Showing posts sorted by date for query megawati-atau-jokowi. Sort by relevance Show all posts
Showing posts sorted by date for query megawati-atau-jokowi. Sort by relevance Show all posts

Kasus Keuangan Di Bundar Prabowo..


KIANI.
Kalau kita bicara PT. Kiani Kertas maka nama nama Bob Hasan, Luhut Binsar Panjaitan, Prabowo Subianto , terakhir tentunya rezim Soeharto, tidak sanggup dipisahkan. Mengapa ini harus saya tulis? Karena ini satu referensi bagaimana keserakahan itu tidak pernah habis habisnya membuat duduk kasus dan itu dilakukan oleh mereka yang terpelajar dan erat dengan kekuasaan. Kiani Kertas (KK) ialah perusahaan yang memproduksi bubur kertas, kertas dan papan serat berkepadatan menengah (Medium Density Fiberboard/MDF). Pabrik ini berlokasi di Kalimantan.

PT. Kiani Kertas ( KK) didirikan sebagai cuilan dari strategy pak Harto untuk meningkatkan nilai tambah hasil hutan. Agar tidak lagi diekspor mentah tapi diolah menjadi produk jadi yang bernilai tinggi. Keputusan pembangunan pabrik dimulai tahun 1990, namun mulai dibangun tahun 1994. Untuk meningkatkan produksi bubur kertas diharapkan mesin-mesin baru. Untuk itu P.T. Kiani Kertas membutuhkan USD 930 juta atau atau bila dikurs kini nilainya Rp 14 triliun. Hampir setengahnya, USD 410 juta US$ didanai oleh konsorsium bank, 4 diantaranya ialah BUMN dan 10 bank swasta. Lead Arranger ialah Bank Negara Indonesia (BNI), sebagai Co-Arranger ialah Bank Dagang Negara (BDN) dan Bank Umum Nasional (BUN). Tidak itu saja, KK juga mendapatkan USD 410 juta dana reboisasi dari Pemerintah Indonesia dengan bagan utang. Untuk memungkinkan menerima kredit negara, Suharto mengeluarkan Keppres 93/96 pada tanggal 10 Desember 1996. KK juga sanggup tax holiday semala 10 tahun.  Itu semua terealisasi lantaran Bob Hasan ialah kroni Soeharto.

Tapi apa yang terjadi sesudah proyek selesai dibangun? Pabrik itu tidak bisa mendapatkan materi baku yang cukup. Mengapa ? PT. Kiani Lestari sebagai HTI yang diandalkan sebagai supply guarantee,  kapasitasnya dibawah kebutuhan KK. Tahun 2003 penyediaan kayu macet total dan KK menghentikan produksinya untuk jangka waktu setengah tahun lantaran kekurangan materi baku. Sebelumnya  KK dan Kiani lestari sudah dalam kondisi  diserahkan oleh Bob Hasan kepada BPPN lantaran tak bisa bayar utang bank sebesar Rp. 49,3 Triliun. Anda bisa bayangkan proyek senilai  USD 930 juta tanpa perencanaan yang baik. Tentu motive nya bukan untuk bisnis tapi menjarah. 

Ketika Era Megawati sebagai Wapres, Taufik Kemas menugaskan Luhut Binsar Panjaitan ( LBP) untuk mencarikan solusi atas duduk kasus KK dan Kiani Lestari. Karena proyek ini dalam jangka panjang sangat strategis dan juga duduk kasus utang yang harus diselesaikan semoga negara tidak terlalu besar dirugikan. LBP menggandeng Hashim Djojohadikusumo untuk mengambil alih KK dan Kiani lestari.  Hashim menempatkan Prabowo sebagai orang yang terlibat secara tidak eksklusif dalam proses  pengambil alihan ini. Skema yang digunakan dalam pengambil alihan ini ialah LBO ( Leverage buyouts ) atau ambil alih perusahaan tidak  memakai uang sendiri tapi pakai uang bank.

Aksi yan dilakukan ialah mengambil alih hutang KK di BNI dengan menarik hutang dari Bank Mandiri. Aksi ini dilakukan atas nama P.T. Anugra Cipta Investa dengan menunjuk pemegang saham dan administrator nominee ( boneka). Setelah selesai proses LBO, PT Anugra Cipta Invstas melaksanakan trasfer right ke PT. Energi Nusantara yang tidak terlibat sama sekali secara aturan dalam agresi pengambil alihan. Rencananya KK dan Kiani akan di refinancing melalui pelepasan saham kepada pihak jepang. Yang sudah berminat saat itu Marubeni dan Mitsubishi trading. Dari sini akan dapat  melunasi hutang ke Bank Mandiri dan juga untung besar dalam bentuk capital gain.

Yang jadi duduk kasus transaksi LBO P.T. Anugra Cipta Investa dengan Bank Mandiri memakai collateral dalam bentuk SBLC dari BNP Paribas. Bank Mandiri tahu bahwa SBLC itu tidak bisa di cairkan. Itu hanya sebagai credit enhancement. Kalau SBLC itu dijadikan collateral utama maka  akan mempengarui rasio CAR dan 3L Bank Mandiri di BI. Makanya Bank Mandiri tidak memakai bagan loan tapi hanya bertindak sebagai channeling bank melalui bank di Singapore. Artinya Bank Mandiri meng- transfer SBLC itu ke bank lain dan menawarkan stop loss guarantee atas SBLC itu. Dengan demikian resiko ada pada Bank Mandiri bukan BNP Paribas sebagai bank penerbit. Sepintas transaksi ini kondusif dan tidak diketahui oleh BI. Aman bagi Mandiri lantaran sesudah perusahaan diambil alih akan segera di jual ke jepan dan hasil penjualan itu untuk bayar hutang ke bank  di singapore.  Pejabat otoritas saat itu hanya tahu bahwa Hashim dan Prabowo memang kaya raya.

Tapi apa yang terjadi kemudian ? Janji Kiani akan dijual kepada Jepang tidak dilaksanakan oleh Hashim. Ini sama saja meniupkan angin badai ke Bank Mandiri yang teracam harus membayar hutang ke Bank di Singapore lantaran SBLC sebagai collateral dipastikan default tamat tahun. Ketika itu Dirut Kiani ialah LBP. Melihat situasi ini LBP sadar bahwa PS dan Hashim tidak komit. Dia mengundurkan diri sebagai Dirut. Benarlah, setahun kemudian, ada tagihan antar bank ke bank Mandiri dan BI menyatakan posisi transaksi antar bank itu ialah potential loss. BI eksklusif mendebit rekening Bank Mandiri di BI untuk melunasi komitmen ke bank di Singapore. Dampaknya Dirut Mandiri masuk penjara dan beberapa direksi diberhentikan. 

Nama Hashim dan Prabowo higienis dari aturan pidana atas masalah default itu. Karena yang melaksanakan perikatan aturan ialah PT. Anugra Cipta Investa dimana baik Hashim maunpun Prabowo tidak ada namanya di perusahaan itu. Mengapa PT. Energi Nusantara tidak melaksanakan skenario melepas saham ke jepang semoga sanggup bayar hutang PT. Anugra Cipta Investa dan menyelamatkan Bank Mandiri dari default dengan bank di singapore ? Kita tidak tahu. Yang terang ada pihak jadi korban dan ada pihak yang berpesta dari transaksi ini.  Dan hebatnya walau belakangan Kiani menghadapi kesulitan likuiditas dan banyak PHK yang sempat demo lantaran belum dibayar pesangon, PT. Energi Nusantara sebagai pemilik Kiani bisa melepas sahamnya kepada JP Morgan & Co dan Mr. Lauw dari Singapur dengan nilai transaksi  200 juta US$ dan juga sanggup perhiasan untuk melunasi hutang pada bank. Siapapun otak dibalik transaksi ini memang hebat. Kaya raya tanpa keluar modal dengan mengorbankan pihak lain tanpa ada perasaan berdosa.

TPPI
Januari 2018 ada gosip besar perihal Honggo Wendratno (HW) yang hilang begitu saja. Padahal tadinya beliau kondusif saja di Singapore walau masalah beliau termasuk mega skandal di masa SBY, Gus Dur, Megawati , kemudian SBY. Ya sebabnya lantaran tidak ada perintah pengadilan memastikan beliau tersangka. Saya ingin jelaskan kepada anda semoga bisa objectif atas gosip yang beredar. Setidaknya tidak menimbulkan PS sebagai target fitnah. Bagaimanapun soal bisnis. Prabowo bukan tipe pebisnis yang menguasai permainan canggih merampok negara. Dalam hal bisnis PS termasuk orang yang lugu. Nah siapa yang bermain itu?

Kasus seputar HW berkaitan dengan Trans Pacific Petrochemical Indotama (TPPI). Ceritanya begini. TPPI didirikan tahun 1995 Hashim Djojohadikusumo, bersama dengan Njoo Kok Kiong alias Al Njoo dan Honggo Wendratno, dengan komposisi saham: Hashim Djojohadikusumo 50% di TPPI, sisanya dimiliki oleh Al Njoo dan Honggo. TPPI ini mendirikan proyek sentra petrokimia yang dananya dari bank milik Hashim sendiri. Ketika terjadi masalah KLBI , Bank Hashim termasuk yang ditutup, dan Hashim harus bertanggung jawab. Tahun 1998 Hashim menyerahkan seluruh saham milik di TPPI kepada BPPN.

Kemudian Pemerintah membentuk Tuban Petro sebagai holding untuk membawahi 3 perusahaan milik Hashim Djojohadikusumo, yang salah satunya TPPI. Struktur saham TPPI menjadi Turban Petro (59%), Pertamina (15%) dan sisanya oleh kreditur asing. Di Tuban Petro Holding ada saham pemerintah sebesar 70% dan sisanya perwakilan pemilik lama, Honggo Wendratno. Tetapi hebatnya Hashim tidak begitu tulus assetnya diambil pemerintah. Makanya HW yang merupakan orang kepercayaannya di tempatkan di Tuban dengan menguasai sebagian kecil saham.Uang pembelian saham itu berasal dari utang kepada Bank Century yang kesudahannya macet.

Hashim bertekad untuk membeli balik asset tersebut melalui BPPN, tapi pemerintah tak bersedia bernegoisasi dengan dirinya. Karena secara formal pemilik usang dihentikan melaksanakan pembelian ulang. Tetapi HW yang telah ada didalam PT Tuban bersama pemerintah selalu menghambat setiap upaya konversi saham Tuban Petro atas TPPI. Karena HW berjanji akan melunasi hutang TPPI Rp 17,8 triliun termasuk Rp 6,6 triliun utang kepada Pertamina, Rp 1,54 triliun kepada Perusahan Pengelola Aset qq Menteri Keuangan, dan Rp 1, 35 triliun kepada BP Migas. Sehingga proses pengambil alihan TPPI tidak pernah settle.

Di masa SBY, lantaran posisi HW ada di dalam Tuban holding yang bermitra dengan pemeritnah, dengan gampang beliau mendapatkan kontrak Tahun 2009, SKK Migas melaksanakan proses penunjukan eksklusif penjualan kondensat cuilan negara kepada PT TPPI. Ini terang melanggar procedure. Karena tidak melalui ketentuan yakni Keputusan Kepala BP Migas Nomor KPTS-20/BP0000/2003-SO perihal Pedoman Tata Kerja Penunjukan Penjual Minyak Mentah atau Kondensat Bagian Negara dan Keputusan Kepala BP Migas Nomor KPTS-24/BP00000/2003-SO perihal Pembentukan Tim Penunjukan Penjual Minyak Mentah atau Kondensat Bagian Negara.

Sebetulnya kontrak ini untuk kerjasama memproduksi BBM untuk dijual kepada Pertamina, tetapi PT TPPI mengolah menjadi LPG. Hasil penjualan tidak pernah disetor ke kas negara, tetapi dianggap sebagai pelunasan hutang TPPI kepada Pertamina dengan harga mark up. Hebat ya. Negara punya tagihan dibayar pakai barangnya sendiri dengan harga mark up. Selama 10 tahun, Pertamina sudah merugi 22 triliun. Itu lantaran kedekatan HW dengan Hatta Rajasa dan Murez, yang menempatkan Amir Sambodo, sebagai administrator Tuban Holding.

Sebetulnya HW orang baik. Dia tidak hebat soal pat -gulipat. Apalagi hingga bisa merekayasa utang dan ngemplang. Dia bukan tipe orang ibarat itu. Yang terang hutangnya di Bank Century tidak tersentuh hukum. Kasus seputar TPPI hanya dikenakan pasal 3 dan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 perihal Tindak Pidana Pencucian Uang, yang sulit dibuktikan lantaran kita belum punya UU pembuktian terbalik. Bertahun tahun beliau kondusif saja tinggal di Singapore. Teman saya ketemu beliau di Singapore, Gaya hidupnya sederhana. Engga keliatan beliau sebagai buronan puluhan triliun. Kasus ini mencuat kembali tahun 2015 di masa Jokowi tetapi hilang begitu saja prosesnya. Nah kini HW kabur tanpa diketahui dimana beliau berada. Tahun ini tahun politik, yang tahu niscaya masalah ini bukanlah HW. Tetapi the man behind the gun. Mungkinkah ? Yang terang mereka yang berada diputaran TPPI ini ialah HW dan Hashim ,Hatta Rajasa dan Murez, Amir Sambodo, sebagai administrator Tuban Holding dan juga JK. 


*** 


Sumber https://culas.blogspot.com/

Pertumbuhan Industri Dan Manufaktur


Negara modern alasannya ialah didukung oleh Industri yang kuat. Dari Industri dan manufaktur itulah akan terserap angkatan kerja dan menghasilkan nilai tambah bagi bangsa dan negara.  Di Indonesia paska reformasi  pertumbuhan industri sangat lambat, bahkan terjadi deindustrialisasi.  Walau tahun 2000-2001 abad Gus Dur pernah mencapai pertumbuhan sebesar 23,85 ( 2000) ke 25,2%  (2001) alasannya ialah sektor pertanian dan perdagangan turun drastis namun selanjutnya abad Megawati dan SBY kontribusi industri terhadap PDB terus menurun. Selama abad Megawati (2001-2004) sanggup dikatakan telah terjadi deindustrialisasi. Hal ini alasannya ialah angka kontribusi manufaktur terhadap PDB cenderung menurun, dari 24,8% (2002), 24,5% (2003) sampai ke 23,9% (2004). Selama abad SBY (2004-2014) sanggup dikatakan juga telah terjadi deindustrialisasi. Hal ini alasannya ialah kontribusi manufaktur terhadap PDB terus turun secara signifikan, dari 22,4% (2005) sampai 17,8% (2014).

Atau bisa dikatakan semenjak abad Reformasi kita mengalami proses deindustriliasasi. Apa penyebanya ? Pertama ialah rendahnya kontribusi perbankan. Kredit perbankan ke sektor industri secara diktatorial memang tumbuh, tetapi persentasenya makin rendah. Tahun 2008, industri manufaktur hanya memperoleh 15% kredit perbankan. Salah satunya alasannya ialah banyak industri dianggap bermasalah atau masuk kategori sunset industry. Kedua, masih lemahnya kontribusi universitas dan forum riset di negeri ini dalam membantu mengatasi problem riil yang dihadapi oleh industri. Hal ini menimbulkan lambatnya transfer teknologi, penetrasi pasar ekspor, dan pengembangan produk maupun proses produksi. Indonesia sudah tertinggal dari Negara-negara lain dalam kemitraan dunia perjuangan dan universitas. Pengalaman di Jepang, sebagai ilustrasi, kemitraan ini amat mendukung pengembangan sistem penemuan nasional, universitas dan industri sanggup gotong royong mengelola ketidakpastian teknologi, dan juga memanfaatkan sistem kekayaan intelektual (Watanabe, 2009).

Ketiga, rendahnya daya saing produk dalam negeri. Banyak faktor yang menimbulkan rendahnya daya saing. Diantaranya alasannya ialah faktor energi, infrastruktur, dan regulasi. Faktor utama lain yaitu tingginya penetrasi barang konsumsi impor alasannya ialah tidak adanya kebijakan perlindungan untuk idustri substitusi import. Hal ini diperparah dengan ditanda tanganinya perjanjian ACFTA, yang menjadikan semakin terpuruknya industri Indonesia, khususnya tekstil, alasannya ialah kalah harga dan kualitas dengan produk China. Keempat, stabilitas keamanan Indonesia yang masih terganggu. Isu utama keamanan di Indonesia ialah terorisme, yang dipicu oleh rangkaian peledakan bom di Indonesia ibarat bom bali dan JW-Marriot. Isu terorisme ini menghambat tumbuhnya investasi di Indonesia. Kelima stabilitas ekonomi. Krisis ekonomi global memang berdampak pada ketidakstabilan ekonomi dunia. Industri cenderung melambat tumbuhnya.

Di abad Jokowi, permasalahan tersebut diatas sangat dipahami. Jokowi focus membenahi hal yang menghambat tumbuhnya industri tersebut. Sektor perbankan di benahi, deregulasi sektor industri di perluas semoga mengundang kemitraan  dari negara yang maju bidang riset dan tekhnologi. Infrastruktur dibangun meluas di seluruh Indonesia semoga bisa menekan biaya logistik bagi industri dan manufaktur.  Sehingga bisa meningkatkan daya saing industri dalam negeri. Pemerintah juga meningkatkan tarif impor semoga industri yang mrmproduksi barang substitusi impor terlindungi dan terjadi perluasa kesempatan bagi semua membangun industri subtitusi impor. Dari upaya itu terbukti tahun 2017 rangking easy of doing business  ( EOD) menjadi 72. Padahal tahun 2008 rangking kita di dunia ialah 129. Artinya terjadi peningkatan significant. Index infrastructur juga naik. Data Global Competitiveness Index 2017 menunjukkan indeks daya saing infrastruktur Indonesia pada 2017-2018 berada di urutan ke-52 dari posisi sebelumnya di periode 2015-2016 yang masih berada di posisi 62.

Nah apa dampaknya terhadap pertumbuhan industri ? Walau tidak otomatis tumbuh pesat. Karena yang namanya industri itu dibangun butuh waktu tidak sebentar. Namun selama Era Jokowi pertumbuhan industri terjadi terus dari tahun ke tahun.  Kontribusi industri dan manufaktur terhadap PDB tahun 2015 ialah 18,19%, kemudian tahun 2016 naik tipis menjadi 18,20%. Tahun 2017, secara keseluruhan, industri manufaktur menyumbang Rp2.103,07 triliun bagi ekonomi Indonesia, atau sekitar 21,22% dari PDB. Pertumbuhan produksi industri manufaktur besar dan sedang di kuartal II-2018 disokong oleh beberapa sektor yang tumbuh cukup solid, antara lain industri kulit dan bantalan kaki (+27,73% YoY), industri karet dan plastik (+17,28% YoY), industri minuman (+15,41% YoY), industri pakaian jadi (+14,63% YoY), dan industri alat angkutan Artikel Babo (+12,34% YoY). Dari data Artikel Babo, pertumbuhan produksi industri manufaktur mikro dan kecil meningkat sebesar 4,93% YoY pada periode kuartal II-2018 ini. Catatan tersebut jauh mengungguli pertumbuhan di periode yang sama tahun kemudian sebesar 2,50% YoY. Lima sektor industri manufaktur mikro dan kecil yang tumbuh paling pesat di kuartal kemudian ialah industri materi kimia (+25.55% YoY), industri percetakan dan reproduksi media rekaman (+24,42% YoY), industri logam dasar (+22,70% YoY), industri peralatan listrik (+12,42% YoY), dan industri komputer dan barang elektronik (+8,46% YoY).


Mungkin tak pernah kita sangka sebelumnya bahwa kontribusi sektor industri nasional terhadap produk domestik bruto (PDB) nasional tergolong tinggi yakni mencapai 22%. Besarnya peranan itu membawa kapabilitas manufaktur Indonesia masuk deretan negara dengan kontribusi industri terbesar pada struktur PDB. Jika dilihat kontribusi (sektor industri) pada PDB, Indonesia berada di urutan empat di bawah  Korea Selatan, Tiongkok, dan Jerman. Kemampuan industri Indonesia tentu jauh di atas negara-negara ASEAN Artikel Babo. Bahkan ditambah industri turunannya, kontribusi manufaktur lebih dari 30%.  Ini merupakan fakta bahwa proses pembangunan abad Jokowi tidak ugal ugalan. Indikator tumbuhnya industri ialah fakta bahwa negara dikelola secara modern dengan perencanaan yang terukur dan rasional serta berspektrum jangka panjang. Paling tidak tingkat kemiskinan, tingkat pengangguran, dan rasio Gini turun. Kalau masih ada yang mencurigai dan bahkan menuduh negatif bahwa abad Jokowi tidak ada kemajuan maka itu tidak beralasan. 


Sumber https://culas.blogspot.com/

Sumber Daya Keuangan.



Anda boleh saja sanggup warisan dari keluarga dengan harta banyak. Tetapi kalau anda tidak punya sumber daya keuangan maka harta itu hanya problem waktu akan habis dijual untuk konsumsi. Sebaliknya walau anda terlahir tanpa harta namun anda sanggup berkembang lantaran anda punya sumber daya keuangan. Kalau dulu sumber daya keuangan itu hanya dua yaitu satu dari keluarga atau teman, kedua dari Bank. Hanya itu. Keluarga atau sahabat disebut dengan sumbedaya keuangan yang berbasis cinta. Sementara sumber dari bank berbasih collateral. Dalam hal negara, dulu  sebelum tahun 2000 sumber daya keuangan negara berasal dari pajak , bagi hasil dan utang. Utang ini berasal dari negara lain atau G2G yang bersifat politik. Ada juga kuridor multilateral menyerupai CGI atau IMF atau World bank.

Setelah tahun 2000 kita membuka diri dalam sistem pengelolaan keuangan negara. Format APBN tidak lagi menyerupai buku Toko atau nerara T ( debit kredit yang seimbang ) tetapi di ubah menjadi vertikal atau I . Ini standard Government Finance Statistic.  Dengan standar ini maka APBN kita sudah menyerupai neraca perusahaan. Utang tidak lagi dianggap sebagai pendapatan atau penerimaan. Utang ditempatkan sebagai financial resource atau sumber daya keuangan.  Nah yang namanya sumber daya keuangan maka itu selalu bekerjasama dengan standar rasio kelayakan dihadapan investor atau kreditur. Tahun 2000-2003 Gus DUR dan kemudian Megawati tidak bisa  lagi menarik hutang menyerupai kurun Soeharto. Sumber daya keuangan kering. Makanya terpaksa menjual asset lewat BPPN atau pelepasan asset BUMN.

Era SBY pada periode pertama, Indonesia menata sistem keuangan negara yang bertumpu pada pajak dan utang sebagai sumber daya keuangan. Sampai dengan periode kedua SBY, sumber daya keuangan kita melimpah. Karena faktor eksternal dimana harga 10 komoditas utama Indonesia naik dipasar dunia. Sehingga neraca kita positip yang memudahkan pemerintah meng saluran sumber daya keuangan. Setelah krisis 2008 terjadi banjir likuiditas di pasar uang global lantaran AS mengeluarkan kebijakan QE.  Ini dimanfaatkan dengan baik oleh SBY untuk menarik utang melalui pasar uang global. Namun utang itu sebagian besar tidak dipakai untuk sektor produksi tetapi lebih kepada penguatan konsumsi domestik lewat subsidi.

Tahun 2013 AS mulai menarik supply uang di pasar melalui kebijakan tapering off yang sehingga suku bunga the fed mulai di naikan. Akibatnya tahun 2014 pasar uang global kekurangan likuiditas lantaran kebijakan tapering off semakin kencang. Ketika Jokowi masuk Istana tahun 2014, posisi APBN kita dalam kondisi defisit primer atau pendapatan negara tidak cukup lagi untuk menutup belanja negara di luar pembayaran cicilan utang dan bunga. 10 komoditas utama Indonesia harganya jatuh dipasar dunia. Dalam kondisi ini mustahil Jokowi sanggup menarik utang dipasar dengan mudah.  Kalaupun ada , tentu suku bunga tinggi. Lantas apa solusi Jokowi? Pertama, restruktur APBN biar sehat dan kredibel. Kedua, membuat hukum biar Dana pihak ketiga ( DPK ) dari institusi menyerupai dana pensiun sanggup diperluas penempatannya atau portfolionya. 

Restruktur APBN itu tidak mudah. Karena ini berkaitan visi, orientasi dan standar kepatuhan sesuai dengan design dari taktik pembangunan yang ditetapkan oleh Jokowi. Semua bisnis non tradeable tidak lagi mendapatkan insentif dan fasilitas. Mengapa ? biar sektor real dalam tumbuh tanpa distorsi dengan pasar. Kalau sektor real tumbuh, pajak juga akan meningkat. Orientasi APBN diarahkan untuk sektor produksi dengan penyediaan infrastruktur ekonomi. Mengapa ? biar dunia perjuangan bisa efisien. Bila dunia perjuangan efisien maka daya saing akan tinggi, tentu akan mendorong orang untuk ber-investasi. Terakhir ialah mereformasi UU pajak biar peluang meningkatkan tax ratio lebih gampang dicapai.  Dengan kebijakan itu, maka pasar melihat bahwa Jokowi serius mengelola keuangan negara secara modern dan transparans.

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mewajibkan peningkatan dana investasi asuransi dan dana pensiun pada instrumen obligasi. Lembaga jasa keuangan non-bank diwajibkan Peraturan OJK No.1/POJK.05/2016 untuk meng-investasikan sekitar 20-30 persen dana mereka di surat utang negara, baik obligasi konvensional ataupun obligasi syariah (sukuk) yang diterbitkan pemerintah. Perusahaan asuransi jiwa diharuskan menempatkan dana pada Surat Berharga Negara (SBN) sebesar 30 persen dari keseluruhan nilai investasi. Sementara itu, perusahaan asuransi umum dan reasuransi, minimal 20 persen. Adapun Dana Pensiun diwajibkan sedikitnya 30 persen di SBN. Menurut data, porsi kepemilikan obligasi oleh perusahaan asuransi meningkat menjadi 12,36 persen pada tanggal 18 April 2016 dari sebelumnya hanya 11,74 persen pada tamat tahun lalu. Kepemilikan obligasi oleh Dana Pensiun juga mengalami kenaikan pada periode yang sama menjadi 3,55 persen dari sebelumnya 3,41 persen. Selain kedua forum tersebut, porsi kepemilikan obligasi dari perusahaan pengelola reksa dana juga mengalami kenaikan, menjadi 4,49 persen dari sebelumnya 4,21 persen.

Apa akhirnya ? 

Pertama, naiknya peringkat kredit Indonesia ke kategori layak investasi (investment grade). Tidak sanggup dipungkiri, kenaikan peringkat kredit ini sangat kuat terhadap arus masuk dana gila ke dalam negeri. Hal ini tercermin dari peningkatan volume dana masuk ke pasar obligasi mulai pertengahan tahun 2015, dibandingkan periode sebelum Indonesia mendapatkan peringkat itu. Tidak tanggung-tanggung, lebih dari tiga forum pemeringkat dunia telah menawarkan stempel 'layak investasi' dengan outlook 'stabil' terhadap Indonesia. Bahkan, Moody's dan Fitch Ratings memberikan peringkat 'layak investasi' pada waktu hampir bersamaan. Hanya Standard & Poor's (S&P) yang masih mempertahankan peringkat Indonesia pada level BB+ atau outlook positif.

kedua, turunnya risiko investasi di pasar obligasi Indonesia. Kondisi ini tercermin dari turunnya nilai Credit Default Swap (CDS) Indonesia. CDS merupakan kontrak swap di mana pembeli melaksanakan pembayaran ke penjual sementara pembeli mendapatkan hak untuk memperoleh pembayaran bila kredit mengalami default atau kejadian lain yang tercantum dalam credit event, contohnya kebangkrutan atau restrukturisasi. Dengan kata lain, CDS ialah sejenis pertolongan atas risiko kredit. Nilai CDS 5 dan 10 tahun pada tiga bulan terakhir mengalami penurunan. Penurunan ini sanggup disebabkan beberapa faktor, menyerupai membaiknya kondisi ekonomi. Ini termasuk menyempitnya defisit transaksi berjalan Indonesia, rendahnya inflasi tahunan, serta pertumbuhan ekonomi yang masih terjada di level 5 persen. Selain itu, CDS Indonesia baik yang periode 5 ataupun 10 tahun dikala ini bergerak relatif stabil kalau dibandingkan periode tahun 2008 dan 2011. Pada kedua tahun itu, CDS Indonesia bergerak dengan volatilitas yang sangat tinggi, lantaran bekerjasama dengan ekspektasi akan kemampuan Indonesia dalam menghadapi krisis ekonomi.

Ketiga, yield obligasi yang ditawarkan lebih menarik dibandingkan negara sejenis. Yield yang ditawarkan obligasi Indonesia masih menarik dibandingkan negara-negara 'fragile five' Artikel Babo, kecuali China. Berdasarkan data, yield obligasi Indonesia mengalami penurunan paling kencang yang kemudian disusul oleh Afrika Selatan. Hal ini memperlihatkan bahwa investasi surat utang di Indonesia jauh lebih menjanjikan dibandingkan tiga negara Artikel Babo, yakni Afrika Selatan, India, dan Brasil. Ketiga hal di atas memicu berbondong-bondongnya investor gila masuk ke instrumen utang Indonesia. Maka financial resource pun terbentuk. Dengan adanya financial resource maka Indonesa bisa terus menghadapi tekanan eksternal dalam bentuk apapun. Mengapa ? Walau AS dan China bertarung. Walau AS semakin gila dalam kebijakan moneternya. Tidak akan menggantikan posisi  money is the king dan uang selalu tiba ketempat yang nyaman. Selagi financial resource atau sumber daya keuangan tersedia maka money follow program. Tidak ada yang perlu dikawatirkan. Yang penting teruslah bekerja keras untuk sekarang  dan besok.

Mengapa Jokowi dalam waktu tiga tahun sanggup menimbulkan APBN kredibel dan sehat? Padahal Jokowi  memulai dalam keadan APBN defisit, dan situasi politik yang tidak 100% mendukungnya di DPR. Sementara kurun SBY 10 tahun walau ekonomi sempat booming namun APBN tidak kredibel. Karena Jokowi menjaga konsistensi namun tetap bersikap sederhana terhadap semua pihak.  Dari kesederhaan perilaku dan perbuatannya , tidak sulit baginya untuk mengarahkan idea dan hal yang konstruktif kepada bawahannya biar emosi tetap terjadi secara positip, mengundang orang untuk mengambil langkah keyakinan melalui sepatah kata wacana apa yang mungkin , membuat sebuah ilham kolektif. Semua itu tercermin dari caranya berpikir ( way of thinking ) , mencicipi ( feeling ) dan kemampuannya memfungsikan semua potensi positip ( functioning ) , sebuah cara hidup ( the way of life ) dan cara menjadi ( way of being ) yang transformative. Hal tersebut melebur dalam hati dan jiwa seiring keteladannya untuk negeri yang beliau cintai.


Sumber https://culas.blogspot.com/

Infrastruktur Di Periode Sby Dan Jokowi.

Dua tahun sesudah SBY kembali terpilih sebagai presiden periode ke dua, tepatnya pada 20 Mei 2011, dibuat Komite Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (disingkat KP3EI). KP3EI yakni sebuah forum yang melaksanakan koordinasi untuk pelaksanaan MP3EI ( Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI). Lembaga ini dibuat berdasarkan Pasal 4 dari Perpres RI Nomor 32 Tahun 2011 yang diketuai pribadi oleh Presiden Republik Indonesia. Tim ini bekerja untuk mempersiapkan regulasi, konektifitas, Sumber daya insan dibidang IPTEK. Dari MP3EI ini lahirlah aktivitas kuridor ekonomi yang terdiri dari kuridor ekonomi Sumatera, Kalimantan, jawa, Sulawesi, Bali dan NTB, Papua dan keluluan Maluku. Tepat tiga tahun atau menjelang tamat masa jabatan SBY,  selepas Masterplan Percepatan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) dijalankan, SBY meresmikan Jumlah proyek sebanyak 66 unit. Koridor Jawa mempunyai aksesori proyek terbanyak, mencapai 19 pembangunan infrastruktur baru. Sedangkan koridor Maluku-Papua paling sedikit, hanya 7 proyek. Ini hanya peresmian , tetapi belum dibangun namun sudah direncanakan dengan baik.

Adapun proyek dimaksud adalah 

Koridor Sumatera
1. Pembangunan Jalur Ganda KA Double Track Medan-Bandara Internasional Kuala Namu (Rp 878 miliar).
2. Pembangunan Jalan Tol Medan-Kualanamu-Tebing Tinggi (Rp 5,25 triliun).
3. Pembangunan PLTP Sarulla 1 330MW (Rp 17,56 triliun).
4. Pembangunan Pabrik Oleochemical senilai Rp 2,04 triliun.
5. Pengembangan Pelabuhan Container Batu Ampar Batam.
6. Revitalisasi pabrik pupuk PUSRI 2B senilai Rp6,24 triliun.
7. Pembangunan jaringan transmisi Jawa-Sumatera HVDC (Rp25,1 triliun).
8. Pembangunan PLTU Sumatera Selatan 8 2x620 MW (Rp 14,04 triliun).
9. Pembangunan PLTU Banjarsari 2x110 MW senilai Rp 2,88 triliun.
10. Pengembangan pariwisata tanjung lesung senilai Rp 73,8 triliun.
11. Pengembangan Kawasan Ekonomi Khusus Tanjung Api-api senilai Rp 12,3 triliun.

Koridor Jawa
1. Pembangunan Terminal Multipurpose Teluk Lamong tahap 1 Rp 4,1 triliun.
2. Pembangunan Jalur ganda KA lintas utara Jawa Cirebon- Surabaya senilai Rp 16,4 triliun.
3. Pengembangan Terminal Bandara Internasional Juanda senilai Rp1,05 triliun.
4. Pengembangan Bandara Internasional Soekarno-Hatta senilai Rp26,2 triliun.
5. Pembangunan Bandara Internasional Kertajati senilai Rp 8,2 triliun.
6. Pembangunan Jalan tol Cikampek-Palimanan senilai Rp1,25 triliun.
7. Pembangunan Jalur ganda KA dan elektrifikasi Serpong-Maja-Rangkasbitung senilai Rp1,5 triliun.
8. Pengembangan Pelabuhan tanjung emas, Semarang senilai Rp545 miliar.
9. pengembangan PLTU Adipala 660 MW senilai Rp6,9 triliun.
10. Pembangunan Jalan tol Surabaya-Mojokerto senilai Rp3,1 triliun.
11. Pembangunan Jalan tol Mojokerto-Kertosono senilai Rp3,4 triliun.
12. Pembangunan Jalan tol Gempol-Pandaan senilai Rp1,1 triliun.
13. Pengembangan pelabuhan Branta senilai Rp158 miliar.
14. Pembangunan pabrik kendaraan bermotor R-4 senilai Rp11,8 triliun.
15. Pembangunan Pabrik Semen Merah Putih senilai Rp6,8 triliun.
16. Pembangunan Smelter 1.200 MT senilai Rp1,29 triliun.
17. Pembangunan Smelter 300 ribu ton senilai Rp3,6 triliun.
18. Pembangunan Smelter 243.600 ton senilai Rp4,02 triliun.
19. Pembangunan Smelter 100.000 MT senilai Rp1,9 triliun.

Koridor Kalimantan
1. Pengembangan Terminal Bandara Internasional Sepinggan Balikpapan senilai Rp2,1 triliun.
2. Pengembangan tiga bandara di wilayah perbatasan senilai Rp390 miliar.
3. Pembangunan PLTG Kaltim Peaking 2x60 MW senilai Rp960 miliar.
4. Proyek PT Total Indonesia, Anjungan SISI-NUBI 2B di lepas pantai senilai Rp8,1 triliun.
5. Proyek Pengembangan Lapangan akomodasi lepas pantai dan gelar pipa lapangan ruby senilai Rp5,5 triliun.
6. Pembangunan Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) senilai Rp34 miliar.
7. Pembangunan Institut Teknolohi Kalimantan (ITK) senilai Rp99 miliar.
8. Pembangunan PLTU Embalut, Unit 3 (50 MW) senilai Rp759 miliar.
9. Pembangunan PLTGU Senipah 2x41 MW senilai Rp2,1 triliun.
10. Pembangunan pabrik Smelter Grade Alumina senilai Rp25,3 triliun.
11. Pembangunan Chemical Grade Alumina Refinery (CGA) senilai Rp5,3 triliun.

Koridor Sulawesi
1. Pengembangan PLTA Poso II 3x65 MW senilai Rp 3,8 triliun.
2. Pengembangan akomodasi pelabuhan pantoloan senilai Rp 2,7 triliun.
3. Pengembangan Bandaran Mutiara Sis-Al Jufrie Palu senilai Rp 836 miliar.
4. Pengembangan Jalur Kereta Api Lintas Makasar-Parepare senilai Rp 6,4 triliun.
5. Kawasan Ekonomi Khusus Palu senilai Rp1,7 triliun.
6. Kawasan Ekonomi Khusus Bitung senilai Rp2,3 triliun.
7. Pembangunan Jalan Tol Manado-Bitung senilai Rp4,3 triliun.
8. Pembangunan PLTU Takalar/Punagaya 2x100 MW senilai Rp2,8 triliun.
9. Pembangunan Kilang LNG Donggi-Senoro senilai Rp28 triliun.
10. Pembangunan PLTA Karama 450 MW senilai Rp9 triliun.

Koridor Bali-Nusa Tenggara
1. Pengembangan 3 Pelabuhan di Nusa Tenggara Barat senilai Rp 231 miliar.
2. Pembangunan Kawasan Pariwisata Teluk Mekaki senilai Rp 3 triliun.
3. Pembangunan Kawasan Pariwisata Tanjung Ringgit senilai Rp 5 triliun.
4. Pembangunan BIP (Bali Internasional Park) senilai Rp 4 triliun.
5. Pengembangan Resort pariwisata bukit doa senilai Rp 100 miliar.
6. Pengembangan Kawasan Ekonomi Khusus Mandalika senilai Rp 30 triliun.
7. Pembangunan bendungan titab senilai Rp428 miliar.
8. Pembangunan Dam Raknamo senilai Rp1 triliun.

Koridor Maluku-Papua
1. Pengembangan Bandara di Tual, Maluku senilai Rp 123 miliar.
2. Pembangunan Pelabuhan khusus tanjung buli senilai Rp 226 miliar.
3. Pembangunan tempat Industri Maritim Indonesia senilai Rp 1,3 triliun
4. Pengembangan Bandara Sentani, Papua senilai Rp 1,1 triliun.
5. Pengembangan Kawasan Ekonomi Khusus Morotai senilai Rp 6,8 triliun.
6. Pembangunan Jaringan Backbone serat optik senilai Rp 2,5 triliun.
7. Pembangunan Jalan trans papua (jalan P4B) senilai Rp 11,3 triliun

Mengapa hingga MP3EI diadakan? Tanya saya kepada teman di Bappenas. Karena semenjak SBY berkuasa 2004 hingga 2009 mudah pembangunan infrastruktur ekonomi sangat minim sekali bila dibandingkan dengan luasnya wilayah indonesia. Maklum sebagian besar sumber pembiayaan proyek berasal dari APBN. Sehingga sangat lambat proses eksekusinya. Contoh bila ada aktivitas pembangunan satu project, harus melalui proses yang tidak sederhana.  Pertama menurutnya,  rencana disusun oleh instansi , Ketika planning ini disusun muatan biaya didalam planning itu akan nampak sebagai berikut : biaya anggota team ( panitia pembangun) termasuk honor, biaya rapat, biaya study, biaya asistensi. BIaya ini umumnya gampang diperbesar. Tapi yang penting pos anggaran ini harus tersedia terlebih dahulu. Setelah itu, tahap kedua, yakni menghitung kebutuhan anggaran project. Pada anggaran project ini pos segala biaya yang tidak bekerjasama pribadi dengan project diperhitungkan.Maklum untuk bisa teralokasinya anggaran project harus ada pinjaman dari DPR/D dan instansi pengawas serta otoritas anggaran. Para mereka ini harus kebagian jatah. Memang secara resmi tidak ada pos anggaran untuk mereka namun termuat didalam anggaran project lewat mark up. Dari itulah nilai anggaran yang akan tercantum dalam planning belanja modal.

Dari proses ini,  realisasi belanja modal hanya mencapai 70 % setahun. Artinya anggaran untuk pengeluaran yang bekerjasama dengan team pelaksana ( panitia)  umumnya habis terpakai dan sisanya yang  berkaitan dengan realisasi kerja yang akan dirasakan pribadi oleh rakyat umumnya tertunda alias melambat. Mengapa terlambat ? ya para pelaksana project takut ambil resiko hukum. Seperti dilema pembebasan lahan yang selalu dijadikan alasan atau alasan lemahnya koordinasi dengan instansi terkait atau masih diharapkan payung aturan untuk kelancaran project itu.  Yang jadi dilema ketika itu yakni misal pada APBN-P 2012, dari Rp1.435,4 T total APBN  namun porsi anggaran belanja modal yakni sebesar Rp 168,7 triliun, atau tidak lebih 12 %. Selebihnya habis untuk belanja rutin yang berkaitan dengan Belanja Pegawai, Barang, Subsidi, Hibah, Bantuan Sosial dan Belanja lain-lain yang tidak ada kaitannya dengan penambahan asset atau jasa yang bisa delivery pemerintah kepada rakyat. Artinya sangat banyak pos anggaran disemua lini yang bisa dipangkas untuk dialihkan keproject nyata. 

Makanya hampir mustahil SBY bisa merealisasikan planning mulianya mempercepat pembangunan nasional melalui aktivitas MP3EI itu. Perhatikan anggaran pembangunan infrastruktur masa SBY sangat rendah sekali. World Bank dalam laporannya pada 2014 pernah menyoroti rendahnya investasi infrastruktur yang mengakibatkan Indonesia tertinggal. Sebelum krisis moneter 1997-1998, investasi di infrastruktur pernah mencapai 7 persen dari PDB. Namun, beberapa tahun terakhir hanya berada di bawah lima persen. Padahal negara tetangga ibarat Thailand dan Vietnam mempunyai rasio di atas 7 persen, apalagi China yang investasi infrastrukturnya di atas 10 persen dari PDB. World Bank juga menyebutkan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2001 - 2011 bisa lebih tinggi bila saja alokasi infrastruktur pada PDB lebih tinggi.

Nah di masa Jokowi, semua planning yang sudah dibuat oleh SBY tidak diubah. Jokowi tidak menciptakan planning gres melainkan memperbaiki planning yang sudah dibuat SBY khususnya MP3EI. Yang diperbaiki bukan designnya tetapi orientasinya yang lebih kedaerah luar Jawa. Namun kembali lagi , dilema Jokowi juga percis yang diwariskan oleh SBY, yaitu ruang fiskal semakin kecil untuk perluasan pemerintah. Tak lebih 10 % APBN tersisa untuk pembangunan infrastruktur.  Kalau Jokowi tetap mengikuti APBN SBY maka Jokwi akan terjebak dengan APBN yang tersandera utang dan belanja rutin yang semakin membesar. Makanya APBN 2014 di revisi.  Ya, andaikan bisa dihemat sebesar 30% saja dari total APBN maka ada lebih dari Rp, 400 trilun yang bisa dipakai untuk belanja modal. Mengapa selama Era SBY tidak terpikirkan untuk dihemat ? Hal ini disebabkan kebebasan mengajukan anggaran pada setiap instansi. Sementara Kementrian Keuangan tidak mempunyai kemampuan lebih menilai tawaran project itu. Apalagi kadang sebelum project diajukan, lobi dengan dewan perwakilan rakyat sudah dilaksanakan untuk menekan Otoritas anggaran. 

Apakah bisa anggaran itu dihemat ? Bisa ! Bagaimana ? Ya, tergantung Pemimpinnya. Birokrat hanya mengikut apa kata pemimpinnya. Ambil contoh, anggaran Pelantikan Gubernur DKI awalnya dianggarkan sebesar Rp. 1,2 miliar bisa turun menjadi Rp. 500 juta. Bahkan di Solo menghapus anggaran peresmian walikota. Juga dulu , lanjutnya, ketika awal reformasi di zaman Habibie, Gus Dur, Megawati , APBN kita tidak sebesar ketika masa SBY. Jumlah birokrat dimasa itu dengan kini perbandingannya tidak begitu besar. Namun anggaran yang kecil itu tidak menciptakan pemerintah Gus Dur, Megawati, Habibie tidak bisa kerja. Birokrasi tetap jalan.

Di masa Jokowi, secara system penghematan dilakukan dengan mengurangi pos anggaran software yang berkaitan dengan anggaran pelayanan dan kebijakan. BIaya rapat, biaya study , biaya dinas, Perjalanan dinas dan Artikel Babo dikurangi atau bila perlu pembangunan kantor gres atau mempercantik gedung gres tidak dijadikan prioritas. Dana tersebut alihkan kepada anggaran hardware ( infrastruktur ) semoga  setiap tahun Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) pemerintah terus bertambah yang bisa dirasakan oleh rakyat. Artinya harus ada mindset gres dari para birokrat untuk fokus pada peningkatan PMTB. Mereka harus professional dan amanah dalam menyusun dan melaksanakan evaluasi atas project yang diusulkan. Disamping itu Kementrian Keuangan harus pula punya kemampuan diatas rata rata untuk memastikan anggaran yang diajukan oleh instansi memang layak dimasukan dalam anggaran dan dibahas oleh dewan perwakilan rakyat yang anggotanya amanah. Instansi semacam kantor pelayanan umum yang berbentuk loket  ibarat kantor pajak, bea cukai, pelayanan perbendaharaan negara (KPPN), perizinan industri, investasi, perdagangan, kependudukan dan lain lain lebih baik berkonsentrasi pada perbaikan pelayanan melalui system IT yang cepat dan hemat. E government juga bisa diterapkan semoga mengurangi pemborosan anggaran project pembangunan dengan biaya besar yang outputnya ‘hanya’ kertas yang kegunaannya sangat minimal.

APBN di masa Jokowi terus meningkat dari tahun ke tahun. Artinya walau penghematan dilakukan, Anggaran tidak berkurang. Yang terjadi hanya pengalihan dana penghematan itu untuk terbangunnya infrastruktur ekonomi dan social. Agar roda perekonomian nasional sanggup  bergerak efektif dan efisien untuk meng eskalasi pertumbuhan ekonomi menuju kemakmuran. Pada gilirannya akan meningkatkan pemasukan pajak untuk memperkuat fungsi social APBN demi tagaknya keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia, termasuk birokrat.  Makara apa yang membedakan Pemerintahan SBY dengan Jokowi? ya dalam hal focus pembangunan. Jokowi focus kepada infrastruktur sementara SBY focus kepada konsumsi domestik. Kalau ada pihak bilang bahwa masa SBY lebih banyak pembangunan infrastruktur ekonomi itu terperinci hoax. Tetapi kalau SBY yang merencanakan semua yang kini dibangun oleh Jokowi , itu valid dan benar.  Jokowi sebagai eksekutor dan SBY sebagai planner. 


Sumber https://culas.blogspot.com/