Manusia saling bertemu dalam cara yang berbeda. Ada yang membeli, ada yang memberi. Perang dan hening alasannya sebuah transaksional.Hidup yaitu sebuah arena tarung , sebuah rimba yang tak pernah habis. Kompetisi yaitu keniscayaan. Menolak pasar, yaitu kekalahan. Suka tidak suka setiap orang harus jadi pedagang. Bahkan pendeta, Dai harus menjadi pedagang yang baik semoga hal yang imajiner laris di jual, sehingga stasiun TV sanggup meningkatkan rating, business sanggup mendatangkan uang dari komunitas yang ada. Ketika pasar jadi sebuah kekuatan yang merasuk ke-seantero planet, dan perdagangan menjamah tanpa batas. Ialah bahwa kita hidup menyerupai cerita Udin di sebuah bedeng
Di sebuah zona perkebunan besar. Ada sebuah perkampungan ditengahnya , yang disebut “ bedeng”. Para penghuninya disebut “ anak bedeng” Mereka , para penghuninya tentu bukanlah anak anak. Mereka yaitu anak bimbing dari mucikari yang mempunyai bedeng. Makanya disebut dengan “anak”. Satu dikala seorang cowok krempeng berjulukan Udin, tiba ke bedeng itu. Setelah tersenyum ragu menatap deretang anak bedeng yang duduk di teras. Diapun mengangguk kepada seseorang perempuan yang tidak begitu cantik, juga tidak muda lagi. Ada keraguan yang anggun dan muda yaitu mahal. Atau mungkin kurang yakin untuk menawar. Tapi , ia memang newcomer . Wanita itu mendekati Udin seakan kenal bahasa isarat.
“ Sudah tahu berapa harus bayar “ Kata perempuan itu tanpa expresi apapun.
“ Eh…hm..” Udin gelagapan.
“ Kenapa ? “ perempuan itu nampak kesal “ Cepatlah katakan padaku. Waktu saya terlalu berharga untuk hanya menunggu kau menawar “ Sambung perempuan itu.
“ Saya tidak punya uang. Tapi saya ada sesuatu yang bisa saya berikan kepada kau “ Udin berkata dengan nada ragu.
“ Maaf, saya hanya kenal uang. Selain itu tidak ada !” perempuan itu terus berlalu. Tapi laki-laki itu berusaha mengejar dengan cepat “ Ini dukungan lebih dari uang” Katanya.
“ Apa itu ? Wanita itu berkerung kening.
“ Solusi.” !
“ Solusi ? perempuan itu menggelengkan kepala “ Saya butuh uang bukan solusi ! Kamu hanya membuang waktu saja. “
“ Dengarlah ..”
“ Kamu yang harus dengar ! perempuan itu berteriak “ Keluargaku miskin. Hidup tersengat matahari setiap hari untuk menjemur ikan bacin dikampung nelayan sana. Sekarang akupun hidup dengan cara busuk. Apalagi yang bisa kau sarankan kepadaku, heh “
Udin terdiam. Dia bekerjsama ingin menunjukkan solusi pembiyaan hidup semoga tidak perlu ada yang jadi pecundang. Karena penghasilannya sebagai kuli kebun miskin tidak cukup untuk bertahan. Akan lebih baik bila ia mempunyai istri dan juga bersama sama menjadi kuli kebun tentu akibatnya akan cukup untuk bertahan hidup.Bukankah satu nothing , dua yaitu something. Pilihan untuk memperistri pelacur adalah financing scheme untuk penyelesaian hidupnya. Karena menikahi perempuan baik baik cenderung berujung defaul karena ia engga qualified memenuhi deal yang harus di comply. Mencoba realistik daripada hidup dalam harapan dan penantian yang tak sudah.
Udin tidak mengalah dengan proyek private nya. Dia tidak ingin terkubur hasrat dan birahinya di bedeng ini. Menakjubkan bahwa ia sudah mengetahui seluk beluk hidup “anak bedeng” sebelum ia tiba “berkunjung”. Dia terus duduk dipojok ruangan sambil memperhatikan perempuan itu. Jam berlalu dan waktu terlewati. Wanita itu tetap saja tidak ada yang menawar. Sementara yang lain keluar masuk berganti tamu yang datang. Product expired, yang di paksa di tempatkan di etalage. Dan pelanggan tidak terlalu ndeso untuk menilai mana yang fresh dan mana yang lama alasannya usia. Uang tidak pernah salah menilai. Malam terlewati menuju pagi. Wanita itu mulai gelisah. Apalagi sang mucikari mulai membentaknya sambil berkata “ Sejak kau tiba hingga kini hampir tidak pernah ada tamu untuk kamu. Besok kemasi semua barang barang kamu. Disini bukan kawasan untuk makan gratis. “
Wanita itu tertunduk. Mungkin menangis. Tapi tidak. Matanya menatap keatas langit langit. Nampak berpikir keras. Kemudian ia bangkit melangkah pasti kearah Udin
“ Apa saran kau ? Kata perempuan itu dengan lembut dan mata redup.
“ Menikahlah dengan ku? Jawab Udin dengan tegas.
“ Mengapa ?
‘ Untuk bersama samaku bekerja sebagai kuli kebun. Hasilnya cukup untuk kita hidup berdua”
“Itukah saran mu ? Aku menjadi istrimu dan juga bekerja sebagai kuli sepertimu ?
“ Ya.”
“ Siapa namamu ?
“ Udin”
“ Baiklah, Mas Udin “ kata perempuan itu dengan tanpa senyum “ Mulai hari ini saya letakan nasipku ditangan mu. Mulai hari ini akulah istrimu dan Mas akan menjadi suamiku. “
Deal tercipta , dan bukan membeli, disini dengan sendirinya menghasilkan kreasi. Tak ada uang yang di gunakan dalam transfer atau cek, tak ada komoditas, tetapi tetap saja sesuatu yang di kukuhkan oleh kapitalisme remaja ini berlaku bahwa sinergi yaitu kekuatan, bukan hibah, bukan sedekah. Mungkin ketika Udin menyerahkan semua penghasilan mingguannya kepada istrinya dan istrinya menyimpan rapat penghasilan dirinya sendiri, keadaan menjadi lain. Bukan lagi memberi sebagai sinergi tapi suatu institusi berjulukan keluarga melegalkan “kewajiban membayar “ oleh sang undertaker kepada istri. Sebuah perbudakan setua peradaban dunia yang tak terbantahkan.
Tidak akan pernah ada utopia dalam hidup ini semenjak Tuhan ciptakan Setan, yang di takdirkan menolak kehadiran Adam. Hidup cerdas yaitu kemampuan berdamai dengan kenyataan, bahwa semua tidak selalu menyerupai yang kita inginkan. Tidak perlu di pertanyakan benarkah dalam janji selalu saja ada pihak yang dirugikan? Karena begitu banyak deal dibentuk dan tak pernah menghasilkan sesuatu yang sesungguhnya. Namun tidak perlu kecewa. Sebab dalam kehidupan setiap hari toh masih ada yang disebut oleh Udin sebagai “ satu satunya berkah iman" yaitu kalaulah ijab kabul itu bukan alasannya Tuhan, memang ijab kabul yaitu deal yang paling dungu di dunia ini. Namun dengan itu kita bisa bernafas, setidaknya bertahan dari soal jual beli kehidupan dan dari suasana ketika benda benda memasang jaring dan tariff yang serba transaksional.
Sumber https://bukuerizelibandaro.blogspot.com/