Tikus Besar..


Tadi ngobrol dengan teman di program kondangan ijab kabul putra dari perwira polisi. Teman ini seorang pengusaha yang sedang membangun proyek infrastruktur pelabuhan khusus.  Menurutnya ketika kini semua izin investasi sangat gampang didapat. Semua aturan jelas, lengkap dengan batas waktu yang harus di penuhi oleh pegawapemerintah di tingkat di sentra maupun tempat dalam memperoses izin tersebut. Ini merupakan langkah revolusioner yang sanggup di lakukan Jokowi. Hampir tidak ada yang berani memperulit dengan alasan minta uang.  Tapi ada yang sulit dan mungkin sangat sulit di prediksi endingnya. Apa itu ? Izin AMDAL. Analisa mengenai Dampak Lingkungan. 

Walau proses mendapat AMDAL tersebut tertuang dalam UU dan Peraturan yang jelas. SOP yang ketat dengan melibatkan masyarakat. LSM  atau stakeholder dalam proses pengambilan keputusan. Namun tidak menjamin keputusan yang telah di keluarkan oleh otoritas sudah merupakan keputusan final. Mengapa ? Kapan saja jikalau ada pihak yang menggugat maka pemerintah sanggup membatalkan AMDAL yang telah ada dan sekaligus membatalkan izin investasi. Tentu pemnbatalan itu dasarnya yaitu keputusan pengadilan. Disinilah permainan di create. 

Para penggugat itu mendapat masukan dari pejabat pemerintah sendiri. Strategi bagaimana memenangkan kasus di pengadilan juga di atur oleh pejabat pemerintah secara silent operation. Para LSM yang hebat memprovokasi masyarakat di minta melaksanakan tugasnya dengan baik. Media massa juga di loby supaya membantu menyebar luaskan isu soal somasi ini. Opini publik dari kalangan universitas di create supaya hanya ada satu bunyi bahwa investasi tesebut melanggar AMDAL  Lantas untuk apa ini semua di lakukan? ya sebab uang. 

Bagi pejabat Daerah yang menginginkan ada uang lendir masuk dari suatu proyek besar maka yang paling kondusif yaitu memprovokasi masyarakat melalui LSM untuk melaksanakan somasi lingkungan atas izin yang telah di keluarkan. Darimana uangnya? Bisa dengan cara memeras investor. Biasanya hanya gerakan kencil, investor eksklusif ajak damai. Dari tenang inilah uang ditebar. Secara legal pejabat pemerintah higienis sebab yang sanggup ganti rugi yaitu LSM yang mewakili masyarakat. Namun di belakang itu bahwasanya ada deal bagi bagi dengan LSM. Setelah bagi bagi maka urusan selesai. Keadaan akan sunyi kembali dan proyek tetap jalan. Masyarakat yang demo, hanya sanggup uang kecil.  

Tapi keadaan menjadi runyam bila somasi lingkungan sebab pesanan dari kompetitor. Targetnya yaitu membunuh investor yang sudah mengantongi izin,  Dan memastikan ia tetap unggul dalam persaingan. Kalau ini terjadi maka keadaannya sama ibarat antar juragan perang sawer mendapat artis dangdut tidur dalam pelukannya. Pertarungan itu tidak ada yang menang kecuali artis dangdut yang semakin banyak saweran hingga akibatnya salah satu kehabisan uang di dompet. Yang menang yaitu paling banyak sawerannya. Kita akan lihat nanti , apakah PT. Semen Indonesia ( BUMN) yang menang ataukah kompetitornya yang juga yaitu PMA. Rp 5 triliun investasi , setidaknya 10% dari nilai investasi atau Rp 500 miliar itu harus ada didompet para juragan jikalau ingin menang.

Para  tikus besar di kala Jokowi memang semakin kehilangan celah merampok APBN dan rente. Namun melalui semangat demokrasi tikus besar itu  memakai patron (LSM ) dan massa untuk melemahkan legitimasi keputusan pemerintah supaya sanggup uang dengan gampang tanpa tersentuh hukum. Sudah saatnya KPK masuk dalam kasus ini..agar modus operandi ibarat ini tidak terjadi lagi..Dan investor tidak merasa berada di rimba belantara para bedebah. " BIla BUMN saja sanggup jadi pecundang , gimana asing? gimana swasta nasional? Mikir dululah jikalau mau invest. Sepertinya ada hidden agenda dari kelompok bisnis tertentu supaya peluang pasar semen dari adanya proyek infrastruktur Jokowi hanya di nikmati oleh kelompok tertentu." 

Sumber https://culas.blogspot.com/

Artikel Terkait