Sindikat Perdagangan Pangan



Ketika Harga daging melonjak tinggi dan lalu pimpinan Partai yang salah satu kadernya menjadi Menteri pertanian,ditangkap oleh KPK lantaran disinyalir ikut terlibat mendukung sindikat impor  sapi, teman saya berkata bahwa itulah bukti bahwa Mafia dalam perdangangan komoditas pangan memang ada. Daging sapi salah satu dari lima komoditas pangan yang dikuasi oleh Kartel dan mafia. Mengapa disebut mafia? Karena terbangunnya kartel sedemikian rupa berkat kekuasaan yang diberikan oleh negara untuk memilih harga dan mengontrol pasar oleh segelintir orang. Ini konspirasi solid antara penguasa dan pengusaha. Mereka tidak mengambil uang APBN.Tidak!. Tapi aturan atau UU yang mereka usulkan didukung oleh pemerintah dan di endorsed oleh parlemen. Dengan ini mereka merampok uang rakyat secara tidak eksklusif lewat kenaikan harga dipasar.  Hampir setiap lini bisnis di negeri ini sudah dicemari praktik tercela itu. Tak mengherankan bila perekonomian nasional terus terdistorsi. Fundamental ekonomi nasional berpengaruh tapi rupiah melemah. Harga barang dan jasa acapkali melejit tanpa lantaran yang jelas. Mekanisme pasar kerap lumpuh. Hukum penawaran dan seruan dibentuk tak berdaya. Hal ini sangat memprihatinkan lantaran kejatuhan Soeharto salah satu sebabnya ialah praktek bisnis tercela ini.

Hampir setiap tahun, dikala gejolak harga pangan melonjak tinggi, salah satu sorotan pemerintah dan banyak sekali kalangan terkait ialah indikasi praktik kartel dalam pasar komoditas pangan. Sorotan akan perlahan mereda dikala harga komoditas pangan beranjak turun.  Ada lima komoditas yang dikuasai oleh kartel yaitu  gula, kedelai, beras, jagung, dan daging sapi. Kartel telah mengakibatkan harga lima komoditas pangan itu cenderung terus naik di dalam negeri. Sebagai contoh, harga gula pada 2009 masih sekitar Rp 6.300 per kilogram (kg), namun kini berkisar Rp 11.000-13.000 per kg. Padahal, harga gula di pasar internasional hanya sekitar US$ 489,80 per ton atau Rp 4.700 per kg. Hal serupa terjadi pada komoditas kedelai dan daging sapi. Pada 2009, harga daging sapi hanya sekitar Rp 60.000 per kg, kini menembus Rp 100.000 per kg. Akibatnya, banyak pedagang bakso harus berhenti berjualan.  Dari data tersebut jelaslah bahwa mereka mengotrol harga untuk meraih keuntungan setinggi tingginya.  Diperkirakan mereka meraup keuntungan Rp 13,5 triliun per tahun. Keuntungan itu berasal dari 15% nilai impor komoditas pangan yang setiap tahun sekitar Rp 90 triliun. Ini memang business dahsyat.

Melihat keuntungan yang menggiurkan, mereka terus berupaya untuk mengimpor komoditas pangan. Selama Januari-November 2012, data Kementerian Pertanian dan Kementerian Perdagangan menunjukkan,  Indonesia mengimpor sekitar 16 juta ton komoditas pangan utama dengan total nilai mencapai US$ 8,5 miliar (Rp 81,5 triliun). Rinciannya, nilai impor produk serealia (padi, jagung, beras, dan sorgum) senilai US$ 3,26 miliar, gula US$ 1,46 miliar, susu US$ 945,34 juta, serta kacang-kacangan dan buah US$ 756,27 juta. Sedangkan impor tepung senilai US$ 560,66 juta, sayur US$ 445,74 juta, kopi, teh, dan bumbu US$ 303,72 juta, daging US$ 136,8 juta, serta pangan utama lain US$ 548,05 juta. Tentu program  mulia untuk swasembada pangan hanyalah mimpi belaka. Hanya omong kosong. Karena segala bentuk agenda pemberdayaan atau swasembada yang sanggup mengurangi kontrol Kartel itu terhadap business komoditas pangan, tentu akan berhadapan dengan jaringan loby kartel yang hampir semua elite politik telah mereka kuasai. Perhatikanlah anggaran agenda swasembada pangan di APBN. Nilainya tidak mencerminkan kesungguhan pemerintah untuk berswasembada. Bagi Kartel, Indonesia harus tetap sebagai negara konsumen alias importir pangan biar business kartel ini semakin menggelembung.

Business pangan ialah business yang dekat dengan politik. Henry Kissinger pada tahu 1970 pernah berkata “Control oil and you control nations; control food and you control the people. Dalam system kapitalis pengendalian terhadap minyak dan pangan ialah segala galanya.  Dibidang pangan, Pengusaha domestik dan international saling terkait untuk membuat pasar yang oligopolistis. Di pasar internasional terdapat empat pedagang besar yang disebut ABCD, yaitu Acher Daniels Midland (ADM), Bunge, Cargill, dan Louis Dreyfus. Mereka menguasai sekitar 90% perdagangan serealia atau biji-bijian dunia. Di pasar domestik. Importir kedelai hanya ada tiga, yakni PT Teluk Intan (menggunakan PT Gerbang Cahaya Utama), PT Sungai Budi, dan PT Cargill.  Di industri pakan unggas yang hampir 70% materi bakunya ialah jagung , empat perusahaan terbesar menguasai sekitar 40% pangsa pasar. Sementara itu,  empat produsen gula rafinasi terbesar menguasai 65% pangsa pasar gula rafinasi dan 63% pangsa pasar gula putih.  Kartel juga terjadi pada industri gula rafinas yang memperoleh izin impor raw sugar (gula mentah) 3 juta ton setahun yang dikuasai delapan produsen . Untuk distribusi gula di dalam negeri diduga dikuasai enam orang. Mereka ialah Acuk, Sunhan, Harianto, Yayat, Kurnadi, dan Piko. Sebelumnya, pasar gula ini dikuasai ‘sembilan samurai. 

Bagaimanapun kartel pangan sangat merugikan konsumen. Selain menguasai pasar, kelompok kartel terus berupaya mendorong harga dan merusak ketahanan pangan dalam negeri. Padahal amanah reformasi dengan terang menyebutkan bahwa kartel ialah perbuatan melawan hukum. Berdasarkan pasal 11 Undang- Undang No 5 Tahun 1999 perihal Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, antarpelaku perjuangan dihentikan membuat perjanjian untuk menghipnotis harga dengan mengatur produksi atau pemasaran suatu barang atau jasa, yang sanggup menjadikan terjadinya praktik monopoli atau persaingan perjuangan tidak sehat. Dengan UU itu memastikan Orba berbeda dengan rezim reformasi, namun faktanya Politik boleh berubah, orba boleh Jatuh. Tapi soal kartel dan cecunguk tetap tidak berubah.  Mengapa Kartel dan cecunguk perdagangan tidak sanggup dihapus? Jawabanya sudah terang bahwa  semua pemimpin sanggup dibeli dan berlaku bagaikan boneka bagi para kartel untuk bersikap dan bekerja demi kepentingan Kartel ( bukan kepentingan rakyat). Dan semua itu tidak ada yang gratis. Semua ada harganya. Dalam system demokrasi tidak ada kekuasaan yang didapat dengan gratis dan Kartel mensuplai dana untuk itu.

Sumber https://culas.blogspot.com/

Artikel Terkait