Pemimpin Amanah



Wacana yang ditiupkan Gubernur DKI untuk membebaskan kendaraan Roda Dua melintasi jalan Thamrin dan Sudirman, menciptakan saya tersenyum. Mengapa ? Karena itu hanya ngoceh, yang bukan dalam bentuk Pergub yang mengikat. Mengapa ? Baik, saya jelaskan dasar aturan penetapan kebijakan larangan memakai kendaraan roda dua pada jalan tertenu. Aturannya yaitu Peraturan Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 195 Tahun 2014 perihal Pembatasan Lalu Lintas Sepeda Motor (“Pergub 195/2014”). Makara atas dasar inilah maka Ahok mengeluarkan Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 141 Tahun 2015 perihal Perubahan Atas Peraturan Gubernur Nomor 195 Tahun 2014 perihal Pembatasan Lalu Lintas Sepeda Motor (“Pergub 141/2015”).

Mengapa Ahok mengubah aturan itu ? Bukan alasannya alasan arogansi. Tapi demi melakukan Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 2011 perihal Manajemen dan Rekayasa, Analisis Dampak, Serta Manajemen Kebutuhan Lalu Lintas (“PP 32/2011”). Apa maksud dari PP itu ? guna meningkatkan efisiensi dan efektivitas penggunaan ruang kemudian lintas dan mengendalikan pergerakan kemudian lintas. Manajemen kebutuhan kemudian lintas tersebut salah satunya sanggup dilakukan oleh gubernur untuk jalan provinsi sesudah mendapat masukan dari bupati atau walikota. Caranya? Membatasi kemudian lintas kendaraan perseorangan pada koridor atau tempat tertentu pada waktu dan jalan tertentu, termasuk kemudian lintas sepeda motor pada koridor atau tempat tertentu pada waktu dan jalan tertentu.

Apalagi sesuai dengan Rencana Jangka Panjang DKI bahwa tempat Thamrin dan Sudirman dipersiapkan jalan protokol dengan jadwal ERP (electronic road pricing). Layaknya jalan tol, pengendara kendaraan yang melintas harus membayar. Kendaraan yang boleh melintas hanya roda empat ke atas. Roda dua dihentikan melaluinya. Aturan pembatasan sepeda motor dilakukan untuk mempersiapkan masyarakat akan peraturan itu. Ini bukan hanya di DKI tapi hampir semua ibu kota modern menerapkan aturan ini. Tujuan balasannya yaitu memaksa Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk menyediakan transportasi umum yang baik. Pelanggaran atas jadwal ini akan berahadapan dengan Pasal 287 ayat (1) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 perihal Lalu Lintas Dan Angkutan Jalan (“UU LLAJ”).

Begitu juga dengan larangan acara masyarakat di Taman Monas dasar hukumnya terang untuk mengakibatkan tempat istana itu sterill dari acara massa yang sanggup mengancam keamanan Lambang Negara. Lantas mengapa hingga Anies menciptakan wacana menghapus kebijakan tersebut ? Pertama , alasannya pesanan dari partai pendukungnya untuk membebaskan tempat thamrin dan Sudirman, monas untuk agresi massa menekan presiden. Membubarkan demo kendaraan roda dua lebih sulit dibandingkan membubarkan massa orang perorang. Kedua, wacana itu hanya untuk menaikan rating beliau dihadapan pemilihnya. Pada waktu bersamaan cara efektif untuk menyudutkan pihak yang menciptakan larangan itu. Makara sekali nembak sanggup dua burung sekalian. Tapi apakah itu akan jadi realita?

Sebagaimana dongeng ngoceh sebelumnya maka itu hanya seni komunikasi dihadapan pemilihnya. Tak lebih. Seharusnya Anies _Sandi sadar bahwa beliau memang dipilih oleh rakyat tapi saat beliau bekerja sebagai kepala daerah, maka sumpah jabatannya kepada Tuhan, bahwa merek harus patuh kepada UU dan Peraturan yang ada dengan sepatuh patuhnya. Apalagi sumpah itu disampaikan dihadapan pribadi seorang presiden yang bertanggung jawab kepada rakyat yang menentukan biar menciptakan indonesia lebih baik. Dengan perilaku nya melalui ocehannya sudah mengambarkan beliau memang tidak amanah terhadap UU dan peraturan yang ada. Dan ini sanggup di maklumi. Mengapa ? partai pendukungnya memang tidak menganggap aturan yang ada itu untuk dipatuhi walau alasannya itu sumpah atas nama Tuhan dibentuk becanda.

Anies-Sandi memang dipersiapkan bukan untuk membangun jakarta tapi untuk melewan pemerintah pusat, targetnya menciptakan seseorang atau dirinya sendiri jadi presiden. Waktu hingga 2019 akan benar benar dimanfaatkan oleh team dan pendukungnya untuk merebut kekuasaan di Indonesia. Tapi yang harus anggota DDB ingat bahwa kekuasaan yang didapat dengan cara mengusung issue SARA tidak akan sanggup mempersatukan dan tidak akan sanggup berbuat apapun. Hasilnya hanyalah paradox alasannya tidak ada cinta dibalik kemenangan itu. Kecuali haus kekuasaan dan cinta pada diri sendiri.





Sumber https://culas.blogspot.com/

Artikel Terkait