Ketika perjalanan dari Beijing ke Guangxie, sekedar killing time saya berbicara dengan teman yang juga Boss holding company di China. Saya bertanya ihwal perilaku China terhadap konplik di TImur Tengah. Teman ini dengan tegas menyampaikan kemuakannya dengan perilaku Israel dan AS. Sudah saatnya AS meninggalkan politik gaya lamanya. Politik imperialis. Ini sudah usang. Tidak akan efektif lagi. Apapun dalihnya ,entah atas nama demokrasi atau apalah, tidak akan laku. Di masa yang serba terbuka kini ini, rakyat banyak tidak sanggup dibohongi lagi. Mereka smart untuk membaca situasi dan menolak segala bentuk neocolonialism. Kini saatnya membangun kemitraan yang adil dan terbuka untuk kemakmuran umat manusia. Bukankah smart power yang dicanangkan oleh Hillary Clinton untuk Timur Tengah yakni sinyal baik untuk perdamaian? Tanya saya. Ya itu berakibat kepada terjadinya gelobang revolusi Tunisia, Mesir, Libya, Yordania, Iraq, Bahrain, Libanon, Maladewa, dan Yaman tapi tetap saja dibalik itu ditunggangi oleh kepentingan AS dan Barat untuk memilih rezim yang sanggup dijadikannya boneka. Lantas bagaimana perilaku China terhadap Timur Tengah ketika ini?
Yang harus diketahui bahwa China yakni konsumen minyak terbesar didunia sesudah AS. Bagi China, minyak yakni energy untuk menghidupkan mesin Industri dan infrastruktur ekonominya. Kemajuan ekonomi akan terancam kalau supply minyak dan Gas terganggu. Iran yakni teman terbaik bagi China, bahkan bagi Iran, China yakni second home nya. Maklum saja lantaran 20% kebutuhan minyak China di supply oleh Iran. Walau hingga kini Importir terbesar minyak Iran yakni Jepang namun investasi Migas terbesar di Iran yakni China. Hal ini semakin memperkuat posisi Iran dalam berhadapan dengan AS dan Barat. Karena kalau Iran di serang dengan dalih jadwal nuklir maka China akan ikut campur demi mengamankan investasinya di Iran. Bukankah China termasuk Negara yang menandatangani resolusi DK PBB yang memperlihatkan sangsi terhadap Iran atas jadwal Nuklirnya? Tanya saya. Menurut teman itu bahwa China benar mendukung resolusi DK PBB tapi tidak mendukung serangan militer kepada Iran. Selagi jadwal nuklir itu tidak terbukti untuk militer maka tentu china ada dibelakang Iran.
Bukankah supplier minyak China bukan hanya Iran, tapi supplier terbesar yakni Arab Saudi. Mengapa China cenderung berpihak kepada Iran? Tanya saya. Memang supplier terbesar yakni Saudi lantaran ganjal an kualitas minyak Saudi memang lebih baik dari Iran namun china membelinya melalui mediator yang harganya mahal. Harap dimaklum bahwa trader minyak umumnya terkoneksi dengan Yahudi/ AS/Barat yang punya kekerabatan istimewa dengan penguasa Negara Arab. Ini terang tidak efisien dan dalam jangka panjang tidak mengamankan kepentingan China akan pasokan Minyak dan Gas. Disamping itu kekerabatan antara China dan Iran bukan hanya terbatas MIGAS tapi juga mencakup perdagangan yang seimbang. Iran mendapatkan pasokan barang modal dan tekhnologi dari China. Nilai perdagangan ini dari tahun ketahun terus meningkat. Bahkan China memperlihatkan jalan biar Iran tidak terisolasi dalam system perbankan akhir embargo PBB dengan membentuk Bank of Kunlun yang mengakibatkan bank di Iraq sebagai gateway untuk transaksi dengan Iran. Ketika AS mengetahui ini pribadi meblocknya melalui clearing house New York. Akibatnya ketegangan terjadi antara AS dan China , yang justru semakin memperkokoh kekerabatan china dengan Iran dalam upaya merebut hegemony economy di Timur Tengah.
Bagaimana perilaku China terhadap Israel ? Tanya saya. Bagi China, Israel tetap kawan strategis disegrala bidang. Sudah ada janji awal antara China dan Israel untuk mempelajari kemungkinan membangun jalur kereta api di Israel untuk menghubungkan Laut Merah dengan Laut Mediterania. Jalur Kereta api akan memperlihatkan alternatif dari Terusan Suez untuk transportasi kargo antara Eropa dan Asia. Saya sempat melamun dan resah dengan warta dari teman ini. DIsatu sisi China menjalin kekerabatan bersahabat dengan Iran namun di sisi lain China juga menjalin kerjasama strategis dengan Israel. Keliatannya teman itu memperhatikan kebingungan saya. TIdak usah bingung. Yang menciptakan runyam Politik Timur Tengah lantaran mental imperialis dari AS dan Barat yang ingin tetap dengan gaya lamanya, neocolonialism. Semua Negara tidak ingin lagi di jajah dalam bentuk apapun, termasuk Iran. Kalaupun Iran masuk dalam wilayah konplik di Suriah , Iraq, Libanon, dan China mendukungnya, itupun tidak ada hubungannya dengan China yang pro syiah ( idiologi). China butuh Suriah dan Iraq untuk jalur suppli minyaknya dan Iran butuh benteng kokoh dalam usaha idiology. Aliansi ini terbentuk dengan satu sama lain saling memanfaatkan walau tujuan berbeda.
Bagaimana perilaku China terhadap Palestina ? Kebijakan Politik Luar Negeri China tahun 1965 yang anti imperialis hingga kini belum dirubah. China tetap konsisten. Itu sebabnya China mendukung kemerdekaan Palestina. Dan sempat menolak existensi Negara Israel walau Israel yakni Negara pertama di Timur Tengah yang mengakui kemerdekaan China. Hanya saja ketegangan politik mulai terjadi ketika Israel tidak mengakui Revolusi China tahun 1949 yang memunculkan Rezim Komunis dan tetap mengakui Taiwan sebagai pemerintah yang syah untuk china. Secara politik kekerabatan antara China dan Israel ( AS/Barat ) tetap sulit lantaran perilaku China yang mendukung Palestina dan perilaku Israel ( Barat/AS) yang mengakui Taiwan. Sikap china mendukung Palestina atas dasar anti imperialis sementara perilaku Israel ( AS/Barat ) mendukung Taiwan lantaran idiologi. Walau sebegitu prinsipnya perseteruan antara China dan AS namun secara ekonomi kekerabatan tetap terjalin atas dasar saling menguntungkan dan satu sama lain tetap waspada…Sebetulnya China ingin Timur Tengah itu menjadi wilayah yang stabil , kondusif biar semua negara sanggup ikut berpartisipasi membangun atas dasar kebaikan, kebenaran, dan keadilan.Jangan ada lagi pertikaian lantaran agama, idiologi. Hiduplah berdampingan dengan damai, itu lebih baik untuk masa depan umat manusia.
Sumber https://culas.blogspot.com/