Penghasilan Pak Dulah sebagai Guru honorer sebulan Rp.800.000. Itu pekerjaannya untuk 3 jam di sekolah SLTP. Dengan penghasilan sebesar itu pak Dulah harus menghidupi biaya rumah tangga dengan satu anak. Pengeluaran sebulan sehabis di hitung mencapai Rp. 3.000.000, yang terdiri dari biaya transfortasi sebesar Rp. 500.000. Biaya makan Rp. 1.800.000. Biaya sewa rumah Rp. 700.000. Artinya defisit sebesar Rp. 2.200.000. Lantas bagaimana Pak Dulah bisa bertahan hidup dengan biaya lebih besar dari pendapatan tetapnya ?
Perhatikan solusi yang dikakukannya. Pertama ia membeli motor dengan kredit. Dengan uang honor ia pakai untuk uang muka pembelian motor sebesar Rp. 300.000. Cicilan sebesar Rp. 800.000 sebulan untuk jangka waktu 3 tahun. Motor itu digunakannya untuk pergi mengajar. Artinya ada penghematan sebesar Rp.500.000/Bulan biaya transfortasi. Sepulang mengajar, motor itu dipakai untuk ngojek dengan penghasilan higienis rata rata sebulan Rp. Rp. 1500.000. Kemudian di bantu istrinya , ia membuka warung depan rumah. Untuk modal , ia menarik kredit dari koperasi simpan pinjam sebesar Rp. 3 juta. Dengan cicilan sebesar Rp. 300.000 sebulan. Dari perjuangan warung rumahan itu , diperoleh pendapatan rata rata higienis sebulan Rp. 1500.000.0.
Sekarang perhatikan struktur anggaran rumah tangga Pak Dulah.
Penerimaan
Gaji honorer = Rp. 800.000.
Pendapatan dari ngoject = Rp. 1.500.000
Pendapatan dari Usaha warung = Rp. 1.500.000
Penghematan transfortasi = Rp. 500.000
Total penerimaan yaitu = Rp. 4.300.000.0
Pengeluaran
Belanja rutin = Rp. 3.000.000
Cicilan motor = Rp. 800.000
Cicilan hutang koperasi = Rp. 300.000
Total pengeluaran =Rp. 4.100.000
Selisih surplus antara penerimaan dan pengeluaran yaitu Rp. 200.000. Nah Rp. 200.000 ini disebut dengan ruang fiskal bagi keluaga Pak Dulah. Ini bebas ia gunakan. Tapi Pak Dulah tidak gunakan uang ini untuk konsumsi makan di mall atau piknik. Tapi ditabung untuk biaya investasi anak sekolah , juga biaya pendidikan Pak Dulah untuk kuliah lagi dan sebagian di gunakan meningkatkan modal bagi perjuangan rumahannya biar semakin besar peluang menghasilkan penerimaan. Berlalunya waktu semakin besar penerimaan, semakin besar kemampuan berhutang, maka Dulah membeli rumah biar biaya sewa tidak perlu ada lagi. Diapun memperluas usahanya menjadi pedagang kelontongan di pasar tradisional yang dibantu istrinya. Apalagi Pak Dulah sudah jadi sarjana berpeluang mendapat karir lebih baik.
Cerita wacana Pak Dulah ini pernah diterapkan oleh Jepang dan Korea saat awal membangun setalah perang korea dan perang dunia kedua. Korea dan Jepang tidak punya sumber pendapatan yang bisa menutupi anggaran negaranya. Benar benar minus. Tapi AS menawarkan proteksi dalam rangka restorasi perang kepada Korea dan Jepang. PInjaman ini tidak di pakai untuk konsumsi tapi produksi dan investasi. Pemerintah berhutang lebih 300% dari PDB. Apakah kesudahannya jepang dan korea gulung tikar ? tidak. Malah berkat hutang dari AS itu mereka menjadi negara maju dengan tingkat pendapatan diatas rata rata negara berkembang. Artinya hutang berperan besar meningkat ekonomi dan kesejahteraan rakyat. Begitu pula dengan Pak Dulah yang sukses melewati hidup yang keras berkat hutang.
***
Ada lagi cerita. Pak Somad seorang Pegawai swasta. Gajinya sebulan Rp. 10.000.000. Tapi pengeluaran sebesar Rp. 13.000.000. Artinya defisit sebesar Rp. 3 juta rupiah. Somad setuju dengan istrinya bahwa mereka akan berhutang maksimum sebesar 3 % dari total hartanya. Total hartanya Rp. 300 juta. Artinya mereka bisa berhutang maksimum sebesar Rp. 9 juta. Nah alasannya yaitu defisit hanya sebesar Rp. 3 juta atau 1 % dari harta maka mereka berani berhutang menutupi defisit. Tapi hutang itu tidak menyisakan ruang fiskal apapun. Karena semua hutang itu habis untuk belanja rutin.
Apa yang terjadi dari tahun ketahun hutang terus bertambah alasannya yaitu gali lobang tutup lobang. Akibatnya perbandingan antara hutang dengan harta mencapai 80%, Akhirnya terpaksa harta dijual untuk bayar hutang. Mengapa hingga begitu ? alasannya yaitu setiap berhutang habis untuk belanja rutin. Tidak tersisa untuk produksi yang bisa meningkatkan harta. Padahal apabila hutang bertambah namun harta produktif juga bertambah, maka rasio hutang terhadap harta tidak akan naik alasannya yaitu ada penghasilan perhiasan menyertai harta produktif. Apa yang terjadi pada Somad, juga terjadi pada pemerintahan Bolivia, venezuela, Italia, Yunani. Defisit ditutupi dari hutang namun ruang fiskal sangat kecil sekali.
Sebetulnya yang terjadi di Era SBY hampir sama. Ruang fiskal tidak cukup untuk berdiri bandara atau pelabuhan atau daerah industri. Karena sebagian besar habis untuk konsumsi. Akibatnya semenjak 2011 saat penerimaan menurun belanja terus meningkat defisit ditutup dari hutang. Walau rasio defisit dibawah 3% dari PDB namun tidak ada peningkatan harta. Makanya perbandingan hutang terhadap PDB terus meningkat. Tapi untung di kurun Jokowi kebijakan anggaran diubah. Bagaimana perubahan itu?
Katakanlah penerimaan sebesar Rp. 100 juta rupiah. Pengeluaran Rp. 120 juta. Artinya defisit sebesar Rp. 20 juta. Kalau PDB sebesar Rp, 1 miliar maka perbanding defisit terhadap PDB sebesar 2%. Ini terang kondusif dibawah pagu 3% yang ditetapkan oleh DPR. Tapi tidak ada ruang fiskal untuk produksi dan investasi yang dilakukan Jokowi untuk ekspansi. Kalau Jokowi pertahankan platform APBN menyerupai SBY maka tidak akan ada pembangunan insfrastruktur. Lambat namun pasti Indonesia akan terjebak hutang tanpa ada peningkatan PDB secara significant. Keputusan yang diambil yaitu pemangkasan belanja rutin. Tapi penerimaan juga menurun alasannya yaitu krisis global. Memang tidak ada defisit sehabis pemangkasan anggaran itu. Tapi juga tidak ada ruang fiskal untuk ekspansi. Sementara hutang masa kemudian harus terus dibayar sebagai belanja rutin.
Nah biar bisa perluasan maka pos pengeluaran ditambah lagi sebesar ruang fiskal yang di inginkan biar pertumbuhan ekonomi terjadi. Dampaknya APBN jadi defisit. Defisit ini ditutupi dari hutang. Tapi semua hutang dipakai untuk investasi yang bisa memacu produksi dan peningkatan pendapatan. Apa yang terjadi ? Walau hutang bertambah tapi harta ( PDB) juga bertambah, dan rasio hutang terhadap PDB juga tidak besar lengan berkuasa significant. Apa yang dilakukan oleh Jokowi kurang lebih sama dengan Dulah tapi Jokowi masih lebih baik alasannya yaitu masih ada harta. Beda dengan Dulah yang mengawali dari nol atau defisit gigantik. Kuncinya sama halnya dengan Dulah, bukan seberapa besar hutang atau rasio hutang tapi sejauh mana focus kepada produksi bukan konsumsi, Makanya kerja keras dan efisien yaitu keniscayaan dan sukses akan terjadi sebagaimana sunatullah.
Sumber https://bukuerizelibandaro.blogspot.com/