Kepala Staf Kepresidenan (KSP) Moeldoko menyampaikan para peternak mengeluh harga pakan unggas mahal. Hal itu dilatarbelakangi tidak seimbangnya pasokan jagung dengan kebutuhan.
Oleh akhirnya pemerintah tetapkan impor jagung maksimum 100.000 ton tahun ini melalui Perum Bulog.
"Nah ini kan pemerintah melihat bahwa harga jagung sudah tinggi ya, ini nanti risikonya yaitu untuk para peternak itu sudah mulai teriak nih harga pakan tinggi ya kan. Kaprikornus ini kan pemerintah harus mencari keseimbangan," katanya kepada detikFinance ketika ditemui di tempat Jakarta Pusat, Rabu (7/11/2018).
Moeldoko mengatakan, pemerintah berupaya mencari keseimbangan gres antara konsumen, produsen telur dan daging ayam, dan petani.
Pemerintah pun melaksanakan impor untuk menstabilkan harga jagung untuk peternak unggas, dan di sisi lain tidak ingin merugikan petani.
"Jangan di satu sisi nanti jagung kurang, harga menjadi mahal pakannya, daging ayam mahal, telur mahal, nanti konsumen teriak. Padahal itu kan rumusnya supply-demand. Begitu barangnya kurang kan meningkat harganya," tambahnya.
Selain itu, Moeldoko menanggapi soal klaim surplus jagung sebesar 12 juta ton yang dipaparkan pihak Kementerian Pertanian. Menurut Moeldoko, soal surplus jagung ini perlu dilihat dari aneka macam sisi. Kata ia secara keluasan tanam mungkin jagung surplus. Namun dari persebarannya sendiri perlu diperhatikan.
"Bisa saja surplus jikalau ia melihat keluasan, tapi pertanyaannya sobat sahabat kita yang tanamnya jauh jauh di sana dapat kejual nggak? dengan harga akan digeser ke Surabaya. Karena kan orientasinya yaitu jagung jagung itu akan dibeli oleh orang orang yang mempunyai mesin untuk pakan unggas kan," terangnya
Sebelumnya diberitakan pemerintah tetapkan impor 100.000 ton jagung untuk pakan ternak. Menurut Menteri Pertanian Amran Sulaiman, Perum Bulog yang ditugaskan mengimpor jagung memasok sekitar 50.000 ton.Pertanyaannya, cukupkah pasokan jagung 50.000 ton itu? Sekretaris Jenderal Perhimpunan Insan Perunggasan Rakyat Indonesia (Pinsar) Atung, menyampaikan 100 ribu ton saja belum mencukupi kebutuhan sampai selesai tahun, apalagi hanya 50 ribu ton.
"Buat Blitar saja belum tentu cukup. Sebenarnya, jikalau 100 ribu ton masih tidak mengecewakan menyerupai haus terus minum tapi nggak memuaskan tetapi jikalau 50 ribu ton, Blitar saja mungkin habis," kata Atung kepada detikFinance, Selasa (6/11/2018). [detik.com]