Jakarta -Presiden menyetujui laki-laki hidung belang dieksekusi 5 tahun penjara dan dituangkan dalam RUU KUHP. Namun, draft RUU kitab undang-undang hukum pidana itu masih mangkrak di DPR.
Sikap pemerintah itu tertulis dalam nota balasan yang tertuang putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 132/PUU-XIII/2015. Nota balasan itu menanggapi permohonan muncikari Robby Abbas yang menginginkan penikmat prostitusi dipenjara.
"Sekarang ini terdapat pembahasan revisi Rancangan Undang- Undang kitab undang-undang hukum pidana yang salah satu pasalnya mengatur sesuai dengan permohonan Pemohon yang diatur dalam serpihan keempat wacana Zina dan Perbuatan Cabul Pasal 483 ayat (1) abjad e," demikian perilaku pemerintah soal kriminalisasi hidung belang.
Dipidana alasannya zina, dengan pidana penjara paling usang 5 (lima) tahun laki-laki dan wanita yang masing-masing tidak terikat dalam perkawinan yang sah melaksanakan persetubuhan.
Rancangan pasal gres itu akan menggantikan Pasal 296 kitab undang-undang hukum pidana yang berbunyi:
Barang siapa yang mata pencahariannya atau kebiasaannya yaitu dengan sengaja mengadakan atau memudahkan perbuatan cabul dengan orang lain diancam dengan pidana penjara paling usang satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak lima belas ribu rupiah.
Menurut pemerintah, permohonan Robby Abbas bukanlah info konstitusionalitas, tidak juga merupakan info persamaan kedudukan dalam hukum, tidak juga merupakan info pemberian hukum, serta tidak juga merupakan info keadilan.
"Tetapi lebih kepada info politik aturan negara yang memilih apakah suatu perbuatan dikategorikan suatu tindak pidana atau tidak yang ditentukan banyak hal antara lain perkembangan teknologi, perubahan nilai-nilai dalam masyarakat, dan faktor ekonomi," ujarnya.
Adapun berdasarkan andal pidana UGM, Prof Dr Eddy O.S Hiariej yang menjadi andal di permohonan Robby Abbas di atas, menyatakan sudah selayaknya pasal prostitusi di kitab undang-undang hukum pidana harus diubah alasannya bernafas budaya Barat/Eropa. kitab undang-undang hukum pidana tidak sesuai dengan idiologi dan kultur budaya Timur/ke-Indonesia-an.
"Dengan demikian, pasal-pasal a quo (ketentuan Pasal 296 kitab undang-undang hukum pidana dan ketentuan Pasal 506 KUHP) selain bersifat diskriminatif dan tidak menjamin kepastian hukum, pasal-pasal ini juga bertentangan dengan rasa keadilan masyarakat dan secara sosiologis bertentangan dengan tabiat ketimuran maupun norma-norma yang ada dalam agama-agama yang dianut di Indonesia, dan oleh jadinya pasal-pasal a quo (ketentuan Pasal 296 kitab undang-undang hukum pidana dan ketentuan Pasal 506 KUHP) harus dinyatakan tidak berlaku atau dinyatakan tidak mempunyai kekuatan aturan mengikat," kata Eddy menyimpulkan analisanya.
Baca juga: Putusan MK dan Azab Tuhan di Balik Gempa |
Atas silang sengketa itu, MK tetapkan menyatakan tidak berwenang menciptakan jenis pidana baru. Menurut MK, yang berwenang mengkriminalisasikan sebuah perbuatan yaitu DPR.
"Persoalan aturan yang dipermasalahkan Pemohon yaitu kebijakan kriminal, dalam arti mengakibatkan suatu perbuatan yang sebelumnya bukan perbuatan pidana menjadi perbuatan pidana, di mana kebijakan demikian yaitu politik aturan pidana yang merupakan kewenangan pembentuk undang-undang," ujar Ketua MK Arief Hidayat dalam sidang yang terbuka untuk umum di gedung MK pada 5 April 2017.
Setahun berlalu, umpan lambung MK masih dibiarkan di DPR. Revisi kitab undang-undang hukum pidana sampai sekarang belum ada gejala akan disahkan. Alih-alih konsumen muncikacari berkurang, malah muncul lagi perkara serupa yaitu yang menyeret Vanessa Angel dan Avriellia Shaqqila.
Lalu, beranikah dewan perwakilan rakyat mempidanakan laki-laki hidung belang?
Saksikan juga video 'Sandi Harap Media Massa Laporkan Prostitusi di Jakarta':
Sumber detik.com