Giant Sea Wall

Pada awalnya di abad Soeharto , reklamasi pantai bertujuan meluaskan lahan untuk pembangunan perumahan sebab mustahil menambah lahan di wilayah lain. Kemudian di abad Gubernur Fauzi Wibowo reklamasi di lanjutkan lebih terencana. Tujuannya bukan hanya untuk ekspansi lahan hunian tapi lebih dari itu yakni sebagai sebuah sistem untuk mengatasi banjir rob di jakarta utara dan barat. Banjir rob ini terjadi sebab daratan Jakarta setiap tahun turun. Sehingga sekarang berada dibawah permukaan laut. Dalam planning tata ruang DKI ,pembangunan Giant Sea Wall (GSW) dimasukan. Namun Fauzi Wibowo gagal mendapat dana dari APBN untuk pembangunan proyek ini. Maklum pembiayaan proyek tanggul raksasa ini memakan biaya hampir Rp.400 Triliun. Apalagi dikala pembiayaan ini diajukan keadaan APBN tertekan sebab DSR indonesia sudah diatas 50 % akhir anjloknya harga komoditas utama. Namun entah mengapa proyek pembangunan 17 pulau sebagai kepingan dari proyek GSW tetap diteruskan. Disinilah muncul permasalahan. Perusahaan yang telah mengantongi izin dari gubernur sebelumnya menuntut semoga proyek reklamasi diteruskan. Karena maklum semua proses mendapat izin telah sesuai dengan produk aturan yang ada. 

Era Jokowi sebagai gubernur , Izin tetap dikeluarkan namun syarat yang ketat dengan memasukan persetujuan dari para stakeholder. Apabila tidak ada persetujuan dari stakeholder maka izin reklamasi tidak bisa dipakai. Di abad Ahok, peraturan gubernur berkaitan dengan izin tersebut di tuangkan dalam Perda semoga punya kekuatan aturan dan sesuai dengan UU No.1/2014. Tapi Peraturan Daerah tak kunjung rampung hingga terbongkar kasus suap. Akhirnya DPRD DKI telah menetapkan dilarang pembahasan dua Raperda yaitu Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Provinsi Jakarta tahun 2015-2035 dan Raperda wacana Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Pantai Utara Jakarta. Dengan demikian mengenai reklamasi kembali kepada Perda No. 8 tahun 1995, yang memang menawarkan hak kepada gubernur untuk menawarkan izin reklamasi namun bertujuan untuk ekspansi lahan hunian, bukan untuk kegiatan strategis pengendalian banjir ( giant Sea Wall). Menteri Kelautan ibu Susi tidak berhak membatalkan iZin atau menghentikan reklamasi. Ibu Susi sadar jikalau beliau hentikan maka akan sangat gampang di kalahkan di pengadilan oleh pengusaha. Lain halnya bila Raperda Zonasi dan reklamasi telah di syahkan DPRD.

Bagaimana jikalau Ahok batalkan? maka akan digugat oleh pengusaha melalui PTUN dan niscaya pengusaha menang. Satu satunya yang bisa dilakukan Ahok yakni tidak menawarkan HPL dan HGB atas lahan yang telah di reklamasi. Karena sudah di kunci oleh UU No. 1/2014. DPRD DKI memang mahir menciptakan pengusaha semakin besar mendapat kanal keuntungan tanpa peduli soal lingkungan hidup. Apabila sehabis reklamasi, izin HPL dan HGB tidak di terbitkan maka pengusaha tinggal minta ganti rugi atas biaya yg telah dikeluarkan. Maklum mereka lakukan reklamasi atas iZin Pemerintah. Namun permasalahan sesunggugnya bukanlah soal izin yang dikeluarkan pemrov dan diterima oleh pengembang tapi lebih kepada soal pembiayaan proyek GSW yang memang tidak siap. Para pengembang dibutuhkan bisa menawarkan subsidi silang tapi tidak mau keluar uang terlebih dahulu untuk memastikan proyek GSW terealisasi sesuai dengan standar lingkungan hidup yang ditetapkan oleh peraturan. Para pengembang justru mengharapkan dana dari penjualan lahan reklamasi. Ini memang berbahaya sebab belum tentu planning penjualan terlaksana. Sementara reklamasi telah dilaksanakan. Apa akhirnya bila kegiatan bisnis tidak terealisasi baik dan GSW gagal dibangun? Jakarta akan bertambah parah dan semakin tenggelam.

Membangun mega proyek dengan dana besar , niscaya berdampak sosial yang luar biasa dan belum lagi pengaruh lingkungan. Tanpa network planning yang akurat tidak akan berhasil. dan untuk mendukung planning ini tidak bisa dengan dana yang belum pasti. Apalagi mengharapkan dana subsidi silang dari proyek Swasta di daerah reklamasi yang belum ditangan. Lantas apa yang harus dilakukan oleh pemerintah bila dana tidak tersedia melalui APBN atau APBD? jalan terbaik yakni mengeluarkan SUKUK atau revenue BOND menyerupai yang dilakukan oleh Dubai dan China. Basis revenue yakni :
- Retribusi dari lahan yang telah akhir direklamasi. 
-Toll fee kepada kendaraan yang melintasi tanggul raksasa. 
- Penjualan Air baku. 
- Toll fee dari setiap kapal yang melintasi tanggul. 
Semua sumber revenue itu harus diatur dalam bentuk PERDA. Sumber pendapatan tersebut sangat exciting dalam jangka panjang, tentu akan menarik minat para investor dalam dan luar negeri. Andai SUKUK atau revenue bond diterbitkan sebesar USD 30 miliar ( Rp.400 triliun) akan diserap pasar dengan mudah. Setelah dana penjualan SUKUK atau revenue bond terkumpul maka dana itu diserahkan kepada Project managemen berkelas dunia dengan sumbangan fund manager sebagai financial supervision. Sehingga akuntabilitas terjamin.

Untuk sementara proyek reklamasi dilarang hingga proyek GSW akhir dibangun secara lengkap. Setelah proyek akhir dibangun maka project management sanggup melaksanakan beauty contest kepada calon pengembang yang berminat melaksanakan reklamasi.Siapa yang berani menawarkan lebih besar bantuan kepada pemrov maka beliau pemenang dan berhak mendapat konsesi lahan dari hasil reklamasi pantai atau bisa saja pengembangnya yakni mereka yang sekarang telah mendapat izin tersebut, yang tentu diadaptasi dengan bagan pembiayaan proyek dimana mereka harus membayar retribusi yang ditetapkan oleh Perda.
Demikian semoga bisa dipahami.

Sumber https://culas.blogspot.com/

Artikel Terkait