Agar Indonesia bisa lebih maju, maka jangan ada lagi fatwa yang membedakan antara secara umum dikuasai dan minoritas. Imbauan tersebut disampaikan Kepala Staf Kepresidenan Jenderal Tentara Nasional Indonesia (Purn) Moeldoko.
"Toleransi yakni tidak ada lagi minoritas dan mayoritas. Jika bangsa ini masih punya perasaan secara umum dikuasai dan minoritas maka tidak akan maju," kata Moeldoko di Wonosobo, Jawa Tengah, Kamis (15/11/2018).
Ia memberikan hal tersebut dalam sarasehan budaya, keragaman, dan toleransi di Masjid Al-Manshur Wonosobo sekaligus menutup rangkaian Festival Hak Asasi Manusia di Kabupaten Wonosobo.
Moeldoko menyampaikan negara ini milik semua orang, alasannya sejarah usaha bangsa dibangun oleh banyak sekali agama dan kelomppk etnis.
Karena itu, katanya, mulai ketika ini hapus dikotomi antara secara umum dikuasai dan minoritas. "Semua sebagai distributor perubahan untuk membetulkan pola pikir yang rusak, menyimpang dan terdistorsi sehingga pemikiran-pemikiran yang semula tidak benar kemudian berubah," terangnya.
Ia menuturkan hakekat HAM yakni membangun kesadaran bahwa masyarakat mau membangun nilai-nilai kemanusiaan, bukan doktrin agama. Sedangkan keberagaman yakni sebuah potensi. Bisa atau tidak potensi ini menjadi kekuatan atau bahkan menjadi ancaman.
"Kalau mau membangun potensi itu jadi kekuatan harus ada harmonisasi," katanya.
Ia mencontohkan dalam gamelan Jawa, semua instrumen musik tradisional dimainkan bersama secara harmonis, maka bisa menjadi sesuatu kekuatan yang indah, maka yang harus mengharmonisasi yakni semua orang.
Menurut ia bahaya akan terjadi kalau semua pihak tidak bisa mengharmonisasi. Kekayaan alam yang ada di Afganistan, Irak dan banyak sekali negara yang sedang porak poranda itu bersama-sama potensi luar biasa. Namun, para tokohnya tidak bisa mengharmonisasi sosial, politik, dan budaya. [okezone.com]