Resensi Buku Untaian Lara, Buat Yuni



Melodrama kesannya dipakai dalam aneka macam opera  opere, musikal, agenda televisi dan radio serta film. Menjelang tidur, Deng menyampaikan kepada istrinya Jiang Qing, bahwa bersabarlah. Ada saatnya nanti kita akan malawan. Jiang Qing tahu bahwa perintah revolusi sudah dimulai dari balik kelambu. Tetapi bagaimana memulainya? Jiang Qiang mustahil mengerahkan kekuatannya yang hanya seorang istri Mao untuk melawan musuh dalam selimut Mao. Bagi lawannya Jiang Qing bukanlah bahaya serius. Tetapi orang lupa. Bahwa JIang Qing ialah seorang artis teater. Melalui acara panggung melodrama itulah beliau membangun emosi rakyat. Bahwa komunisme masih punya kutu dalam selimut. Ada rakyat yang tertindas dan ada kaum feodal yang menindas. Ada yang baik dan ada yang jahat. Karena itu pahlamawan di perlukan.

Melodrama dibangun oleh ”monopati”. Monopathy ialah ”kesatuan perasaan yang menciptakan seseorang mencicipi diri utuh”. Tokoh-tokoh dalam sebuah melodrama ”tak punya konflik yang fundamental dalam dirinya”.  Melodrama ialah konflik insan dengan insan lain. Maka melodrama bergantung pada permusuhan dengan sesuatu yang di luar sana—si jahat atau bakhil, ideologi yang memusuhi atau kekuasaan yang akan menindas, alam yang destruktif, dan lain-lain. Dalam melodrama, dunia hanya hitam atau putih. Namun hitam putih itu hal yang subjective sesuai fantasi sutradara dan penulis cerita. Maka sebenarnya melodrama ialah bahasa lain cara mengartikulasikan pesan politik yang jitu diabad 12 hingga dengan kala ke 19. Yang terbukti sanggup membangkitkan jutaan rakyat jelata China menguasai kota dan desa dalam revolusi kebudayaan. 

Buku novel, “Untaian Lara, buat Yuni”, yang saya tulis bukanlah melodrama. Ia sebuah tragedi. Yuni seorang perempuan miskin yang walau punya kelebihan dan nasip baik dipermukan dengan laki-laki yang menolongnya  menjadi pengusaha namun tidak menimbulkan beliau seperior dihadapan laki-laki pria yang beliau cintai. Yuni tidak mendapatkan episode “menang” dalam kisah kehidupannya. Walau untuk itu beliau harus terus berkorban untuk orang yang beliau cintai. Tidak ada happy ending dari kisah “ Untaian lara buat Yuni”. Setiap episode ihwal “Yuni, berputar putar ihwal tokoh yang melahirkan tragedi, baik ihwal diri Yuni maupun mereka yang erat dengannya.

Entah apakah Novel “ Untaian Lara, buat Yuni” sanggup dipahami mereka yang sudah terbiasa dalam fantasi melodrama. Karena melodrama selalu tersimpan dalam sebuah masyarakat. Hidup terkadang terlalu penuh warna abu-abu hingga orang menginginkan gambar yang tegas dan sederhana. Yang tragis menakutkan. Kita pun suka sekali kisah ibarat Ramayana dengan simpulan yang terperinci dan bahagia: Sita kembali mendampingi suaminya sehabis Dasamuka yang jahat itu mati. Tak ada dalam dongeng kita bahwa Sita harus dibakar untuk menunjukan dirinya ”suci” sehabis bertahun-tahun hidup di bawah kuasa lelaki lain.

Melodrama, dalam pentas dan fantasi, memang mengasyikkan, dengan atau tanpa air mata. Tapi memandang hidup dengan perilaku pengarang sinetron akan cenderung menampik kesadaran akan yang tragis dalam sejarah—dan kita hanya akan jadi anak yang abai dan manja. “ Untaian Lara, but Yuni, memberikan kisah supaya semua kita sanggup melihat kenyataan dan berdamai karenanya. Bahwa hidup bukanlah apa yang kita sanggup tetapi apa yang kita beri, bukan apa yang kita pelajari tetapi apa yang kita ajarkan, bukan apa yang kita pikirkan tetapi apa yang kita kerjakan. Yakinlah, hidup tak bergerak dengan monopati. Hidup bergerak alasannya insiden tragis. Termasuk cinta melahirkan benci dan kesannya rindu dan tak terpisahkan tanpa berhap apapun kecuali mendapatkan kenyataan dalam bersahaja…

***
Buku tersedia melalui pesanan online WA 081212199662



Sumber https://bukuerizelibandaro.blogspot.com/

Artikel Terkait