Pengamat Ekonomi Universitas Gajah Mada(UGM) Revrisond Baswir, menyampaikan pasca Presiden Soekarno pelaksanaan reformasi agraria atau distribusi ulang lahan pertanian (landreform) di Indonesia sempat terhenti. Pelaksanaan itu gres sanggup kembali dilakukan sehabis 50 tahun atau pada masa kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Menurutnya, pelaksanaan landreform ialah bab penting dari revolusi Indonesia, hal itu sebagaimana dikatakan oleh Bung Karno yang kemudian diwujudkan melalui pelaksanaan landreform tahap pertama yakni pada 1963.
Namun, pasca pengambilalihan kekuasaan oleh Soeharto pada 1966-1967, pelaksanaan reforma agraria cenderung berhenti sama sekali.
"Pelaksanaan reforma agraria gres dimulai kembali sehabis pemerintahan Jokowi-JK naik ke tampuk pemerintahan pada final 2014," kata Baswir dalam keterangan resminya, Sabtu (12/1/2019).
Baswir mengungkapkan, kesepakatan Presiden Jokowi akan itu tertuang dalam Perpres No 45 tahun 2016 wacana Rencana Kerja Pemerintah Tahun 2017, maka pada tahun 2017 dan 2018 terbit Perpres No 88 tahun 2018 wacana Penyelesaian Penguasaan Tanah dalam Kawasan Hutan dan Perpres No 86 tahun 2018 wacana Reforma Agraria.
"Pada tingkat implementasi, menurut data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) realisasi aktivitas perhutanan sosial pada tahun 2017 ialah seluas 1.917.890,07 hektar, sedangkan realisasi aktivitas reforma agraria ialah seluas 5 juta hektar lahan tersertifikasi," paparnya.
Senada dengan Baswir, Ketua Umum Serikat Petani Indonesia Henry Saragih mengatakan, usaha reforma agraria menemukan jalannya kembali di tahun 2018 dengan Deklarasi Hak Asasi Petani yang disahkan oleh Sidang Umum PBB (New York, Amerika Serikat) pada 19 November 2018 dan diundangkannya Peraturan Presiden No 86 wacana Reforma Agraria pada 24 September 2018.
Menurutnya, kebanyakan di negara lain pasca merdeka mereka eksklusif mengerjakan reforma agraria, meski pada pelaksanaannya reforma agraria tidak mudah. "Misal Evo Morales (presiden Bolivia) yang berkuasa penuh saja masih sanggup "dibendung" dalam pelaksanaan reforma agraria, begitu juga Bung Karno beberapa tahun sehabis diundangkannya UU Pokok Agraria menerima tantangan yang besar," tukasnya.
Ketua Umum Serikat Tani Nasional Ahmad Rifai mengatakan, bagi - bagi akta yang dilakukan Presiden Jokowi sebetulnya merupakan bab final dari reforma agraria. Menurutnya, pelaksanaan reforma agraria secara menyeluruh tidaklah mudah, alasannya ialah reforma agraria hanya sanggup di jalankan dalam pemerintahan progresif revolusioner.
"Dan catatan sejarah semenjak UU Pokok Agraria tantangan dalam menjalani reforma agraria tidaklah semudah sebagaimana bunyi-bunyian atau teori yang normatif, saya melihatnya pemerintah dikala ini menjalankan reforma agraria dengan pendekatan yang soft, moderat dan mulai dari pinggir untuk menghadapi penguasaan sumber daya agraria oleh segelintir orang," paparnya.
Lebih jauh Ahmad Rifai mengingatkan walau sertifikasi ialah keyakinan publik kepada pemerintah dalam pelaksanaan reforma agraria, namun perlu diperhatikan sertifikasi sanggup berdampak pada liberalisasi maksudnya hanya memperjelas posisi tanah dan mengurangi konflik dengan keluarga dan tetangga. Namun apabila suatu dikala tidak produktif, akan jatuh pada pemilik modal.
"Untuk itu dalam pelaksanaan reforma agraria pentingnya kekuatan rakyat, tentara dan aparatur dalam mengawalnya secara ideal seharusnya reforma agraria di bawah koordinasi kemenko/kementerian tersendiri," tukasnya. [okezone.com]