Menteri Hukum dan HAM, Yasonna Laoly, menyarankan Baiq Nuril mengajukan pribadi permohonan pengampunan sanksi kepada presiden atas vonis eksekusi penjara enam bulan oleh Mahkamah Agung. Grasi harus dimohonkan oleh si terpidana, bukan orang lain, termasuk pengacara.
"Kalau nanti dia mengajukan pengampunan sanksi akan kita lihat datanya. Grasi itu harus seruan yang bersangkutan. Tidak boleh diajukan oleh orang lain. Dia kan gres (divonis) ini," kata Yasonna di Malang, Jawa Timur, pada Rabu, 21 November 2018.
Sebelumnya, Mahkamah Agung menyatakan Baiq "telah melanggar UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE)" dalam kasus penyebaran informasi percakapan mesum kepala sekolah daerah ia pernah bekerja.
Mahkamah menganggap Baiq terbukti "mendistribusikan atau mentransmisikan konten kesusilaan" sehingga dijerat pasal 27 ayat (1) Undang-Undang perihal Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Dalam pengadilan tingkat pertama, Pengadilan Negeri Mataram, Baiq dinyatakan tidak terbukti membuatkan rekaman mesum HM dan jadinya dia divonis bebas. Jaksa penuntut lalu mengajukan kasasi kepada Mahkamah.
Majelis hakim kasasi, yang terdiri hakim ketua Sri Murwahyuni dan dua hakim anggota Maruap Dohmatiga Pasaribu dan Eddy Army serta penitera pengganti Sri Indah Rahmawati, memvonis Baiq dengan eksekusi enam bulan penjara dan denda Rp500 juta subsider tiga bulan penjara kepada Baiq Nuril.
Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 perihal Grasi mengatur pengampunan sanksi hanya sanggup dilakukan terhadap putusan pemidanaan berupa pidana mati, pidana seumur hidup, penjara paling rendah dua tahun.
Pasal 14 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 mengatur sebelum memberi amnesti dan penghapusan presiden harus memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat. [viva.co.id]