Tahun 2019 telah tiba dan hari-hari menjelang pemungutan bunyi pilpres semakin seru. Masing-masing kubu terus bergerak, melaksanakan kampanye semaksimal mungkin dengan cita-cita dapat merebut bunyi dari pemilih gres maupun dari pemilih yang belum menentukan pilihan.
Banyak kreasi dan penemuan kampanye dilakukan kedua kubu. Pada beberapa kasus, tampak sekali terjadi saling serang bahkan tidak jarang yang muncul ke permukaan justru perang makian bukan kritik program.
Pengamat politik yang juga Direktur Konsepindo Research and Consulting, Veri Muhlis Arifuzzaman menilai pilpres April mendatang bergotong-royong sudah dapat diprediksi pemenangnya. Sisa waktu sekitar 104 hari ke depan cukup berat bagi penantang untuk mengejar ketertinggalan. Sebagaimana diketahui survei selama dua tahun terakhir, elektabilitas Jokowi selalu lebih tinggi dari Prabowo.
"Untuk mengejar ketertinggalan ini diharapkan perjuangan keras, alasannya ialah yang tersisa untuk dibidik tinggal bunyi pemilih pemula dan pemilih bingung," ungkapnya kepada para wartawan, Rabu (2/1/2019).
Veri menjelaskan, yang terjadi dalam pilpres kali ini ialah rematch. Capres tahun 2014 dan tahun 2019 sama orangnya, yakni Joko Widodo melawan Prabowo Subianto. Dulu, waktu kedua orang ini sama-sama belum bekerja sebagai presiden, sama-sama nihil pengalaman memimpin negara, Jokowi memenangkan kontestasi. Kini dikala pertandingan ulang berlangsung, modal Jokowi jauh lebih meyakinkan.
"Jokowi sudah bekerja sebagai presiden selama empat tahun. Tentu sudah banyak yang dikerjakan selama kepemimpinannya itu. Pengalaman dan kerja kasatmata ini akan jadi modal yang sama sekali tak dapat ditandingi oleh Prabowo. Sederhannya, di pilpres 2014 dikala modalnya sama, yakni sama-sama belum berpengalaman sebagai presiden, Jokowi berhasil memenangkan kontestasi, apalagi kini dan ini semua terkonfirmasi oleh hasil survei yang dirilis beberapa forum survei," ujarnya.
Veri menganalisa, rata-rata survei menemukan elektabilitas Jokowi sudah berada di atas batas psikologis kemenangan yakni 54 persen. Angka ini berada di atas raihan bunyi Jokowi pada pilpres 2014 yakni 53,15 persen. Menurutnya, alasannya ialah posisinya rematch atau pertarungan ulang maka kecenderungan pendukungnya juga demikian, mereka akan kembali mendukung calonnya.
"Saya kira pendukung usang Jokowi patut diduga sudah tetapkan kembali memilihnya. Sementara, pemilih gres atau pemilih yang di pilpres kemudian golput ada kecenderungan menjadi penambah suara. Itulah mengapa bunyi yang diperebutkan tinggal sedikit. Jokowi juga masih punya kans menambah pendukung dari kelompok undecided voters dan jikalau itu terjadi kelompok target Prabowo semakin sempit," ungkapnya.
Debat kandidat yang akan digelar beberapa waktu ke depan berdasarkan Veri hanya akan menguatkan keyakinan masing-masing pendukung. Sama ibarat kampanye yang berlangsung beberapa bulan belakangan yang dilihatnya hanya saling menguatkan keyakinan pendukungnya masing-masing.
"Jadi mudah yang diperebutkan memang tinggal pemilih pemula dan sedikit pemilih mengambang yang membutuhkan sentuhan kampanye lebih dalam. Keduanya jenis pemilih itu sepertinya ada dalam kelompok undecided voters dalam temuan-temuan survei ," pungkasnya.
Pada pilpres 2014 yang kemudian Jokowi meraih bunyi sebanyak 70.997.85 bunyi (53,15 persen) sementara Prabowo meraih 62.576.444 bunyi (46,85 persen) selisih bunyi keduanya ialah 8.421.389 (6,3 persen). [sindonews.com]