun bukan berarti AS dan Barat berikhlas hati terhadap itu semua. AS dan Barat paham betul bahwa ada saatnya mereka bergerak untuk menjadi pemenang. Kesalahan paling besar bagi Rusia dan China yang punya saluran kepada Junta Militer Myanmar yakni gagal meyakinkan pemerintah Myanmar untuk menuntaskan duduk kasus Rohingya. Padahal ini potensi konplik terpendam yang gampang diledakan oleh siapapun yang tidak menginginkan stabilitas di Myanmar.
Memang etnis Rohingya tidak pernah diakui sebagai potongan dari Burma. Tidak menyerupai etnis Bamar, Karken, Kayah, Chin, Arakan (disebut Rakhine), Mon, Kachin yang mendapat hak layaknya warga Negara syah. Mengapa hingga etnis Rohingya tidak diakui. Menurutnya ini sebab factor sejarah yang menimbulkan dendam berkepanjangan. Bermula ketika pada tahun 1658, akhir konflik internal di Kekaisaran Mogul, pada 7 feb 1661 pangeran India Shah Shuja tiba berlindung ke Arakan tapi ia dibunuh oleh raja yang beragama islam . Akibatnya terjadi perang saudara di Arakan antara etnis Rohingya yang beragama islam dengan Arakan budha. Perang berkelanjutan ini menciptakan Arakan lemah dan balasannya direbut oleh Raja Burma. Padahal sebelumnya Raja Burma pernah dikalahkan oleh Arakan ketika dipimpin oleh Suleiman Shah dari etnis Rohingya yang mendapat dukungan dari Sultan Bengal, Nasiruddin Shah. AS dan Barat paham sekali akan factor sejarah yang menyimpan potensi konplik itu. Ketika inggris keluar dari Birma dan membiarkan birma merdeka, memang sengaja menanamkan bomb waktu ke Burma dengan membiarkan Arakan masuk potongan Burma yang mereka tahu bahwa Arakan tak ingin menjadi potongan dari Burma. Maka sanggup ditebak keributan dan kekacauan di Arakan dengan korban etnis Rohingya tidaklah tiba dengan sendirinya. Kejadian itu hasil sebuah grand design dengan scenario yang mahir .
BIla kekacauan ini terus terjadi dan perhatian dunia terarah penuh kepada Myanmar khususnya korban kemanusiaan atas Etnis Rohingya maka menyerupai biasanya akan mengundang turut campur PBB dengan mengirim pasukan perdamaian untuk memilih nasip Arakan. Bila ini terjadi maka akan menciptakan Pemerintahan junta Militer tersudut untuk duduk dalam meja perundingan. Senjata demokrasi akan digunakan oleh AS dan sebagaimana biasanya AS akan muncul sebagai pemenang mengontrol Myanmar , mengontrol asia tenggara. Bila scenario ini terjadi maka dikala itulah kontrak konsesi minyak yang sudah ditanda tangani Junta Militer Myanmar akan dievaluasi ulang. Uncle Sum akan mendapat porsi paling besar tanpa harus berkorban banyak menyerupai China dan Rusia. Yang jadi pertanyaan yakni apakah China dan Rusia akan tinggal membisu hingga membiarkan scenario AS berjalan mulus? lihatlah faktanya kini , kekacauan dengan korban kemanusiaan luar biasa terhadap Etnis Rohingya tak menciptakan PBB bersuara keras atas nama HAM, dan tak menciptakan Malaysia dan Indonesia yang dominan muslim bersuara keras atas nama tetangga. Hanya China dan Rusia yang sanggup menekan elite penguasa Myanmar biar bersikap bijak atas Arakan khususnya kepada etnis Rohingya. Mungkinkah?
Sumber https://culas.blogspot.com/