Cinta Yang Kuberi Volume 2


Saya nasihatkan kepada putra saya yang telah menikah bahwa satu-satunya penghinaan yang tak pernah sanggup dilupakan oleh istri ialah jikalau beliau memukulnya. Luka di hatinya akan membekas. Setelah itu, walau hubungan kembali baik namun keadaannya tidak akan sama lagi. Mengapa hingga begitu? Hal ini alasannya ketika suami memukul istrinya, sebenarnya beliau sedang mempertontonkan kelemahan dan kerendahan moralnya sebagai pria.Tidak ada istri yang sanggup hidup nyaman dengan suami yang lemah dan berakhlak rendah. Tidak ada. Yang diinginkan setiap istri sesungguhnya ialah pertolongan dari keperkasaan suami, baik secara fisik maupun moral. Dengan itulah istri sanggup melewati guncangan hidup rumah tangga dan mau mengikuti pesan tersirat suami sebagai kepala rumah tangga.
Suatu ketika seorang teman bercerita. Ketika beliau sedang asyik di kamar kerja, terdengar teriakan istri menyuruhnya makan. Pekerjaannya terhenti dan ia pun kehilangan mood untuk meneruskan. Usai makan, ketika ia sedang duduk santai di depan TV, kembali istrinya mengomel, meminta supaya beliau mengurangi merokok. Rokok pun sudah tak nikmat lagi di bawah omelan itu. Baru mau istirahat siang, sang istri kembali mengingatkan agar jangan tidur siang sebelum shalat Zuhur. Tidur pun tertunda dan rasa kantuk terhalau untuk segera shalat. Sore harinya beliau berencana bertemu dengan sahabat namun sang istri minta ditemani belanja ke Carrefour. Setiap dia akan memilih barang, sang istri selalu berkata,Nggak perlu itu!” Ketika beliau melihat barang yang lain, sang istri berkomentar,Udah, nggak usah. Ntar dibeli juga lupa makannya.” Jadi, semua tak boleh. Hanya istri yang boleh memilih. Dia benar-benar hanya sebagai pendamping dan tak memiliki hak untuk membeli.
Walau fatwa agama membolehkan suami memukul istri, syaratnya sangat ketat. Kalau suami hingga melakukannya maka pukulan itu dilarang mengenai pipi alasannya pipi ialah kehormatan bagi wanita. Tidak boleh memukul badan atau lengannya. Pukulan harus diarahkan ke kaki dan dilarang ada bekas. Jadi, hakikatnya bukanlah pukulan yang menciptakan istri kesakitan, melainkan hatinya yang dipukul alasannya perbuatannya yang melanggar perintah Tuhan serta merendahkan kehormatan suami dan keluarga. Apa itu? Ya jikalau istri tertangkap berair selingkuh. Selebihnya, tidak ada alasan bagi laki-laki untuk murka dengan kata-kata bernafsu menyayat hati atau ekspresi yang angker istri. Lantas, bagaimana seharusnya suami bersikap jikalau istri―karena sifatnya―kadang menciptakan suami tidak nyaman?
Teman saya melanjutkan ceritanya. Kehidupan mereka dilanda angin puting-beliung dan goncangan. Kesulitan ekonomi mulai menciptakan layar perahu rumah tangga miring dilamun ombak. Ada rasa ragu untuk melangkah. Takut untuk menatap haluan. Dalam situasi itu seharusnya dorongan semangat tiba dari istri supaya tak gentar untuk terus menghadapi badai. Namun, bukannya dorongan semangat yang datang. Dia justru dihantam kata-kata yang menyingkapkan semua kesalahan yang pernah beliau buat. Itu terus diulang-ulang. Dia tak sanggup berbuat banyak kecuali mendengarkan dalam kesabaran. Ya, beliau lemah. Ya, beliau tidak berkonsentrasi menghadapi masalah. Ya, beliau banyak lalai. Ya, beliau boros. Ya, semua kesalahannya tergambarkan dengan untaian kata di bawah letupan emosi yang tak sudah. Pening. Dia harus berubah!
Ketika angin puting-beliung berlalu, angin mulai berembus dengan niscaya mendorong perahu melaju dengan gagah. Ada rasa besar hati untuk sedikit berharap mendapat pujian. Namun, bukannya pujian yang didapat, malah sifat curiga berlebihan yang datang. Sedikit parlente, disikapi dengan curiga. Sedikit agak konsumtif, dibilang lupa pernah susah. Sedikit mau bergaya, dibilang nggak ingat umur. Semua salah. Salah. Lantas di mana benarnya? Mungkin sebagian orang yang bernasib sama dengan dia akan menyampaikan dia gagal mendapat istri yang saleha.
“Benarkah saya gagal jikalau mendapat istri tidak menyerupai kualifikasi saleha yang digambarkan ada pada diri Khadijah atau Fatimah Az-Zahra? Yang selalu berlembut wajah ketika berbicara dengan suami. Yang selalu tampil rapi ketika berangkat tidur. Benarkah?” tanyanya dengan tekanan kata, menciptakan saya tersentak dan juga bertanya hal yang sama.
Teman saya itu tersenyum dan menatap saya, seakan menunggu reaksi saya atas pertanyaannya. Saya hanya diam. Akhirnya, beliau menjawab sendiri pertanyaannya itu. Bagi dia, kehadiran istri dalam hidup tak ubahnya kehadiran Allah di setiap detak jantungnya. Betapa tidak? Dia yang boros, yang malas, pragmatis, pesimistis, praktis kalah, dan kadang-kadang tidak sabar, disikapi istrinya dengan sifat yang menciptakan beliau tidak nyaman. Letupan emosi istri lewat bahasa oral dan badan telah menelanjangi nafsu egonya. Tak sedikit pun ego nafsunya sanggup berlindung dari segala alasan untuk meyakinkan bahwa beliau benar. Tidak ada. Walau di luar sana begitu banyak orang memujinya, di rumah tak ada pujian. Yang didapatnya di rumah hanya koreksi tiada henti. Tentu dengan cara istrinya yang spesial menciptakan beliau harus berkaca pada kesalahannya. Setiap hari, setiap detik, dalam kebersamaannya dengan istri di rumah, proses pembunuhan egonya berlangsung efektif.
Benarlah. Seiring berlalunya waktu, tanpa beliau sadari sifat boros, malas, pragmatis, pesimistis, praktis kalah, tak sabar, dan segala sifat negatifnya sebagai laki-laki yang juga sebagai kepala rumah tangga telah berkembang menjadi menjadi orang yang hidup dalam kesabaran, ekonomis namun tidak pelit, istiqamah, rendah hati, optimistis, dan tak praktis menyerah. Anehnya, sang istri pun bermetamorfosis menjadi menyerupai apa yang beliau impikan.
Teman saya itu tersenyum bahagia. Dia seakan menunjukkan pesan yang tersirat kepada saya wacana perjalanan kehidupan rumah tangganya bahwa jodoh ialah hak Allah. Allah lebih tahu mengapa kita harus bertemu dan kesudahannya menikah. Di hadapan istri, tak ada lagi topeng, lahir batin kita telanjang. Yang paling tahu siapa kita, ya, pasangan kita. Istrilah yang akan menjadi mentor kita. Dengan istrilah kita saling mengingatkan dan menjaga walaupun kadang menciptakan kita tidak nyaman.
Ya, Allah hadir dalam kehidupan kita lewat orang terdekat yang kita cintai. Allah menunjukkan hadiah terindah kepada kita berupa cinta yang merupakan produk surga, yang karenanya kita tenteram melewati guncangan hidup. Lewat hadiah inilah Allah mendidik kita untuk menjalankan agama. Bukankah Rasulullah pernah bersabda bahwa menikah itu sama saja dengan melaksanakan setengah kewajiban agama? Saya maknai itu sebagai setengah jalan untuk berlatih menjadi tepat di hadapan Allah.
Rumah tangga ialah small world bagi kita untuk mencar ilmu bijak memahami kehidupan ini, setidaknya melatih kita tidak egoistis dengan mengandalkan superioritas kita di hadapan istri. Ingatlah sabda Rasulullah bahwa nirwana berada di bawah telapak kaki ibu. Istri kita ialah kaum ibu dan kehormatan bagi belum dewasa kita. Hormatilah istri dengan baik alasannya di situlah kehormatan kita sesungguhnya sebagai pria, sebagai suami.
Jadi, jikalau suasana hati istri menjadikan letupan emosi yang menciptakan Anda tertekan, kesal, dan tak nyaman, janganlah buru-buru berburuk sangka serta menjadikan Khadijah atau Fatimah sebagai pembanding. Jangan jadikan hal itu sebagai alasan untuk mencari perempuan lain sebagai istri. Jangan! Ketahuilah bahwa perempuan sejati tidak tersedia di etalase. Ia harus Anda ciptakan sendiri lewat proses kesempurnaan budbahasa Anda. Anda bukanlah Rasulullah. Anda juga bukan sekelas Ali bin Abi Thalib. Anda hanyalah laki-laki kiamat yang praktis berkeluh-kesah dan selalu ingin serba gampang. Lihatlah wajah istri Anda. Di situlah Allah hadir dan berdialog dengan Anda untuk mengoreksi Anda dalam proses menjadi sempurna.


Tulisan tersebut diatas ialah salah satu cuilan dari Buku :
 Cinta Yang Kuberi , Volume 2

Buku tersedia di Toko buku Gramedia di Kota anda.
Kalau anda minta di kirim ke alamat silahkan hubungi  WA / SMS 0811 33 1924 
atau email ebandaro@gmail.com

Sumber https://bukuerizelibandaro.blogspot.com/

Artikel Terkait