Ketika reformasi dan jatuhnya Gus Dur oleh kekuatan elite di Parlemen dengan kemudian mengakibatkan Megawati sebagai presiden, maka kita menyebut bahwa Pemerintahan Soekarno = Old Order, Pemerintahan Soeharto = New Order, Pemerintahan Habibie = Dis-Order, Pemerintahan Abdurrahman Wahid = No Order, Pemerintahan Megawati = Reform-Order. Ya benarlah, DI kurun Megawati RUU ihwal PEMILU di syahkan dan lengkap dengan infrastruktur kelembagaan yang mendukungnya ibarat Bawaslu, KPU. Disamping itu juga dibuat KPK , MK dll sebagai sebuah commitment reform Era terhadap pemerintahan yang bangun diatas nilai nilai demokrasi ihwal clean dan Good government. Demokrasi Pancasila masuk keranjang sampah, digantikan demokrasi liberal bahkan paling liberal didunia. Ini bukan reformasi tapi REVOLUSI. Perubahan dari negeri socialist religious menjadi negeri capitalism individualist yang bangun diatas system demokrasi liberal. Ketika tahun 2000 dalam satu seminar yang diadakan oleh FORKEM ( Forum Komunikasi Wartawan EKonomi Moneter ) , saya sempat bertanya dengan salah satu pakar Politik ihwal demokrasi liberal yang sedang di Rancang oleh DPR. Menurutnya di kurun kini , Negara yang tidak menerapkan demokrasi liberal maka akan disudutkan oleh negara lender berserta group funder insitusi ibarat World bank, IMF.
Ternyata reformasi yang terkesan revolusi itu tak lebih pra syarat compliance untuk mendapatkan sumber pembiayaan dari abnormal untuk menutupi APBN yang terancam default memenuhi kebutuhan belanja rutin akhir recovery perbankan yang memakan ongkos mahal. Lantas mengapa dengan Demokrasi LIberal? Dalam demokrasi liberal tugas utama dipegang oleh partai politik. Karenanya tak sanggup dielakkan permainan partai politik untuk memenangkan tujuannya memakai banyak sekali cara dan alat, yang kurang cocok dengan etika dan moralitas, termasuk membeli bunyi atau money politic. Kekuasaan menjadi terdistribusi sehingga proses pengambilan keputusan menjadi bertele tele dan melelahkan. Jalan lambat ibarat siput. Dr. Raj Vasil, yakni seorang pakar ilmu politik di Selandia Baru yang mempelajari Asia Tenggara selama 45 tahun terakhir. Ia menulis di Sunday Review bahwa demokrasi liberal bukan pilihan yang sempurna bagi Indonesia. Mungkin alasanya lantaran budaya dan agama sangat mendominasi kehidupan masyarakat Indonesia yang dalam demokrasi liberal itu hal yang terpisahkan dari politik. Mungkin itu sebabnya sesudah periode kedua terpilih sebagai presiden, SBY tak lagi nampak nyaman dengan Demokrasi dalam kehidupan bernegara. Karena nyatanya kebebasan atas dasar HAM pada alhasil menciptakan semua orang kehilangan value untuk berbuat besar.
Bagi pemimpin yang visioner maka system demokrasi liberal akan memasungnya menjadi banci. Bahkan terkesan pecundang dihadapan rakyat. Dia lemah tak berdaya bersikap cepat jika harus berbuat. Ia bukan penentu arah dan penentu kecepatan. Ia hanya person yang ditempatkan ditempat terhormat namun tak sepenuhnya berkuasa layaknya imam sholat atau Raja yang bertitah satu. Ia penggalan dari sistem distribusi kekuasaan yang sehingga setiap orang tidak sanggup meng claim beliau paling berkuasa. Awal reformasi para elite bahagia namun lambat laun merekapun merasa tidak nyaman lantaran Stabilitis politik acap terganggu akhir perseteruan antar kekuasaan executive, legislative, judicative. Posisi ormas dan Media massa sangat bebas sehingga kadang mengganggu kebijakan pemerintah yang berujung pada jatuhnya dapat dipercaya pemerintah. Dalam situasi itulah maka para elite secara nature berkumpul untuk menyamakan persepsi semoga kembali kepada demokrasi bukan liberal. Kini sedang di Rancang UU mengenai Ormas. Semua pasal tak lagi memperlihatkan kebebasan berdasarkan public tapi berdasarkan penguasa. Rancangan Undang-Undang Keamanan Nasional sudah mulai dibahas oleh dewan perwakilan rakyat yang memuat pasal membatasi kebebasan sipil dan memperlihatkan hak kepada pemerintah melalui Tentara Nasional Indonesia dan Polisi Republik Indonesia meredamnya demi keamanan Nasional.
Ya keamanan bukan hanya soal bahaya dari luar tapi juga bahaya dari dalam yang sehingga menciptakan pemerintah tidak efektif. Era kini gambaran pemerintah tidak dilihat dari system politik yang diterapkan tapi sejauh mana pemerintah sanggup mendelivery jasa dan barang yang terjangkau oleh rakyat dan mendapat uang untuk belanja tidak sulit lantaran kesempatan kerja dan perjuangan terbuka lebar dan adil. Ini hanya mungkin tercapai jika presiden itu efektif tanpa diganggu oleh sistem distribusi kekuasaan. Rakyat hanya ingin pemerintahan efektif melakukan kekuasaannya, yang ditandai daya responsive yang tinggi. Untuk itu , memang demokrasi liberal tidak sanggup diterapkan, lantaran tidak menciptakan pemerintah efektif mengelola 6000 pulau dari Sabang hingga Marauke dengan populasi diatas 200 juta. Lantas apakah dengan RUU Ormas dan Keamanan Nasional sudah cukup menciptakan demokrasi tidak liberal? Demokrasi ibarat apa? demokrasi ala Soekarno yang terpimpin , pernah dicoba tapi tidak cocok. Demokrasi pancasila ala Soeharto , malah hasilnya KKN. Makara apa ? Ya Demokrasai dihapus saja dan diganti apalah namanya yang sanggup melahirkan pemimpin yang amanah. Sebuah sistem yang menjamin kebenaran dijunjung, kebaikan dibela, keadilan tegak. Suatu proses yang bertumpu kepada adab mulia para elite yang pesan yang tersirat dan bijakasana untuk lahirnya masyarakat sejahtera dibawah lindungan Allah. Kembali kepada Pancasila? atau Islam is enough ?
Sumber https://culas.blogspot.com/