Generasi Milenial Ini Tidak Dapat Disamakan Dengan Generasi Kita. Tak Hanya Siswa, Guru Pun Harus Introspeksi Diri, Setujukah..?

Assalamu'alaikum wr.wb. selamat tiba di website infokemendikbud.web.id dan salam sejahtera untuk rekan-rekan guru semua...
simak informasi terbaru yang sangat penting berikut ini tentang Tak Hanya Siswa, Guru Pun Harus Introspeksi Diri...

Suatu hari di sebuah kelas, saya mendengar seorang siswa bertanya istilah yang tidak ia mengerti dengan gurunya. Dengan impulsif Bu Guru menjawab,

"aduh kau ga usah nyusahin diri sendiri deh. Jawab aja yang kau tahu."

Siswa tersebut eksklusif tertunduk malu. Tak berani bertanya lagi.

Di lain kesempatan dikala ujian sedang berlangsung, saya mendengar lagi Bu Guru yang lain mengatakan:

Kumpul cepet, jawab ga jawab tanggapan kalian niscaya salah. Percuma aja bla...bla...

Tak terhitung lagi respon guru-guru yang sering kali membuat kuping panas mendengarnya, halah kau itu, belum lagi panggilan jelek menyerupai eh item, si ompong, dasar gendut pemales, dst. 'Kata-kata mutiara' ini juga diikuti dengan bahaya dan kekerasan fisik oleh guru terhadap siswanya. 

Menurut Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) setidaknya ada empat jenis masalah kekerasan di sekolah terhadap anak yakni; kekerasan fisik, seksual verbal, psikis dan cyber bullying. Kekerasan yang paling banyak dilaporkan yaitu kekerasan fisik berupa dipukul, ditempeleng, ditendang, dijewer, dicubit, dilempar dengan benda-benda keras, dan dijemur di bawah terik sinar matahari dan kekerasan psikis atau emosional mencakup mengancam, merendahkan martabat, memaki, mempermalukan dan seterusnya.

Sepertinya pelanggaran yang banyak dilaporkan tersebut bukanlah jenis pelanggaran berat, kita malah seringkali mengomentarinya, 'masa' gitu aja lapor sih, dasar cemen!' Kami dulu ditendang, ditabok guru, ga papa. Ga dendam'. Mungkin alasannya yaitu sering kali diperlakukan menyerupai itulah maka generasi yang dihasilkan ya gitu deh. Lebih dari sekedar imbas samping makan micin.

Namun bila dilaporkan ke pihak yang berwajib kekerasan di atas akan diproses secara hukum. Apa jadinya kalau jenis kekerasan tersebut semuanya dibentuk menjadi aduan ke pihak kepolisian? Tentu pihak kepolisian akan juga kewalahan. Faktanya, itulah masalah yang banyak terjadi di lapangan dikala guru dilaporkan ke polisi.

Apa jadinya juga dampak pada anak yang bersangkutan? Mereka yang tidak berani melapor, hanya membisu saja. Tidak sedikit yang menjadi trauma, ada pula yang melapor pada orang bau tanah dan polisi, dan yang paling jelek yaitu dendam yang membuatnya melaksanakan kekerasan pada guru. 

Dalam masalah kekerasan antara guru dan siswa, guru pun harus introspeksi diri alasannya yaitu intinya bawah umur yang 'bermasalah' ini juga terlahir sebagai bawah umur yang baik, lembut dan perasa. Mereka tidak serta merta begitu saja menjadi bawah umur yang suka membantah, melawan, berbicara bergairah bahkan berani bertindak emosional dan brutal. Ada penyebab mengapa mereka hingga berbuat nekat.

Namun keegoan kita, sebagai guru, menafikan bahwa kiprah penting kita pula ambil kepingan dalam pembentukan abjad mereka tersebut. Bayangkan saja kalau perkataan dan perlakuan menyerupai yang saya tulis di atas berlangsung bertahun-tahun, di rumah, di sekolah, di lingkungan sekitar. Seperti menanam bom waktu, menunggu waktunya saja meledak. Dalam hal kekerasan ini, kita cenderung melimpahkan kesalahan sepenuhnya kepada anak didik. Mereka-lah sumber duduk kasus sedangkan guru yaitu korban.

Bisa jadi niat baik kita sebagai guru yaitu menegur tapi pada jadinya tindakan kita malah mempermalukan, menjatuhkan harga dirinya, bahkan tidak segan-segan melaksanakan tindak kekerasan fisik dan ekspresi dengan dalih kedisiplinan.

Mungkin cara guru berkomunikasi dengan anak didik juga terbawa emosi alasannya yaitu bercampur dengan masalah-masalah pribadi sehingga memicu ketegangan. Begitu juga dengan interaksi di dalam kelas, mungkin ada yang salah dengan cara memberikan materi pelajaran, cara mengajar, dan perilaku kita sehingga proses berguru mengajar menjadi membosankan dan membuat anak tidak betah di kelas. Sayangnya, kita lupa menyadarinya.

Generasi milenial ini tidak sanggup disamakan dengan generasi kita, bawah umur yang belasan bahkan puluhan tahun yang kemudian menjadi anak yang patuh, takut, membisu saja dikala dikerasi baik fisik maupun ekspresi oleh guru dan pihak sekolah. Kids jaman now ini lebih kritis, berani bahkan cenderung nekat dalam bertindak maka pendekatan yang dilakukan pun sudah berbeda.

Sebagai guru, kita harus menyadari perubahan ini dengan mencari jalan keluar bukan dihadapi dengan tindakan pesimistis apalagi emosional. Guru pula harus melek aturan dan tahu instruksi etik profesi sehingga pepatah yang menyampaikan berpikir dulu sebelum bertindak sanggup benar-benar diresapi.

Hal ini dimaksudkan bukan untuk menekan guru supaya takut kepada siswa dan orang bau tanah siswa tapi lebih kepada menaati rambu-rambu aturan yang ada. Jadi, dampak yang ditimbulkan yang akan berakibat fatal bagi diri sendiri, keluarga dan siswa yang bersangkutan sanggup diminimalisir. Selain berperan sebagai pendidik, kita juga yaitu warga negara yang taat hukum, bukan?


Tidak perlu fokus memperlihatkan perhatian terhadap beberapa bawah umur didik yang membuat banyak ulah sehingga mengabaikan puluhan anak lain yang lebih berhak menerima perhatian. Anak-anak yang bermasalah dari rumah cenderung memiliki emosi yang labil, gampang tersinggung, suka membesar-besarkan masalah, dan tidak segan-segan melaksanakan perlawanan. 

Jadi, selama mereka tidak mengganggu acara berguru mengajar, lebih baik diabaikan. Ada waktunya dikala mereka menyadari apa yang mereka lakukan tidak bermanfaat atau malah merugikan diri mereka sendiri. Guru dan pihak sekolah perlu berhubungan dalam pertolongan eksekusi atau tindak kedisiplinan lainnya sehingga kalau ada duduk kasus di kemudian hari, guru yang bersangkutan tidak bertanggung jawab sendirian.

Namun, kalau dirasa sudah menganggu proses berguru dan mengajar, bertindaklah dengan tegas dan efektif tanpa melaksanakan kekerasan ekspresi terlebih lagi kekerasan fisik. Dan kalau tidak sanggup lagi untuk dididik, ada baiknya untuk dikembalikan kepada orangtuanya dengan begitu orang bau tanah mungkin akan mencarikan sekolah yang sesuai dengan kebutuhan anaknya.

Kunci dalam menjalankan kiprah mulia ini yaitu kesabaran, tidak gampang tersulut emosi dikala menghadapi bawah umur yang berdasarkan aturan sekolah sudah termasuk kategori melaksanakan pelanggaran. Mengurangi kekerasan baik fisik maupun ekspresi di sekolah tentu juga membuat lingkungan sekolah yang sehat secara mental, aman, dan nyaman bagi orang-orang di dalamnya.

Andai kita juga mau menahan emosi, tentu hal-hal jelek yang tidak diinginkan tidak perlu terjadi. Jika sudah terjadi, maka saya pun mendukung proses aturan yang berlaku baik terhadap siswa maupun guru yang bersalah. 

Sumber : www.kompasiana.com

Demikian gosip dan informasi terkini yang sanggup kami sampaikan. Silahkan like fanspagenya dan tetap kunjungi situs kami di www. infokemendikbud.web.id . Kami senantiasa memperlihatkan gosip dan informasi terupdate dan teraktual yang dilansir dari aneka macam sumber  terpercaya. Terima Kasih atas kunjungan anda biar informasi yang kami sampaikan ini bermanfaat.

Artikel Terkait