Transformatif


Baik saya ceritakan kepada mu ihwal yang di ketahui semua oleh mereka yang membaca injil. Begini kisahnya. Ada seorang perempuan itu ketahuan berzina. Prianya tak di sentuh dan tak pula harus di hukum. Wanita itu berlari ketakutan di kejar oleh para pembenci zina. Setelah tak ada daerah untuk berlari, perempuan itu menyerah. Orang farisi membawa perempuan itu ke Guru Taurat. 
" Hukum Taurat Musa memerintahkan kita untuk melempari perempuan itu dengan batu.” kata para pemimpin Yahudi itu. ”Apa yang harus kami lakukan?” Sambungnya yang walau mengetahui aturan itu, tapi toh tetap bertanya. Bagi Yohanes, yang mencatat bencana ini, guru Taurat dan orang Farisi itu memang berniat ”menjebak” Yesus. Mereka ingin biar sosok yang mereka panggil ”Guru” itu dengan nada cemooh?. Mengucapkan sesuatu yang salah.

Saya seorang muslim, bukan penafsir Injil. Saya hanya mengira-ngira latar belakang bencana ini: para pakar Taurat dan kaum Farisi agaknya curiga, Yesus telah mengajarkan perilaku beragama yang keliru. Diduga bahwa ia tak mempedulikan aturan yang tercantum di Kitab Suci; bukankah ia berani melanggar larangan bekerja di ladang di hari Sabbath? Mungkin telah mereka dengar, bagi Yesus iman tak bisa diatur pakar hukum. Beriman yakni menghayati hidup yang terus-menerus diciptakan Tuhan dan dirawat dengan cinta-kasih. Tapi bagi para pemimpin Yahudi itu perilaku meremehkan aturan Taurat tak bisa dibiarkan. Terutama di mata kaum Farisi yang, di antara kelompok penganut Yudaisme lain, paling gigih ingin memurnikan hidup sehari-hari dengan menjaga konsistensi akidah.

Maka pagi itu mereka ingin ”menjebak” Yesus. Tapi Yesus tak menjawab. Ia hanya membungkuk dan menuliskan sesuatu dengan jari-jarinya di tanah. Dan dikala ”pemimpin Yahudi itu terus-menerus bertanya,” demikian berdasarkan Yohanes, Yesus pun berdiri. Ia berkata, ”Barangsiapa di antara kau yang tidak berdosa, hendaklah ia yang pertama melemparkan kerikil kepada perempuan itu.” 

Lalu Yesus membungkuk lagi dan menulis di tanah.

Suasana mendadak senyap. Tak ada yang bertindak. Tak seorang pun siap melemparkan batu, memulai rajam itu. Bahkan ”satu demi satu orang-orang itu pergi, didahului oleh yang tertua.” Akhirnya di sana tinggal Yesus dan perempuan yang dituduh pezina itu, kepada siapa ia berkata: ”Aku pun tak menghukum engkau. Pergilah, dan jangan berbuat dosa lagi mulai dari sekarang.”

Tak ada rajam. Tak ada hukuman. Kejadian pagi itu kemudian jadi tauladan: menghukum habis-habisan seorang pendosa tak akan mengubah apa-apa; sebaliknya empati, uluran hati, dan pengampunan yakni laris yang transformatif.

***
KIsah ihwal Yesus itu menunjukkan inspirasi,  bahwa ilmu Tuhan itu maha luas, dan keluasan itu ada di hati yang bercahaya kebenaran atas dasar cinta. Kamu bisa memasuki Tuhan dengan cinta dari pintu mana saja. Kalau kau mengagumi Rummi, kau akan menyimpulkan bahwa ada tasawuf sebagai cara mendekati Tuhan dengan passion , dengan cinta. Ada ilmu syariat dan fikih yang mendekati Tuhan dengan rasa takut, dengan taqwa namun nalar dan hati saling bertaut dan itu merupakan wilayah Al Ghazali. Apa artinya ? Akhirnya kita  sadar bahwa ada yang disebut agama individual, yang gurunya yakni Rummi, dan ada agama yang disebut sebagai sebuah agama kaffah yang diajarkan oleh fikih dan syariah. Tidak ada yang salah menentukan cara Rummi atau cara fikih dan syariah asalkan di dasarkan kepada Cinta.

Namun kini agama isolatif kian tampak berkembang. Mereka dengan pemahaman tafsirnya membentuk mindset gres bahwa di luar sana salah dan kebenaran hanya milik mereka. Mereka antusias untuk meng-ideologi-kan Islam, dan kemudian menyebabkan islam sebagai sebuah lembaga, yang berhak menentukan salah benar. Padahal pandangan Tauhid, menuntut insan hanya takut pada satu kekuatan, yaitu kekuatan Tuhan. selain Tuhan, yang lain hanyalah kekuatan yang tidak mutlak alias palsu. Tauhid menjamin kebebasan insan dan memuliakan hanya semata kepada-Nya. Pandangan ini menggerakkan insan untuk melawan segala kekuatan dominasi, belenggu, dan kenistaan insan atas manusia. Tauhid mempunyai esensi sebagai gagasan yang bekerja untuk keadilan, solidaritas, dan pembebasan. 

Kalau kau merindukan perubahan, maka diharapkan Raushanfikr (orang-orang yang tercerahkan), yakni individu-individu yang sadar dan bertanggung jawab  membangkitkan karunia Tuhan Yang Mulia, yaitu “kesadaran diri” masyarakat. Sebab hanya kesadaran diri yang bisa mengubah rakyat yang statis dan bobrok menjadi suatu kekuatan yang dinamis dan kreatif. Sosialisme dalam Islam yakni paham yang berpihak pada kaum tertindas (mustadzafin) dan meluruskan perjalanan sejarah dari kekuasaan tiran menjadi kelompok tercerahkan, berpihak pada kelas bawah (proletar) bersama orang-orang yang berada di jalan Tuhan.  

Pluralitas yakni keniscayaan. Kebenaran dari mana pun “kompatibel”. Tak ada kebenaran yang bentrok dengan kebenaran lain. Mereka semua penghuni dari rumah yang sama, dan bintang dari gugus yang sama. Kita tak mungkin mempunyai semua kebenaran, dan kita membutuhkan daerah lain serta orang lain untuk membantu membuka aspek yang berbeda dari kebenaran itu. Pengetahuan keagamaan secara keseluruhan yakni adonan yang benar, yang salah, yang lama, dan yang gres yang mengalir ibarat di dalam sebuah sungai besar.  Maka, Islam bukanlah, dan tak seharusnya jadi, sebuah ideologi—sesuatu yang di asumsikan bisa menjelaskan segala hal, membimbing segala ihwal. Islam itu sederhana.

Ketika ada yang berkata bahwa ia paling benar dalilnya maka ada dua hal yang sedang beliau perjuangkan, pertama yakni agama sebagai alat merebut hegemoni politik untuk meraih kekuasaan,  kedua, memperkecil nilai islam itu sendiri biar Islam sebagai rahmatanlilalamin meredub melalui kampanye perbedaan mahzab, golongan, etnis. Keduanya sengaja untuk melepaskan agama sebagai kekuatan individu,yang terikat eksklusif dengan sang Khalik. Makanya hak individu dalam menentukan pilihannya sangat di ihwal oleh mereka.  Mereka membenci demokrasi dan segala turunan yang membela hak azasi insan yang tidak sesuai dengan mahzab mereka. Mereka punya visi dan misi, serta keyakinan. Bahwa merekalah yang akan menjamin kehidupan ini menjadi beres. Yang lain akan binasa dan sengsara.

Apapun pengetahuan di dunia ini berasal dari Tuhan. Bahwa Allah disamping menurunkan Ilmu khasshah melalui Al Alquran dengan mediator Rasul , Allah juga menurunkan  ilmu ‘ammah kepada insan secara eksklusif yang disebut dengan ayat-ayat kauniyah. Artinya ,apakah sesuatu yang tidak diatur dalam  Al-Quran lantas bukan berasal dari Allah? Katakanlah: Sekiranya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku, sungguh habislah lautan itu sebelum habis (ditulis) kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami datangkan komplemen sebanyak itu (pula)”. (QS al- Kahfi [18]:109). Kaprikornus salah besar kalau agama di kotak oleh harakah dan meng claim hanya dalil nya saja yang benar. Islam terlalu luas untuk hanya di monopoli satu harakah saja. Apalagi hanya berlandaskan kepada imu khasshah dan miskin ilmu ‘ammah. Dan pemaksaan dalam agama yakni perilaku yang anti Alquran (lih. al-Baqarah 256; Yunus 99). 

Di kala reformasi ini pemikiran Islam yang lebih moderat menerima tempat, walau tidak gampang di terima oleh sebagian orang. Bahkan di tuduh sesat. Orang islam tidak perlu takut berbeda soal menentukan pilihan mereka terhadap Ahok yang non muslim. Yang memang butuh bertahun-tahun sehabis reformasi yang sukses menjatuhkan Soeharto, karenanya di kala Jokowi sebagai Presiden, pemikiran Islam sebagai rahmatanlilalamin menerima tempat, dengan keberadaan Jokowi yang Islam Nusantara, sanggup mengalahkan koalisi yang di dukung penuh dengan islam aliran, dan unggul. Kemenangan Jokowi yakni kemenangan islam yang transformatif. Kini di kala Jokowi keberadaan Ahok sebagai cagub DKI di uji , kemanakah angin perubahan terjadi. Kepemimpinan Jokowi di uji dan tentu juga Pancasila di uji. 

Sumber https://bukuerizelibandaro.blogspot.com/

Artikel Terkait