Pemerintah Lobi Dpr Siapkan Uu Pengekang Si Hidung Belang

Pemerintah Lobi dewan perwakilan rakyat Siapkan UU Pengekang Si Hidung BelangMenkum HAM Yasonna Laoly (Rengga Sancaya/detikcom)

Jakarta -Pemerintah tampaknya tak rela jikalau 'pria hidung belang' lepas dari jeratan pidana. Untuk itu, pemerintah, dalam hal ini Kemenkum HAM, berencana melobi dewan perwakilan rakyat biar segera menyelesaikan RUU KUHP.

"Iya, masih di DPR. Kita belum, ya dari pemerintah kan sudah dari dulu mengajukan, sudah cukup usang di DPR. Kita akan coba segerakanlah bicara dengan teman-teman DPR," kata Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly di Istana Kepresidenan, Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta Pusat, Senin (7/1/2019).

Draf RUU kitab undang-undang hukum pidana yang akan mengatur 'pria hidung belang' dieksekusi 5 tahun penjara sebetulnya sudah masuk di DPR. Namun sampai kini pembahasan RUU tersebut mandek.

Menkum HAM Yasonna Laoly ketika raker bersama dewan perwakilan rakyat guna membahas RUU perihal Pengesahan Perjanjian antara RI dan Uni Emirat Arab mengenai ekstradisi.Menkum HAM Yasonna Laoly ketika raker bersama dewan perwakilan rakyat guna membahas RUU perihal Pengesahan Perjanjian antara RI dan Uni Emirat Arab mengenai ekstradisi. (Lamhot Aritonang/detikcom)

Pemerintah memang sudah memilih perilaku terkait RUU kitab undang-undang hukum pidana yang akan mengatur pidana 'pria hidung belang'. Sikap itu tertulis dalam nota tanggapan yang tertuang putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 132/PUU-XIII/2015.

Beleid itu tertuang pada Pasal 483 ayat (1) aksara e yang berbunyi: 'Dipidana alasannya ialah zina, dengan pidana penjara paling usang 5 (lima) tahun laki-laki dan wanita yang masing-masing tidak terikat dalam perkawinan yang sah melaksanakan persetubuhan'.

"Ya kita coba, kita coba. Kita komunikasikan dengan teman-teman di DPR," terang Yasonna.



Polemik pemenjaraan 'pria hidung belang muncul' lagi sehabis artis Vanessa Angel ditangkap oleh tim Polda Jawa Timur atas dugaan prostitusi online. Vanessa diketahui 'dipesan' oleh seorang pengusaha yang mempunyai pertambangan di Lumajang berjulukan Rian.

Penyidik Polda Jawa Timur sempat menyidik Rian beberapa jam sehabis ditangkap di sebuah hotel bersama Vanessa dan Avriella. Namun investigasi tersebut hanya berlangsung beberapa jam.

Polisi melepas Rian alasannya ialah statusnya hanya sebagai saksi. Alasannya, tidak ada undang-undang yang dapat menjerat Rian.

"Karena tidak ada undang-undang yang menjerat. Sementara kita periksa sebagai saksi. Pasalnya yang kita terapkan muncikari, alasannya ialah penyedianya kan muncikari," kata Kasubdit V Cyber Crime Ditreskrimsus Polda Jatim AKBP Harissandi ketika dimintai konfirmasi detikcom di Mapolda Jatim, Senin (7/1/2019).



Anggota Komisi III dewan perwakilan rakyat Arsul Sani juga mengakui ada kelemahan dari pasal-pasal perihal delik kesusilaan. Pasal-pasal perihal delik kesusilaan itu hanya dapat menjerat orang yang berprofesi memasarkan prostitusi, sedangkan pelaku dan pengguna jasa prostitusi tidak termasuk di dalamnya.

"Karena itu di dalam RKUHP tentu kami yang di Komisi III harus melihat lagi dan harus mendiskusikan, memperdebatkan, apakah soal prostitusi itu dalam aturan kita akan diatur dalam tindak pidana atau tidak," jelasnya.



Politikus PPP itu juga menanggapi ajuan biar pengguna jasa prostitusi dipidanakan. Saat ini gotong royong pengguna jasa prostitusi dapat dipidanakan, tapi memang harus ada aduan.

"Hanya pasal perzinaan di dalam kitab undang-undang hukum pidana kita yang ada kini itu kan pengertiannya ialah korelasi seksual antara laki dan wanita di mana salah satunya itu sudah bersuami atau sudah beristri dan itu diadukan oleh suami atau istrinya. Kaprikornus tidak merupakan delik biasa yang di mana polisi dapat eksklusif menindak atas dasar laporan dari siapa pun, tidak tergantung apakah beliau suami atau istrinya. Itu persoalannya memang ada di sana," ujar Arsul.



Pada kasus prostitusi sebelumnya, muncikari Robby Abbas juga tidak mau sendirian masuk penjara alasannya ialah diseret jadi muncikari online. Ia meminta biar para pemakai jasanya juga dipenjara. Ia pun meminta keadilan ke Mahkamah Konstitusi (MK) tapi kandas.

"Persoalan aturan yang dipermasalahkan Pemohon ialah kebijakan kriminal, dalam arti mengakibatkan suatu perbuatan yang sebelumnya bukan perbuatan pidana menjadi perbuatan pidana, di mana kebijakan demikian ialah politik aturan pidana yang merupakan kewenangan pembentuk undang-undang," ujar Ketua MK Arief Hidayat dalam sidang yang terbuka untuk umum di gedung MK pada 5 April 2017.

Sumber detik.com

Artikel Terkait